Mencari
Pahlawan di Gugus Seniman
Agus Dermawan T. ; Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku
Berbasis Sosial-Budaya
|
KORAN
TEMPO, 10 November 2012
Dramawan Jerman Bertold Brecht
(1898-1956) berkata, "Berbahagialah negeri yang tak memerlukan
pahlawan." Kata-kata itu bisa diteruskan dalam alur logika: negeri yang
tenteram sentosa tidak lagi memerlukan sosok pahlawan. Sebab, pahlawan
biasanya dilahirkan oleh situasi chaos yang terpaksa memerlukan orang-orang
cerdik, pandai, berani, dan sanggup menyelesaikan persoalan besar. Namun,
dalam kenyataannya, di dunia ini tidak ada negeri yang seratus persen
bahagia. Dengan begitu, pada akhirnya sosok-sosok pahlawan tak henti
dilahirkan.
Pahlawan dalam pengertian
tradisional adalah mereka yang memiliki jasa politik dan peperangan, kala
membela sebuah lingkup. Dari lingkup kecil yang disebut kawasan, sampai yang
berskala besar seperti negara. Pangeran Diponegoro, yang membela tanah
leluhurnya di Magelang, adalah contoh pahlawan kawasan. Dalam skala lebih
besar, Sukarno sebagai politikus serta Sudirman sebagai pejuang perang
disebut pahlawan negara dan bangsa. Persepsi agung tersebut membuat pemikir
politik Dolores Ibarruri (1895-1983) dari Spanyol berungkap-ungkap dalam nada
ironis, "Tak ada yang lain, wanita paling mulia adalah janda para
politikus dan prajurit yang gugur membela negara."
Pahlawan versi Seniman
Namun, dalam perkembangan
pemahaman, pahlawan tidak hanya menyentuh sosok politik dan perang itu.
Dengan begitu, siapa pun yang memiliki kontribusi signifikan terhadap sebuah
hal yang perlu diperjuangkan adalah pahlawan. Sehingga muncul sebutan
"pahlawan ekonomi", "pahlawan olahraga", "pahlawan
kebudayaan", "pahlawan kemanusiaan", "pahlawan
kesenian". Atau siapa pun yang sudah memperoleh legitimasi publik atas
jasa-jasanya, dan dilegendakan publik dalam pengertian yang positif. Dan
mereka, seperti halnya pahlawan beratribut pejuang perang atau politik,
berhak hidup abadi di "taman makam pahlawan".
Lantas, sosok pahlawan akhirnya
bisa dipahami lewat pengertian filosofis. Setiap tokoh yang berjuang
mati-matian menuju muara kebaikan atau perbaikan adalah pahlawan. Siapa pun
mereka. Bahkan sampai tokoh-tokoh yang tidak ada di dunia konkret, atau
tokoh-tokoh yang senantiasa berlalu-lalang di dunia fiktif.
Seperti Hanoman dalam kisah
Ramayana yang diposisikan sebagai "pahlawan hati nurani". Seperti
Superman atau Spider-man bagi orang Amerika yang diakui sebagai
"pahlawan sosial", yang eksistensinya bisa membayangi popularitas
Abraham Lincoln. Di sisi lain, Pak Guru Umar Bakri rekaan Iwan Fals adalah
"pahlawan pendidikan". Nama Pak Umar mungkin saja bersanding dengan
nama monumental Mohamad Hatta, Rudy Hartono, dan lain-lain. Sedangkan Iwan
Fals sendiri dinobatkan sebagai "Pahlawan Asia" oleh majalah Time.
Seniman adalah sosok yang
paling mudah memahami keluasan penafsiran sebutan pahlawan itu. Sastrawan
Pramoedya Ananta Toer mengangkat Tirto Adhi Suryo sebagai tokoh besar
pergerakan dan pers Indonesia pada awal abad ke-20, lewat novel Bumi Manusia.
Tirto Adhi Suryo akhirnya disahkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada
2006, setelah lebih dari dua dasawarsa diuar-uarkan. Roman Laskar Pelangi
ciptaan Andrea Hirata menjunjung Ibu Guru Muslimah sebagai pahlawan yang
tiada ternilai jasanya. Sementara itu, penyair Rendra dengan penuh semangat
menjunjung Atmokarpo sebagai pahlawan lokal yang gagah berani dalam puisinya
yang energetik. Siapa Atmokarpo, sejarah besar bangsa lupa mencatatnya.
Di sisi lain, Sudjojono
meyakini pahlawan bisa lahir pada setiap dekade. Para mahasiswa yang
tergabung dalam Angkatan 66 adalah satu contohnya. Lukisannya yang berjudul
Maka Lahirlah Angkatan 66 adalah presentasinya. Sejumlah karya seni rupa para
seniman terkenal berkali-kali ikut menegaskan hal itu. Pelukis Djoko Pekik
mengangkat rakyat kecil seperti tukang becak sebagai pahlawan.
"Merekalah yang menjadikan negeri ini tetap berdiri, sementara kelompok
elite politik koruptor yang berusaha mengambrukkannya," katanya. Hal
yang sama juga disepakati Dede Eri Supria, yang tak henti mengangkat
eksistensi tukang sapu sampai pemasang konstruksi bangunan tinggi, yang
hidupnya bergelantungan antara hidup dan mati.
Jalan Seniman
Sudah lama para seniman
menyuruk ke sana-kemari mencari pahlawan lewat pemahamannya sendiri. Namun,
di sebaliknya, eksistensinya sebagai seniman nyaris tidak sempat
terperhitungkan dalam wacana kepahlawanan. Meski kontribusi sejumlah seniman
Indonesia bagi Republik Indonesia bukan main besarnya.
Dalam jajaran sekitar 160 nama
pahlawan resmi versi pemerintah, yang dipilah dalam kategori "Pahlawan
Perjuangan Kemerdekaan", "Pahlawan Pergerakan Nasional",
"Pahlawan Proklamasi", "Pahlawan Pembela Kemerdekaan",
"Pahlawan Revolusi", "Pahlawan Nasional", dan
"Pahlawan Reformasi", hanya ada tiga seniman yang masuk daftar.
Mereka adalah sastrawan Abdul Muis dan Raja Ali Haji, pemusik W.R. Supratman
dan Ismail Marzuki, yang semuanya berkiprah pada masa pergerakan dan masa
perang kemerdekaan Indonesia.
Padahal banyak seniman besar
kita lainnya yang amat layak dijunjung sebagai pahlawan. Sastrawan Sutan
Takdir Alisyahbana, penyair W.S. Rendra, adalah contohnya. Juga pembuat film
Usmar Ismail dan Teguh Karya, serta dramawan Arifin C. Noer. Lalu pemusik
plus pedagog seni suara Pranadjaja, musikus pop Tonny Koeswojo, sampai Ibu
Sud sang pencipta lagu. Tak terkecuali pelukis Raden Saleh, Basoeki Abdullah,
serta Affandi, orang Indonesia kedua yang wajahnya menghiasi sampul majalah
Time, setelah Sukarno.
Bersamaan dengan terabaikannya
seniman besar sebagai pahlawan resmi versi pemerintah, otomatis nyaris tak
ada nama plaza atau jalan besar yang menggunakan nama seniman. Bahkan nama
gang buntu sekalipun. Kecuali Jalan Raden Saleh di Jakarta, lantaran di situ
berdiri rumah Raden Saleh, yang kini jadi rumah sakit. Atau Jalan Amri Yahya
di Yogyakarta, karena di jalan nan pendek itu berdiri galeri lukisan dan
batik Amri Yahya.
Di Jakarta, ada Taman Chairil
Anwar, sebuah area yang kecil, tidak dilihat siapa-siapa, dan sering lupa
dirawat. Sementara taman patung ASEAN di kawasan Menteng malah dinamakan
Taman (Untung) Suropati, bukan Taman Sungging Prabangkara, seniman top zaman
Majapahit, misalnya. Hanya Ismail Marzuki yang beruntung karena terabadikan
dalam bentuk pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, gagasan Ali Sadikin.
Sebuah
pertanyaan berulang, apakah betul seniman adalah makhluk lapis kesekian dalam
strata sosial-politik negara Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar