Kurikulum yang
Multikultural
Sri Lestari ; Mahasiswa Program Pascasarjana Prodi
IPS Universitas Negeri Semarang (Unnes), Guru SD Hj Isriati Baiturrahman 2
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 20 November 2012
Pemerintah sudah kali
kesembilan mengubah kurikulum sejak Indonesia merdeka. Tersingkat, kurikulum
2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang hanya berumur dua
tahun. Pada 2006, KBK berubah menjadi kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP).
Bila kita
cermati, tidak ada perubahan mendasar, kecuali penambahan jumlah mata
pelajaran (mapel), bukan pengembangan kualitas isi, dan penambahan jam
belajar menjadi pokok bahasan (SM, 07/11/12). Dalam pandangan penulis,
terkait dengan pengembangan kurikulum, rasanya kurang tepat kalau hanya
mengejar kuantitas (jumlah jam pelajaran).
Pemerintah pasti melibatkan
pakar ekonomi, sosial, psikologi, iptek, dan sebagainya dalam penyusunan
kurikulum kendati pada tahap akhir lebih banyak melibatkan peran pakar
pendidikan profesional. Program kurikulum haruslah menyajikan program yang
memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Jika tidak tanggap maka
kita akan hanyut ditelan gelombang globalisasi.
Dewasa ini masyarakat dunia
sudah melebur dalam satu komunitas, yang dalam bahasa Prof Tilaar disebut
global village. Berkait dengan realitas tersebut penyusunan kurikulum harus
membuka diri dari berbagai kekuatan luar. Kurikulum juga harus peka terhadap
perubahan sosial agar tidak tertinggal.
Angka pengangguran yang masih
tinggi, pemujaan kepada ijazah formal, pemalsuan ijazah dan berbagai gejala
negatif yang lain menjadi indikator kegagalan kurikulum forma. Realitasnya,
kurikulum yang sekarang diterapkan belum sesuai dengan perubahan sosial di
masyarakat, apalagi bila dikaitkan dengan kepesatan perubahan global.
Melihat kondisi itu, terasa
cocok menerapkan kurikulum pendidikan multikultural kepada masyarakat
Indonesia yang majemuk. Terlebih dewasa ini pemaknaan budaya kerap direduksi
menjadi hanya sebatas kesenian berikut adat-istiadat dengan berbagai benda
tradisionalnya. Padahal kebudayaan yang multi tersebut juga menyangkut cara
berpikir, pengetahuan, pandangan hidup, pranata, dan nilai-nilai.
Jika pemerintah ingin
mewujudkan pendidikan yang manusiawi berarti harus siap menghadapi
keberagaman. Mengaitkan dengan tujuan itu, berarti perlu menyesuaikan
kurikulum pendidikan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan secara nyata.
Cara itu bisa ditempuh lewat pendekatan multikultural yang menekankan pada
pengembangan kesadaran dan pengalaman dalam kehidupan sosial senyatanya.
Pribadi Tangguh
Jawa Tengah memiliki banyak
potensi dan keunggulan, baik sumber daya alam maupun hasil kerajinan khas,
dan beberapa sudah memasuki pasar global. Kenyataan ini seharusnya
menjadi perhatian pakar pendidikan karena bila sistem pendidikan menganut
asas desentralisasi maka selayaknya potensi dan keunggulan daerah itu harus
bisa menjadi bagian dari kurikulum.
Hal ini mengingat anak didik
nantinya terjun ke masyarakat dengan segala permasalahan, sehingga harus
memiliki bekal yang memadai dari sekolah supaya bisa menjadi pribadi yang
tangguh, mandiri, bertanggung jawab pada kehidupan pribadi dan sosial.
Realitas di lapangan,
pemerintah masih menjejali anak didik dengan berbagai konsep dan teori tapi
kurang mengembangkan aspek keterampilan dan kecakapan hidup mereka. Dalam
sistem pendidikan yang terdesentralisasi, seyogianya pemerintah mengembangkan
keberagaman potensi di Jawa Tengah. Upaya itu supaya pada masa mendatang
peserta didik bisa merasakan manfaat potensi daerahnya.
Potensi itu semisal industri
batik, tempat wisata, makanan, kerajinan tangan dan sebagainya. Pemerintah
bisa mengembangkan keragaman potensi ini pada diri anak melalui jalur
pendidikan formal, dengan catatan terus menyesuaikan muatan kurikulum itu
dengan perubahan zaman. Pemilihan kebijakan itu bisa membuat potensi Jawa
Tengah makin berkembang di tengah global
village. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar