Menimbang
Gelar H
Setijo Purwanto ; Psikolog
|
REPUBLIKA,
09 November 2012
Ritual ibadah haji
yang merupakan rukun Islam kelima bagi kaum Muslimin yang berlangsung di dua
kota suci, Makkah dan Madinah, telah usai dijalani. Gelombang keberangkatan
dua juta lebih jamaah dari seluruh dunia yang sejak beberapa minggu terakhir
mengalir memusat ke Tanah Suci, kini setahap demi setahap bertolak untuk ke
tanah air masing-masing.
Menjadi catatan
khusus, jamaah haji asal Indonesia yang pulang-selain membawa aneka oleh-oleh-juga
membawa gelar yang tersimbolisasikan dengan huruf `H' (singkatan dari haji) yang
diterakan di depan namanya. Fenomena peneraan gelar ini, kalau kita cermati dari
sisi perilaku manusia (human behavior),
menampilkan satu fenomena menarik. Karena, dalam sejarah pertumbuhan
komunitas Islam dalam skala global, gelar haji tak dikenal dalam kultur
mayoritas komunitas dunia Muslim di muka bumi ini. Fenomena ini adalah
fenomena lokal-kultural ma- syarakat di nusantara atau bahkan Jawa.
Dalam mayoritas
masyarakat Islam di belahan dunia lain, gejala ini tidak menonjol. Di jazirah
Arab sendiri, hal ini kurang dikenal. Demikian juga di belahan dunia lain
yang memiliki ko- munitas Muslim, gejala ini tidak ditemui.
Secara historis pun, dalam masyarakat Islam era klasik, hal ini tidak begitu dikenal. Masyarakat Muslim dari Arab, Persia, India, Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah, Amerika, dan Eropa (di dua benua terakhir ini, Islam tercatat sebagai agama yang bertumbuh paling pesat), pun tak banyak dikenal menghidupkan tradisi ini.
Di masyarakat Mesir,
salah satu pusat sains dan pengetahuan Islam, para syekh atau grand-syekh
pun-yang adalah tokoh dan ulama besar-tak pernah menaruh gelar haji di depan
namanya meski mereka telah menunaikan ibadah haji, bahkan lebih dari satu
kali. Dalam masyarakat Persia atau Iran, yang lebih dikenal dengan corak
Islam bermazhab Syiah pun, tradisi ini tidak berkembang.
Ayatullah-ayatullah dan cendekiawan Persia yang terkemuka tidak pernah mencantumkan gelar haji di depan namanya.
Melihat gejala ini,
tampaknya tradisi peneraan gelar `H' atau haji untuk Muslim yang berziarah
haji, sejatinya tidak memiliki basis syariat yang kuat.
Pemberian gelar ini lebih kuat justru direcoki oleh anasir-anasir kebudayaan, terutama Jawa dan Melayu. Masyarakat Jawa dikenal sangat mengagung-agungkan status.
Masyarakat Jawa,
secara sosio-antropologis memang dikenal sangat `tergila-gila' dan `obsesif'
dengan status atau pangkat. Hal ini berbeda dengan- taruhlah-masyarakat Eropa
yang lebih obsesif dengan prestasi dan kerja. Atau, masyarakat Cina yang
dikenal sangat obsesif dan berambisi dengan kepemilikan finansial.
Dalam hal ini, kultur
pemberian gelar haji autentik hanya tumbuh di masyarakat Jawa dan atau Melayu
Nusantara. Dengan demikian, kultur ini sejatinya harus dipahami sebagai buah
akulturasi antara Islam dan kebudayaan dan tradisi lokal. Meski tanpa basis
syariat yang kuat, pemberian gelar ini begitu dirawat dan dijaga sebagai
tradisi.
Tiga `Tipe' Haji
Secara garis besar,
tradisi pemberian gelar `H' atau haji bagi peziarah haji asal Indonesia
memunculkan tiga jenis respons perilaku dalam tubuh umat Islam di Tanah Air.
Pertama, seseorang akan merasa enggan (reluctant)
menunaikan ibadah haji-meski ia sudah mampu-karena merasa akan terbebani
dengan gelar `H' itu sepulang dari pelaksanaan haji. Tipe pertama
ini merasa atau menilai diri bahwa ia kurang atau belum pantas menerima gelar
itu. Tipe pertama ini bisa menjadi pertanda dari ketinggian religiusitas
meskipun bisa juga justru menjadi dalih bagi orang yang `malas' atau
`enggan' melaksanakan haji dengan alasan yang tidak dibenarkan secara
syariat.
Kedua, perilaku yang
muncul karena adanya tradisi pemberian gelar ini adalah orang yang bersikap
netral. Orang bertipe ini akan bersikap menerima gelar itu bila disematkan
pada namanya, namun bila tidak disematkan pun, ia merasa tidak apa-apa. Tipe
ini adalah orang yang lebih mengutamakan esensi dan tidak mempersoalkan
simbol-simbol formal. Dalam pergaulan sosial, mereka tidak mempersoalkan
apakah mereka diidentifikasikan sebagai seorang `haji'
atau bukan.
Sementara, perilaku
ketiga adalah perilaku yang obsesif-kompulsif dengan gelar `haji'. Tipe
ketiga ini sangat mendambakan, bahkan tergila-gila dengan gelar ini. Tipe
ketiga ini akan merasa kecewa atau marah bila identitas haji tidak diterakan
di depan namanya. Tipe ketiga ini lebih mengedepankan kepemilikan gelar ini
sebagai pendongkrak status sosial.
Gelar `haji' dipandang
oleh jenis Muslim tipe ketiga ini sebagai simbol status di masyarakat. Tipe
ketiga ini cenderung mengesampingkan nilai-nilai esensial religius dan semata
mengedepankan gelar atau status untuk kepentingan nonrohani. Gelar haji tak
jarang dijadikan alat legitimasi, misalnya, dalam proses pencalonan seseorang
yang masuk dalam bursa pemilihan daerah atau pemilihan legislatif.
Perilaku tipe ketiga
ini dalam taraf tertentu selain mengedepankan nilai-nilai narsisisme, juga
mengabaikan hakikat nilai keagamaan yang sejatinya bersifat privat dan spiritual.
Tipe ketiga ini lebih sering menampakkan perilaku yang merupakan negasi dari
nilai-nilai spiritual dari haji itu sendiri.
Kini, 200-an ribu
jamaah haji Tanah Air sedang bertolak menuju kampung halaman. Bangsa
Indonesia dan umat Islam Tanah Air berharap, sepulang dari menjalani ritual-ritual
haji, mereka menimbang-nimbang gelar baru yang tersemat di depan nama, selain
harus berubah secara mental dan melejitkan derajat ruhaniah atau derajat
spiritualnya. Dan, ketinggian derajat ini tak semata-semata karena
diterakannya huruf `H' di depan nama pelaku ibadah haji. Sisi yang lebih
esensial adalah derajat baru ini terbukti mampu memberikan pengaruh positif
bagi sesama manusia, menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatallil'alamiin), bukan justru menjadi olok-olok sesama
manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar