Renungan Tahun
Baru 1434 H
Hijrah dari
Hegemoni Machiavelli
Abdul Wahid ; Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum
Untag Surabaya
|
MEDIA
INDONESIA, 16 November 2012
MENGANDALKAN norma hukum dan politik untuk
melawan dan mengalahkan koruptor di negeri ini tidak gampang. Pembaruan hukum
yang bertemakan pemberantasan korupsi atau berbagai bentuk penyelingkuhan
kekuasaan sudah berkali-kali dilakukan negara, tetapi koruptor seperti tidak
pernah kecil nyali dan ‘krisis’ konspirasi untuk mengadali dan menjarah uang
negara.
Berbagai lembaga baru pun sudah dibentuk
negara untuk menjadi lawan dari koruptor, tetapi faktanya koruptor tetap saja
menunjukkan supremasi nya. Dari balik multiragam institusi, koruptor berjaya
menjalankan aksiaksi pe nyimpangan kewenangan atau perannya. Kekayaan rakyat
yang dipercayakan kepada negara supaya dilindungi dengan sebaik-baiknya
ternyata tetap tidak aman karena terus-menerus dijarah atau digerogoti
koruptor.
Koruptor tak ubahnya produsen dan ‘distributor’
penyakit yang rajin dan arogan merapuhkan sumber-sumber fundamental bangsa.
Mereka tidak takut berhadapan dengan hukum meski norma hukum itu meregulasi
sanksi seumur hidup dan hukuman mati. Mereka seperti merasa yakin kalau
penyimpangan kekuasaan yang mereka lakukan dan lestarikan tidak akan pernah
terjamah oleh tangantangan pemegang otoritas pengimplementasi hukum. Hukum di
tangan mereka tak ubahnya seperti ayat-ayat suci yang tak lagi sakti.
Meski sudah berkali-kali doktrin agama
mengajak ‘berhijrah’ dari mental korupsi menuju mental konsisten menjaga
amanat, mereka rupanya tetap menjatuhkan opsi mengkhianati amanat.
Malapraktik kekuasaan (jabatan) dijadikan sebagai opsi yang menguntungkan dan
menyenangkan mereka.
Pakar leksikografi Alquran, Ragib al-Isfahani
(w 502 H/1108 M), menjelaskan hijrah setidaknya mengandung dua makna,
pertama, bermakna fisik, seperti hijrah yang dilakukan Rasul dari Mekah ke
Madinah, dan kedua, makna nonfi sik atau bercorak transformasi mentalitas
rapuh dan berpenyakit anomali, yakni meninggalkan hegemoni atau kecenderungan
mengabsolutkan syahwat dan segala bentuk akhlak tercela, serta dosa, menuju
kebaikan yang diridai Tuhan (QS 29:26). Makna kedua itu pun sudah ditunjukkan
Nabi pascahijrah di Madinah dengan cara mengajak setiap elemen negara
(Madinah) untuk ramai-ramai memproduksi sikap dan perilaku yang sejalan
dengan kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan.
Makna kedua tersebut menunjukkan idealnya
setiap elemen bangsa ini bernyali besar untuk berhijrah dari berbagai bentuk
doktrin dan penyakit mental yang merapuhkan diri dan bangsa. Sepanjang elemen
strategis bangsa masih lebih menyukai gaya hidup dan berelasi sosial,
politik, dan ekonominya berpenyakitan, maka kerapuhan dan kehancuranlah yang
menimpanya.
Apa yang pernah diajarkan Nicollo Machiavelli
dalam jargon het doel heiling de
middelen, atau penghalalan segala cara, ternyata masih lebih dominan dan
mutlak diterima jika dibandingkan dengan doktrin Pancasila. Nilai-nilai
adiluhung yang dikenalkan dan diregulasi dalam kurikulum pendidikan
kewarganegaraan atau pendidikan keagamaan seperti berjalan tanpa bekas dan
hanya lebih sering dijadikan objek penataran dan pelatihan, serta lokakarya
akibat dikalahkan maraknya doktrin yang ditanamkan. Machiavelli yang mampu memasuki
pintu dan tradisi birokrasi, meski birokrasi ini sudah dikawal dengan segala
peranti kode etik.
Ada pesan dari Rasulullah SAW, “Jika tidak ingin
hancur, janganlah menyembah emas, janganlah menyembah dinar, dan janganlah
menyembah kemegahan.“ Pesan itu mengisyaratkan didikan eksoteris (menyentuh
ke nilai-nilai keberagamaan), agar manusia dalam hidupnya tak berkiblat
kepada emas, uang, dan gaya hidup (status sosial, kemegahan, dan kedudukan),
tetapi tetap berkiblat kepada agama, menyerahkan total jati dirinya
kepada-Nya.
Manusia diingatkan beliau agar ‘syahwat’ dan
ambisi yang diimplementasikan atau di sejarahkan tak dibiarkan larut dalam
keterjajahan ‘mazhab’ kapitalistis, gaya hidup, dan kedudukan. Dalam hidup
ini, manusia jangan sampai memberhalakan kekayaan, mengultuskan kemegahan,
dan diperbudak kekuasaan. Manusia paling hina di muka bumi dan di hadapan
Tuhan ialah manusia yang sebenarnya bisa menikmati kecerdasan dan kebeningan
moralnya, tetapi menyerahkan kecerdasan nurani dan kebeningan moralnya itu ke
dalam tirani yang dibuatnya sendiri, seperti menyerah diperbudak praktik
kleptokrasi kekuasaan dan memainkan kekuasaan sebatas sebagai kendaraan untuk
memperkaya diri tanpa kenal titik nadir.
Badai kehancuran sulit di bendung, prahara
nasional mustahil dihadang, atau bencana kehidupan berbangsa tak akan gampang
diselesaikan tatkala elemen strategis negara yang seharusnya jadi penggali
kebenaran (mujtahid), penegak atau
pejuang kebe naran (mujahid), dan
pembaru (mujadid) negeri justru
menyu negeri justru menyukai kecongkakan atau arogansi kriminalisasi yang
didoktrinkan Machiavelli.
Meski Republik ini nyaris menjadi
tuyang-tuyang akibat terhegemoni oleh doktrin Machiavelli, elemen strategis
bangsa masih terus me nyibukkan diri dalam mem produksi kriminalisasi peran
strukturalnya. Pasca berburu jabatan sebagai kepala daerah lewat pemilukada,
misalnya, puluhan incum bent yang gagal mempertahankan kursi diperlakukan
aparat sebagai sosok tersangka hingga diantarkan jadi terpidana. Mereka ditangkap
aparat setelah tidak mempunyai kekuatan bernama kekuasaan dan uang yang bisa
digunakan sebagai ‘ATM’ untuk membelokkan dan mengamputasi kinerja aparat.
Akibat merajalelanya pengikut Machiavelli
tersebut, Indonesia sedang mengalami tragisme seperti disebut Kazuo Shimogaki
sebagai nihilisme total, atau sedang mengidap virus kekosongan keberdayaan
akibat ulah biadab dan jahat yang dihalalkan. Bagaimana mungkin era keemasan
(golden era) bisa diraih bangsa ini
kalau dirinya berbalut penyakit nihilisme nilai-nilai agung?
Terbukti, komunitas elite Indonesia telah
tergelincir dalam pembenaran berbagai bentuk deviasi, malversasi, dan
kriminalisasi yang menggerogoti dan ‘menjarah’ kekayaan publik secara
fantastis dan fatalistik.
Mereka telah menjadi sekumpulan elite yang
sangat profesional dalam menguras kantong-kantong kekayaan rakyat, bahkan
mengisapnya sampai tinggal ampasnya. Misalnya, kerugian negara akibat korupsi
pengadaan barang dan jasa 2005-2009 Rp689,19 miliar atau 35% dari total nilai
proyek Rp1,9 triliun atau kalau berdasarkan temuan BPK 2010, setidaknya ada
Rp100 triliun uang negara ‘kurang jelas’ peruntukannya.
Ironisnya lagi, kekuatan reformasi yang
idealnya diharapkan menjadi ‘rasul’ pembaruan dan transformasi sistem dari
yang serbabejat, jahat, dan khianat menuju bangunan sistem yang sehat dan
populistis ternyata juga ikut larut terseret dalam kejahatan-kejahatan yang
pernah ditabur pendosa terdahulu. Bahkan mereka terbilang lebih canggih dan
berani mengarsiteki, memanajemen, dan mengorganisasi berbagai bentuk
malversasi atau kriminalisasi kekuasaan dengan sangat berani. Mereka telah
mengemas dirinya jadi pengikut setia Machiavelli.
Dalam paradigma Machiavelli tersebut, elite
kekuasaan kita telah memacu dirinya jadi pemburu yang ‘haus’ dan harus bisa
memenangi ‘olimpiade’ mengendarai dan mengemudikan kekuasaan atau jabatannya
menuju absolutisme ambisi (keserakahan). Meski untuk kepentingan ini,
berbagai bentuk cara harus dihalalkan atau diberi tempat liberal supaya
segala target bisa dipenuhinya.
Kalau elite kita masih
belum mau menghijrahkan dirinya dari pesona doktrin Machiavelli, bukan hanya
kekayaan negara yang akan terus ‘berhijrah’ ke kantong-kantong pribadi
mereka, melainkan juga masa depan mencerahkan dan menyejahterakan negeri ini
tidak akan pernah bisa terwujud. Rakyat hanya akan terus-menerus mendapatkan
ampas atau sisa-sisa praktik kleptomania kekuasaan. Rakyat hanya menempati
seputar garis kemiskinan dan tidak pernah mencapai derajat garis
kesejahteraan akibat kekuatan penyangganya sudah ‘dikleptokrasi’
habis-habisan oleh elemen kekuasaan yang arogan menahbiskan korupsi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar