Menata Ulang
Industri Sawit
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
06 November 2012
Industri kelapa sawit mengalami titik
balik. Bak roller coaster, sepanjang
2012 baru saat ini pelaku industri sawit berada di titik terbawah. Pada
Januari lalu, harga minyak sawit mentah (CPO) 1.061 dolar AS per ton, bahkan
April mencapai 1.181 dolar AS per ton.
Akhir Oktober lalu, harga CPO anjlok 802
dolar AS per ton, jauh dari harga rata-rata tahun 2011: 1.125 dolar AS per
ton. Diperkirakan, tren penurunan akan berlanjut seiring belum pulihnya
ekonomi Eropa dan Amerika. Tak hanya industri, petani pun terpukul.
Harga sawit di pasar Rotterdam langsung
ditransmisikan ke petani kecil di sentra-sentra sawit di Riau dan Sumatra
Utara. Jika awal tahun lalu harga tandan buah segar (TBS) Rp 1.400/kg, kini
anjlok Rp 800/kg. Bahkan, ada TBS petani yang ditolak pabrik karena tangki
timbun di pelabuhan penuh. Petani sawit mendadak miskin. Jika tren ini
berlanjut, harga TBS akan terjun bebas. Bukan mustahil suatu saat nanti TBS
dibiarkan busuk karena ongkos produksi dan panen mahal yang membuat petani
tekor. Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin buruh di
kebun sawit akan diistirahatkan demi efisiensi.
Jika itu terjadi, pengangguran akan meledak. Saat ini, setidaknya ada 2,8
juta buruh yang mengais rezeki di kebun sawit. Jika mereka menganggur, dengan
asumsi satu keluarga berjumlah empat orang, ada 11,2 juta orang yang nasibnya
tidak menentu.
Untuk mengangkat harga CPO, pada 1 November
lalu pemerintah menurunkan pajak ekspor (PE) dari 13,5 persen menjadi
sembilan persen. Tujuannya agar penyerapan CPO di pasar dunia meningkat.
Masalahnya, sepanjang ekonomi masih lesu, penyerapan akan tetap rendah. Lagi
pula, ini jurus klasik yang selalu diulang-ulang sejak 1980-an. Langkah ini
juga belum menyentuh jantung persoalan sebenarnya yang diidap industri sawit.
Industri kelapa sawit domestik mengidap
problem serius dari hulu ke hilir. Di hulu, tidak hanya izin pembukaan lahan
baru yang kian tak terkendali, tetapi di sentra- sentra sawit juga terjadi
konversi besar- besaran lahan pangan ke sawit.
Di level budi daya, bibit tidak ha- nya kurang dan kualitasnya rendah, bahkan banyak bibit palsu serta tingkat produktivitas kebun juga masih rendah.
Produktivitas lahan Indonesia cuma 2,51 ton
CPO/ha/tahun, jauh dari Malaysia (3,21 ton CPO/ha/tahun) yang dulu sempat
berguru tentang A-Z sawit ke kita.
Di hilir sejauh ini belum ada grand design
pengembangan industri pengolahan. Kebijakan yang dirakit berikut aransemen
kelembagaan masih fragmentaris, ad hoc,
reaktif, berdimensi jangka pendek, bahkan mudah direvisi, baik karena alasan
ekonomi, sosial, maupun tekanan kelompok kepentingan yang memiliki lobi kuat
ke pemerintah.
Dukungan riset, skema pendanaan, dan pasar
juga tidak pernah digarap secara serius. Kita memang menjadi eksportir CPO
terbesar di dunia, tetapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk
pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka.
Sawit adalah satu dari 10 komoditas
unggulan Indonesia dan primadona penghasil devisa ekspor nonmigas. Pada 2008,
CPO berada di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi nilai ekspor
11,13 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Prestasi itu tidak mungkin
dipertahankan apabila industri sawit tidak ditata ulang.
Di level budi daya, riset intensif untuk
menghasilkan benih unggul dalam jumlah memadai dan meningkatkan produktivitas
tidak bisa ditawar-tawar. Riset bisa diintegrasikan untuk mempertemukan
kepentingan lembaga penelitian, universitas, dan perusahaan sehingga diperoleh
terobosan baru bernilai tambah tinggi, baik di level budi daya maupun di
industri hilir.
Di level hilir, pemberian izin baru ha rus
direm, termasuk pengendalian konversi lahan pangan ke sawit. Ini penting guna
menjaga keseimbangan supply- demand.
Dalam kaitan supply-demand ini,
satu hal yang harus diatur adalah industri biodiesel. Sejak Oktober 2008,
pemerintah telah mewajibkan sektor transportasi, industri, dan pembangkit
listrik memakai bahan bakar nabati (BBN) sebesar 5 persen dan ditingkatkan
jadi 10 persen (2020) serta 20 persen (2025).
Mandatory ini sebenarnya bisa menggairahkan pasar CPO yang lesu. Tapi, ini
belum terjadi karena ada disinsentif dalam pengembangan biodiesel. BBM fosil
yang mencemari lingkungan mendapat subsidi berat, sebaliknya biodiesel yang
ramah lingkungan terdiskriminasi.
Soal kelembagaan, model Brasil dalam kasus
gula bisa dicontek. Lembaga ini diberi tugas merakit kebijakan bio-diesel dan
minyak goreng untuk menciptakan produk berkualitas dan kompetitif. Tiap tahun
harus diatur besar produksi biodiesel dan minyak goreng, termasuk ekspor.
Dengan cara ini, produksi biodiesel versus minyak goreng bisa jadi strategi
kita keluar dari pasar CPO yang fluktuatif.
Untuk mendorong pendalaman industri hilir,
pemerintah bisa memberikan aneka insentif, baik finansial, riset, maupun infrastruktur.
Penerimaan pajak ekspor yang besar sebagiannya harus dikembalikan ke industri
sawit. Terakhir, sebagai penghasil CPO terbesar kedua setelah Malaysia,
Indonesia paling dekat dengan kondisi-kondisi fundamental yang memengaruhi
harga. Sudah sepatutnya kita berperan penting dalam proses pencarian dan
pembentukan harga produk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar