Selasa, 13 November 2012

Mencari Pahlawan di Gugus Seniman


Mencari Pahlawan di Gugus Seniman
Agus Dermawan T. ;  Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Berbasis Sosial-Budaya
KORAN TEMPO, 10 November 2012

  

Dramawan Jerman Bertold Brecht (1898-1956) berkata, "Berbahagialah negeri yang tak memerlukan pahlawan." Kata-kata itu bisa diteruskan dalam alur logika: negeri yang tenteram sentosa tidak lagi memerlukan sosok pahlawan. Sebab, pahlawan biasanya dilahirkan oleh situasi chaos yang terpaksa memerlukan orang-orang cerdik, pandai, berani, dan sanggup menyelesaikan persoalan besar. Namun, dalam kenyataannya, di dunia ini tidak ada negeri yang seratus persen bahagia. Dengan begitu, pada akhirnya sosok-sosok pahlawan tak henti dilahirkan. 
Pahlawan dalam pengertian tradisional adalah mereka yang memiliki jasa politik dan peperangan, kala membela sebuah lingkup. Dari lingkup kecil yang disebut kawasan, sampai yang berskala besar seperti negara. Pangeran Diponegoro, yang membela tanah leluhurnya di Magelang, adalah contoh pahlawan kawasan. Dalam skala lebih besar, Sukarno sebagai politikus serta Sudirman sebagai pejuang perang disebut pahlawan negara dan bangsa. Persepsi agung tersebut membuat pemikir politik Dolores Ibarruri (1895-1983) dari Spanyol berungkap-ungkap dalam nada ironis, "Tak ada yang lain, wanita paling mulia adalah janda para politikus dan prajurit yang gugur membela negara." 
Pahlawan versi Seniman
Namun, dalam perkembangan pemahaman, pahlawan tidak hanya menyentuh sosok politik dan perang itu. Dengan begitu, siapa pun yang memiliki kontribusi signifikan terhadap sebuah hal yang perlu diperjuangkan adalah pahlawan. Sehingga muncul sebutan "pahlawan ekonomi", "pahlawan olahraga", "pahlawan kebudayaan", "pahlawan kemanusiaan", "pahlawan kesenian". Atau siapa pun yang sudah memperoleh legitimasi publik atas jasa-jasanya, dan dilegendakan publik dalam pengertian yang positif. Dan mereka, seperti halnya pahlawan beratribut pejuang perang atau politik, berhak hidup abadi di "taman makam pahlawan".
Lantas, sosok pahlawan akhirnya bisa dipahami lewat pengertian filosofis. Setiap tokoh yang berjuang mati-matian menuju muara kebaikan atau perbaikan adalah pahlawan. Siapa pun mereka. Bahkan sampai tokoh-tokoh yang tidak ada di dunia konkret, atau tokoh-tokoh yang senantiasa berlalu-lalang di dunia fiktif. 
Seperti Hanoman dalam kisah Ramayana yang diposisikan sebagai "pahlawan hati nurani". Seperti Superman atau Spider-man bagi orang Amerika yang diakui sebagai "pahlawan sosial", yang eksistensinya bisa membayangi popularitas Abraham Lincoln. Di sisi lain, Pak Guru Umar Bakri rekaan Iwan Fals adalah "pahlawan pendidikan". Nama Pak Umar mungkin saja bersanding dengan nama monumental Mohamad Hatta, Rudy Hartono, dan lain-lain. Sedangkan Iwan Fals sendiri dinobatkan sebagai "Pahlawan Asia" oleh majalah Time.
Seniman adalah sosok yang paling mudah memahami keluasan penafsiran sebutan pahlawan itu. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengangkat Tirto Adhi Suryo sebagai tokoh besar pergerakan dan pers Indonesia pada awal abad ke-20, lewat novel Bumi Manusia. Tirto Adhi Suryo akhirnya disahkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada 2006, setelah lebih dari dua dasawarsa diuar-uarkan. Roman Laskar Pelangi ciptaan Andrea Hirata menjunjung Ibu Guru Muslimah sebagai pahlawan yang tiada ternilai jasanya. Sementara itu, penyair Rendra dengan penuh semangat menjunjung Atmokarpo sebagai pahlawan lokal yang gagah berani dalam puisinya yang energetik. Siapa Atmokarpo, sejarah besar bangsa lupa mencatatnya.
Di sisi lain, Sudjojono meyakini pahlawan bisa lahir pada setiap dekade. Para mahasiswa yang tergabung dalam Angkatan 66 adalah satu contohnya. Lukisannya yang berjudul Maka Lahirlah Angkatan 66 adalah presentasinya. Sejumlah karya seni rupa para seniman terkenal berkali-kali ikut menegaskan hal itu. Pelukis Djoko Pekik mengangkat rakyat kecil seperti tukang becak sebagai pahlawan. "Merekalah yang menjadikan negeri ini tetap berdiri, sementara kelompok elite politik koruptor yang berusaha mengambrukkannya," katanya. Hal yang sama juga disepakati Dede Eri Supria, yang tak henti mengangkat eksistensi tukang sapu sampai pemasang konstruksi bangunan tinggi, yang hidupnya bergelantungan antara hidup dan mati. 
Jalan Seniman
Sudah lama para seniman menyuruk ke sana-kemari mencari pahlawan lewat pemahamannya sendiri. Namun, di sebaliknya, eksistensinya sebagai seniman nyaris tidak sempat terperhitungkan dalam wacana kepahlawanan. Meski kontribusi sejumlah seniman Indonesia bagi Republik Indonesia bukan main besarnya. 
Dalam jajaran sekitar 160 nama pahlawan resmi versi pemerintah, yang dipilah dalam kategori "Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan", "Pahlawan Pergerakan Nasional", "Pahlawan Proklamasi", "Pahlawan Pembela Kemerdekaan", "Pahlawan Revolusi", "Pahlawan Nasional", dan "Pahlawan Reformasi", hanya ada tiga seniman yang masuk daftar. Mereka adalah sastrawan Abdul Muis dan Raja Ali Haji, pemusik W.R. Supratman dan Ismail Marzuki, yang semuanya berkiprah pada masa pergerakan dan masa perang kemerdekaan Indonesia.
Padahal banyak seniman besar kita lainnya yang amat layak dijunjung sebagai pahlawan. Sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana, penyair W.S. Rendra, adalah contohnya. Juga pembuat film Usmar Ismail dan Teguh Karya, serta dramawan Arifin C. Noer. Lalu pemusik plus pedagog seni suara Pranadjaja, musikus pop Tonny Koeswojo, sampai Ibu Sud sang pencipta lagu. Tak terkecuali pelukis Raden Saleh, Basoeki Abdullah, serta Affandi, orang Indonesia kedua yang wajahnya menghiasi sampul majalah Time, setelah Sukarno.
Bersamaan dengan terabaikannya seniman besar sebagai pahlawan resmi versi pemerintah, otomatis nyaris tak ada nama plaza atau jalan besar yang menggunakan nama seniman. Bahkan nama gang buntu sekalipun. Kecuali Jalan Raden Saleh di Jakarta, lantaran di situ berdiri rumah Raden Saleh, yang kini jadi rumah sakit. Atau Jalan Amri Yahya di Yogyakarta, karena di jalan nan pendek itu berdiri galeri lukisan dan batik Amri Yahya.
Di Jakarta, ada Taman Chairil Anwar, sebuah area yang kecil, tidak dilihat siapa-siapa, dan sering lupa dirawat. Sementara taman patung ASEAN di kawasan Menteng malah dinamakan Taman (Untung) Suropati, bukan Taman Sungging Prabangkara, seniman top zaman Majapahit, misalnya. Hanya Ismail Marzuki yang beruntung karena terabadikan dalam bentuk pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, gagasan Ali Sadikin. 
Sebuah pertanyaan berulang, apakah betul seniman adalah makhluk lapis kesekian dalam strata sosial-politik negara Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar