Rabu, 21 November 2012

Presiden, Lain Dulu Lain Sekarang


Presiden, Lain Dulu Lain Sekarang
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 20 November 2012


Indonesia pasca-1998 adalah Indonesia yang lebih demokratis. Banyak penelitian, dalam dan luar negeri, yang telah mengonfirmasi itu, meskipun bukan berarti tanpa masalah.

Demokrasi kita selalu diuji untuk lebih matang,lebih dewasa. Salah satunya adalah tantangan demokrasi yang makin bebas dari korupsi. Karena demokrasi dan korupsi bukanlah kawan, melainkan lawan abadi. Salah satu ukuran demokrasi yang paling tinggi adalah kebebasan berpendapat,kebebasan menyampaikan aspirasi. Tidak terkecuali menyampaikan saran dan kritik yang tajam kepada siapa pun.Bahkan,kritik yang tajam kepada presiden sekalipun. 

Salah satu perbedaan mendasar dari era sebelum reformasi dan setelahnya adalah: di era sebelum reformasi, paling sulit mencari berita yang isinya mengkritik presiden. Pada era setelah reformasi, paling mudah mencari berita yang isinya mengkritik presiden. Presiden sebelum 1998, hampir mustahil untuk dikritik secara terbuka. 

Sebaliknya, presiden setelah 1998 hampir mustahil tanpa kritik terbuka di mana-mana. Dulu, pemberitaan yang mengkritik presiden bisa berujung pada pembredelan dan pemidanaan politik.Sekarang, sikap kritis kepada presiden bisa kita baca,dengar, dan tonton di setiap waktu, di semua jenis pemberitaan. Itulah perbedaan sekaligus tantangan bagi presiden yang mengemban amanah di era yang demokratis. Di samping harus sabar menghadapi kritikan yang tanpa henti datang silih berganti, presiden era demokratis mempunyai ramuan sistem bernegara yang lebih menantang. Ibarat memasak. 

Jika makanan yang ingin disajikan adalah “sistem presidensial yang efektif”, bumbu yang harus tersedia paling tidak adalah tiga jenis, yaitu kewenangan konstitusional yang memadai (constitutional power); dukungan politik mayoritas di parlemen (majority political support); dan kontrol yang juga efektif. Era sebelum 1998, ketersediaan ramuan tersebut berbanding terbalik dengan setelah 1998. Sebelum reformasi, kewenangan konstitusional presiden nyaris tanpa batas; dukungan politiknya mayoritas mutlak sederhana tanpa perlu koalisi; dan kontrolnya hampir tidak ada. 

Mari kita ulas satu per satu ketiga unsur ramuan tersebut pascareformasi. Pertama, presiden pasca-1998 kewenangan konstitusionalnya berbanding terbalik dengan presiden pasca-1998. Salah satunya karena perubahan konstitusi kita telah menghilangkan karakteristik UUD 1945 yang semula executive heavy. Perubahan pertama hingga empat konstitusi, lebih mengarahkan sistem presidensial dengan sistem saling kontrol-saling imbang (checks and balances) yang menyebabkan presiden tidak lagi mempunyai kewenangan yang seleluasa sebelum amendemen konstitusi dilakukan. 

Keterbatasan itu mulai kejelasan pembatasan masa jabatan yang maksimal dua kali periode, hingga pembatasan kewenangan penunjukan dan pemberhentian (appointment and removal). Dalam banyak kesempatan diskusi, saya meminta peserta untuk menyebutkan satu saja contoh kewenangan presiden yang bertambah setelah Reformasi 1998.Di semua forum diskusi itu juga, tidak ada peserta yang bisa memberikan satu contoh pun. 

Faktanya memang, setelah 1998 kewenangan presiden dikurangi dan dibatasi, serta tidak ada satu pun yang secara konstitusi ditambah. Kewenangan appointment and removal presiden, sebagai salah satu yang paling kokoh dimiliki seorang presiden,pun telah banyak dikurangi. Pengangkatan serta pemberhentian Panglima TNI, Kapolri, Gubernur BI, dan lain-lain bukan lagi merupakan prerogatif presiden, karena sudah mensyaratkan pelibatan DPR. Pengangkatan kepala daerah yang dulu sangat kuat dipengaruhi presiden, sekarang sudah merupakan pemilihan langsung oleh rakyat melalui pilkada. 

Bahkan terkait proses rekrutmen pimpinan politik, jika dulu presiden sangat memengaruhi pemilihan ketua umum partai politik ataupun ormas, maka di era demokratis saat ini hal itu tidak dimungkinkan lagi. Presiden SBY membebaskan— dan tidak mau menentukan siapa yang terpilih menjadi ketua umum Partai Demokrat. Kedua, dukungan politik bagi presiden pasca-1998 tidak pernah mencapai mayoritas sederhana— apalagi mayoritas mutlak.

Presiden Habibie akhirnya ditolak laporan pertanggungjawabannya oleh MPR, meskipun berhasil membawa Indonesia ke luar dari turbulensi era transisi.Presiden Gus Dur hanya bisa menikmati era bulan madu dukungan politik dari koalisi “poros tengah” dalam hitungan bulan.Dalam kurang dari dua tahun era kepemimpinannya, dinamika politik presiden dan parlemen sangat tinggi. Demikian juga di era Presiden Megawati.Meskipun memenangkan pemilu 1999, dukungan politik PDI Perjuangan bagi Presiden Megawati tetap tidak mencapai mayoritas di parlemen. 

Presiden SBY memulai kepresidenan pada tahun 2004, bahkan dengan Partai Demokrat yang hanya mempunyai kursi di DPR hanya lebih kurang 7%, dan sekitar 21% hasil Pemilu 2009. Keduanya tentu bukan modal politik yang cukup untuk mendapatkan dukungan politik mayoritas di DPR. Maka tidak ada jalan lain, jika presiden sebelum reformasi memperoleh dukungan politik Golkar rata-rata 70%–– dan tidak perlu berkoalisi dengan parpol lain—maka presiden pasca-1998 mau tidak mau harus membangun koalisi presidensial untuk mendapatkan dukungan politik di DPR. 

Presiden tanpa dukungan mayoritas di DPR itulah yang sering dikenal dengan sebutan presiden minoritas (minority president). Bahkan dengan bangunan koalisi sekalipun, tidak ada jaminan seorang presiden minoritas dapat menghasilkan dukungan politik mayoritas yang solid. 

Tanpa dasar visi koalisi yang kokoh, sering kali yang hadir adalah koalisi pragmatis yang sulit untuk solid. Faktor ketiga sistem presidensial efektif adalah kontrol. Pada era otoritarian, kontrol nyaris absen di semua lini kehidupan bernegara. Hal demikian berkebalikan dengan di era demokratis, ketika kontrol hadir dari segala lini, seperti media, LSM, ormas, pengamat, perguruan tinggi, serta kelompok kritis masyarakat lainnya. 

Maka dengan ramuan kewenangan konstitusional yang terbatas—bahkan dikurangi; dengan dukungan politik yang tidak mayoritas,ataupun koalisi yang sulit; serta dengan kontrol publik yang sangat tinggi; maka presiden di era demokratis mempunyai tantangan kepemimpinan yang jauh lebih kompleks. Siapa pun presiden Indonesia ke depan akan menghadapi tantangan era demokratis yang sama, dan itu sangat tidak mudah. Kita tidak boleh membuka opsi kembali ke era otoritarian. 

Sesulit apa pun tantangan demokrasi harus dijawab dengan lebih mematangkan tingkat demokrasi itu sendiri, bukan dengan menggantinya ke iklim yang tidak demokratis. Saya berpandangan, kewenangan konstitusional yang terbatas, serta kontrol yang tinggi sudah merupakan ramuan yang tepat.Yang dapat kita benahi adalah dukungan politik yang memadai. Periode 2009–2014 ini parpol yang memiliki kursi di DPR ada sembilan, berkurang dari periode 2004–2009 yang ada 17 parpol. Itu adalah pertanda baik penyederhanaan parpol.

Pemilu 2014 saya prediksikan parpol pemilik kursi di DPR akan lebih sedikit lagi, karena makin tingginya parliamentary threshold dan makin sulitnya syarat menjadi kontestan pemilu. Dengan demikian, polarisasi dukungan politik di DPR akan lebih mudah dikelola oleh presiden,karena sistem kepartaian kita akan lebih sederhana. Ini cara penyederhanaan partai yang lebih demokratis secara seleksi pemilu, dibandingkan model Orde Baru yang langsung menentukan hanya tiga peserta pemilu. 

Dengan sistem partai yang lebih sederhana, insya Allah, sistem presidensial efektif akan lebih mungkin terbentuk. Tantangan presiden era demokratis pun akan lebih dapat dikelola menuju Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar