Muasal Gelar H
Mahrus Ali ; Pengurus LTN PBNU dan Rabitah Haji Indonesia
|
REPUBLIKA,
16 November 2012
Pada tulisan Saudara
Setiyo Purwanto (Psikolog) pada harian Republika, Jumat (9/11) dengan judul "Menimbang
Gelar H", saya mendapati kesan peyoratif dan cenderung kurang bersimpati
atas pem berian gelar "haji" kepada kaum Muslimin yang selesai
menunaikan ibadah rukun Islam kelima. Dengan alasan tidak ada syariatnya, di
negara seperti Mesir, Iran, dan negara-negara Muslim besar lain, gelar haji
juga tidak disematkan kepada mereka yang berkali-kali menunaikan ibadah haji.
Bahkan, Saudara Setiyo
menyebut pemberian gelar haji ini terkait dengan recokan anasir kebudayaan
masyarakat Jawa atau Melayu yang tergila-gila dan obsesif dengan status atau
pangkat.
Jika kita berpikir
sinkronis pada hari ini maka tulisan tersebut mengandung beberapa kebenaran.
Namun, sesungguhnya gelar haji yang telanjur tersematkan secara otomatis bagi
semua yang sudah menjalankan rukun Islam pamungkas tersebut tidaklah
bertengger serta-merta.
Bagi masyarakat Muslim
pada abad-abad awal kedatangan Islam di nusantara, dapat melihat Ka'bah dan
menjejakkan kaki di Kota Makkah merupakan sebuah capaian puncak yang tidak
sembarang orang dapat melaksanakan. Sebuah penelitian mendalam sejarah
perjalanan haji nusantara dilakukan Prof Abdul Majid (2008) dan ditemukan
dalam dokumen-dokumen resmi di KTLV Leiden tentang gambaran haji sekitar abad
ke-17 hingga awal abad ke-20. Untuk pertama kali penguasa kolonial Belanda
mengenalkan kapal api sebagai angkutan haji dan perjalanan ke Jeddah memakan
waktu dua bulan.
Menurut catatan Majid,
hingga akhir abad ke-18, perjalanan haji dari nusantara belum terorganisasi
karena dilakukan secara individu bagi yang mampu membeli tiket perjalanan. Pada
abad ke-19, mulai ada upaya institusionalisasi penyelenggaraan perjalanan
haji dan pada periode inilah terjadi kenaikan jumlah jamaah karena angkutan
sudah modern dan waktu tempuh relatif makin singkat.
Di sisi lain, tingkat
penghormatan masyarakat kepada haji yang demikian tinggi dan terpelihara
bertahun-tahun lambat laun diracuni kepentingan kapitalis yang mengeruk
keuntungan finansial dari membeludaknya jumlah jama'ah. Agen-agen kapitalis
mengembuskan kesadaran palsu bahwa haji adalah gelar suci yang terhormat.
Akibatnya, banyak yang
berangkat secara membabi buta, menjual apa saja.
Besarnya animo umat yang ingin berangkat haji pada saat bersamaan memunculkan
praktik monopoli dan penipuan di mana-mana, dari atas hingga ke bawah, dari
yang resmi sampai tidak resmi. Firma Herklot milik seorang Indo- Belanda
bernama JGM Herklots dan Firma Al-Segaff dipimpin Sayid Mohamad Bin Achmad
al-Segaff, seorang Indo-Arab berbasis di Singapura memegang peran penting
pada masa itu.
Herklots dalam
usahanya menjalankan penipuan secara terang-terangan kepada para jamaah
dengan pelayanan perjalanan yang sangat memprihatinkan. Majid menulis,
kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang.
Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk.
Herklots bergerak
sebagai agen tunggal dan dalam penentuan harga memonopoli sesuka hati serta
pungutan liar yang sangat memberatkan jamaah.
Di antara jamaah juga ada sampai kehabisan bekal ketika baru sampai Singapura.
"Jamaah yang tidak meneruskan perjalanan ke Makkah karena kehabisan uang
hanya sampai di Singapura saja, lalu kembali ke kampung halaman
masing-masing. Ada istilah khusus bagi mereka yang hanya sampai Singapura,
yakni dengan menyandang gelar haji Singapura." (Majid, 2008 halaman 96).
Kasus ini adalah salah
satu contoh kesadaran palsu yang telah merasuki pola pikir masyarakat, gelar
haji begitu penting, bahkan jauh lebih penting dari pada ritual haji itu
sendiri dan niat untuk menunaikan rukun Islam kelima. Kesadaran palsu itu
pernah ditulis dalam surat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda atas laporannya dalam beberapa kali penyamaran yang ia lakoni sebagai
jamaah haji di tengah-tengah masyarakat Muslim nusantara.
Modernisasi
pengangkutan jamaah betapa pun buruknya pelayanannya tetap memicu para calon
haji dari pelosok-pelosok. Orang-orang awam yang memiliki ratusan hewan
ternak atau tuan-tuan tanah biasanya rela melepas hartanya begitu saja demi
mendapatkan kesempatan berangkat haji karena haji mendatangkan status baru.
Terlihat jelas juga
bahwa haji telah menaikkan kelas sosial tersendiri dalam masyarakat
nusantara. Dalam penelusuran literatur, saya dapati bahwa sebutan haji ini
memang hanya banyak ditemui di negeri yang jauh dari Makkah, seperti
Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Terlebih, saat ini orang-orang Arab
memanggil setiap jamaah selama musim haji dengan panggilan `haji'. Maka, dengan
cara melihat keseluruhan perkara ini secara diakronis, kita menjadi paham
mengapa di sebagian masyarakat kita gelar "H" tetap bertengger dan
dianggap perlu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar