Kamis, 08 November 2012

Menata Ulang Industri Sawit


Menata Ulang Industri Sawit
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 06 November 2012



Industri kelapa sawit mengalami titik balik. Bak roller coaster, sepanjang 2012 baru saat ini pelaku industri sawit berada di titik terbawah. Pada Januari lalu, harga minyak sawit mentah (CPO) 1.061 dolar AS per ton, bahkan April mencapai 1.181 dolar AS per ton.

Akhir Oktober lalu, harga CPO anjlok 802 dolar AS per ton, jauh dari harga rata-rata tahun 2011: 1.125 dolar AS per ton. Diperkirakan, tren penurunan akan berlanjut seiring belum pulihnya ekonomi Eropa dan Amerika. Tak hanya industri, petani pun terpukul.

Harga sawit di pasar Rotterdam langsung ditransmisikan ke petani kecil di sentra-sentra sawit di Riau dan Sumatra Utara. Jika awal tahun lalu harga tandan buah segar (TBS) Rp 1.400/kg, kini anjlok Rp 800/kg. Bahkan, ada TBS petani yang ditolak pabrik karena tangki timbun di pelabuhan penuh. Petani sawit mendadak miskin. Jika tren ini berlanjut, harga TBS akan terjun bebas. Bukan mustahil suatu saat nanti TBS dibiarkan busuk karena ongkos produksi dan panen mahal yang membuat petani tekor. Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin buruh di kebun sawit akan diistirahatkan demi efisiensi.

Jika itu terjadi, pengangguran akan meledak. Saat ini, setidaknya ada 2,8 juta buruh yang mengais rezeki di kebun sawit. Jika mereka menganggur, dengan asumsi satu keluarga berjumlah empat orang, ada 11,2 juta orang yang nasibnya tidak menentu.
Untuk mengangkat harga CPO, pada 1 November lalu pemerintah menurunkan pajak ekspor (PE) dari 13,5 persen menjadi sembilan persen. Tujuannya agar penyerapan CPO di pasar dunia meningkat. Masalahnya, sepanjang ekonomi masih lesu, penyerapan akan tetap rendah. Lagi pula, ini jurus klasik yang selalu diulang-ulang sejak 1980-an. Langkah ini juga belum menyentuh jantung persoalan sebenarnya yang diidap industri sawit.

Industri kelapa sawit domestik mengidap problem serius dari hulu ke hilir. Di hulu, tidak hanya izin pembukaan lahan baru yang kian tak terkendali, tetapi di sentra- sentra sawit juga terjadi konversi besar- besaran lahan pangan ke sawit.
Di level budi daya, bibit tidak ha- nya kurang dan kualitasnya rendah, bahkan banyak bibit palsu serta tingkat produktivitas kebun juga masih rendah.
Produktivitas lahan Indonesia cuma 2,51 ton CPO/ha/tahun, jauh dari Malaysia (3,21 ton CPO/ha/tahun) yang dulu sempat berguru tentang A-Z sawit ke kita.

Di hilir sejauh ini belum ada grand design pengembangan industri pengolahan. Kebijakan yang dirakit berikut aransemen kelembagaan masih fragmentaris, ad hoc, reaktif, berdimensi jangka pendek, bahkan mudah direvisi, baik karena alasan ekonomi, sosial, maupun tekanan kelompok kepentingan yang memiliki lobi kuat ke pemerintah.

Dukungan riset, skema pendanaan, dan pasar juga tidak pernah digarap secara serius. Kita memang menjadi eksportir CPO terbesar di dunia, tetapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka.

Sawit adalah satu dari 10 komoditas unggulan Indonesia dan primadona penghasil devisa ekspor nonmigas. Pada 2008, CPO berada di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi nilai ekspor 11,13 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Prestasi itu tidak mungkin dipertahankan apabila industri sawit tidak ditata ulang.

Di level budi daya, riset intensif untuk menghasilkan benih unggul dalam jumlah memadai dan meningkatkan produktivitas tidak bisa ditawar-tawar. Riset bisa diintegrasikan untuk mempertemukan kepentingan lembaga penelitian, universitas, dan perusahaan sehingga diperoleh terobosan baru bernilai tambah tinggi, baik di level budi daya maupun di industri hilir.

Di level hilir, pemberian izin baru ha rus direm, termasuk pengendalian konversi lahan pangan ke sawit. Ini penting guna menjaga keseimbangan supply- demand. Dalam kaitan supply-demand ini, satu hal yang harus diatur adalah industri biodiesel. Sejak Oktober 2008, pemerintah telah mewajibkan sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik memakai bahan bakar nabati (BBN) sebesar 5 persen dan ditingkatkan jadi 10 persen (2020) serta 20 persen (2025).

Mandatory ini sebenarnya bisa menggairahkan pasar CPO yang lesu. Tapi, ini belum terjadi karena ada disinsentif dalam pengembangan biodiesel. BBM fosil yang mencemari lingkungan mendapat subsidi berat, sebaliknya biodiesel yang ramah lingkungan terdiskriminasi.

Soal kelembagaan, model Brasil dalam kasus gula bisa dicontek. Lembaga ini diberi tugas merakit kebijakan bio-diesel dan minyak goreng untuk menciptakan produk berkualitas dan kompetitif. Tiap tahun harus diatur besar produksi biodiesel dan minyak goreng, termasuk ekspor. Dengan cara ini, produksi biodiesel versus minyak goreng bisa jadi strategi kita keluar dari pasar CPO yang fluktuatif.

Untuk mendorong pendalaman industri hilir, pemerintah bisa memberikan aneka insentif, baik finansial, riset, maupun infrastruktur. Penerimaan pajak ekspor yang besar sebagiannya harus dikembalikan ke industri sawit. Terakhir, sebagai penghasil CPO terbesar kedua setelah Malaysia, Indonesia paling dekat dengan kondisi-kondisi fundamental yang memengaruhi harga. Sudah sepatutnya kita berperan penting dalam proses pencarian dan pembentukan harga produk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar