|
Problem
Berlanjut Digitalisasi
Surya Aka Syahnagra ; Komisioner KPID
(Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Jatim
|
JAWA
POS, 12 November 2012
|
PELAKASANAAN digitalisasi stasiun televisi di Indonesia
tampaknya akan berjalan tidak mulus. Hal tersebut disebabkan kontroversi
antara pihak-pihak terkait yang sampai saat ini belum menemukan jalan keluar.
Sampai dihelatnya seminar nasional televisi digital antara keinginan dan
kenyataan di Unair Surabaya pekan lalu, Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) bersikukuh membuat aturan sendiri tanpa acuan
perundangan yang kuat. UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran belum mengatur soal
digital, kecuali di pasal penjelasan.
Karena dasar hukum yang kurang kuat itulah, sejumlah elemen penting penyiaran tidak sepenuhnya menerima Permenkominfo Nomor 22/PER/M.Kominfo/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Telestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air). Aturan main yang mengatur sistem operasional TV digital tersebut dinilai cacat hukum. Ada pula yang menilai hal itu berbau monopoli dan tidak transparan. Institute of Community and Media Development (inCODE) Jogjakarta kemudian mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung Juli lalu. InCode menilai, permen tersebut memicu monopoli penyelenggaran TV digital yang berakibat fatal. Yakni, TV lokal terancam tidak dapat kanal atau setidaknya tak mampu menyewa kanal sehingga lama-kelamaan mati atau dibeli TV pusat juga. Karena itu, beberapa elemen penyiaran secara bergilir didatangkan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR. Mereka dimintai keterangan soal keluhan pelaksanaan perubahan kanal analog ke digital tersebut. Misalnya, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) yang mengeluhkan sistem yang digunakan Kemenkominfo tidak dimusyawarahkan sehingga stasiun TV lokal yang baru tumbuh banyak dirugikan. DPR juga memanggil Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) sebagai pihak yang dalam tender Lembaga Penyiaran Penyelenggara Multiflexing (LPPM) memenangi 93 persen di seluruh zona di Indonesia. Asosiasi yang beranggota pemilik TV nasional itu berada di pihak yang diuntungkan dengan kemenangan telak, tetapi juga tetap saling sikut karena tak semua daerah terkuasai. Tak terkecuali KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), aduannya ke RDP komisi I seputar peran regulator penyiaran yang tak dilibatkan dalam proses digitalisasi. Di sinilah "keanehan" yang terjadi, tampaknya kontroversi belum akan berakhir dalam waktu dekat. Dari suara berbagai elemen itulah, Komisi I DPR memanggil Menkominfo. Namun, Pak Tif -panggilan Menkominfo Tifatul Sembiring- bersikukuh. Tahap digitalisasi jalan terus. "Yang ingin menggugat, silakan", katanya. DPR pun tak mau diam, langsung menginstruksikan agar tahap digitalisasi-tender, pengumuman pemenang, serta tahapan pelaksanaan ditunda. Tetapi, lagi-lagi Kemenkominfo tetap bersikeras. Hasil tender pengusaha multiflexing tetap diumumkan dengan hasil yang tak sepenuhnya bisa diterima. Buktinya, ATVLI kemudian menggugat hasil tender tersebut ke Mahkamah Agung September lalu. Dus, dua perkara TV digital menanti putusan dari para pengadil. Ancaman pun dikeluarkan komisi I dengan melarang mengucurkan dana digitalisasi kepada Kemenkominfo bila tetap ngotot melaksanakan tahap digitalisasi yang dipersoalkan banyak pihak itu. Sementara kita sedang "berantem" menemukan sistem, di beberapa negara, switch off (penutupan kanal analog seratus persen) sudah dilakukan. Amerika Serikat sudah melakukannya pada Juni 2009, disusul Jepang Juli 2011, kemudian Korea dan Tiongkok pada Desember 2012. Tetangga kita seperti Singapura, Thailand, Filipina, dan Malaysia secara serentak menutup kanal analognya pada 2015. Adapun Indonesia, sebagaimana dirancang masterplan Kemenkominfo, memulainya pada 2012 untuk Jawa dan Kepulauan Riau (Kepri) serta seratus persen selesai 2018. Bila sudah digital, konsumen akan lebih suka nonton TV karena kualitas gambar dan suara lebih baik serta pilihan program siaran lebih banyak. Tak ada lagi semut atau garis-garis. Yang ada bagus banget atau hilang sama sekali manakala tak terjangkau antena. Bagi lembaga penyiaran, operasional digital akan lebih efisien. Efisiensi infrastruktur mencapai 75 persen serta mendukung teknologi ramah lingkungan. Kita sependapat bahwa melaju ke digital sebuah keniscayaan alias tak bisa ditawar. Hanya, sistem dan mekanismenya harus tranparan agar tak menimbulkan kesalahan kebijakan seperti pada masa lalu. Jangan menimbulkan kecurigaan, mengingat peran media sangat vital menjelang pilkada 2013 dan Pilpres 2014. Penguasaan kepemilikan TV hanya oleh beberapa orang yang kini disorot tajam sebagai bagian dari monopoli jangan dilembagakan di sistem MUX ini. Berikan hak kepada televisi lokal untuk sehatnya demokratisasi penyiaran di negeri ini, sesuai dengan semangat otonomi daerah dan kebinekaan. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar