Sabtu, 17 November 2012

Hijrah dari Bangsa Parasit


Hijrah dari Bangsa Parasit
Siti Marwiyah ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 16 November 2012


Orang yang dapat menghadapi hidup adalah mereka yang bangkit dan mencari keadaan seperti yang diinginkan. Apabila tidak menemukannya, mereka menciptakan keadaan tersebut, (George Bernard Shaw).
Pernyataan Bernard tersebut mengandung filosofi kehidupan yang bermakna bagi manusia. Manusia diingatkan tentang kesejatian dirinya yang ditentukan oleh peran-peran yang dimainkannya. Kebermaknaan hidup hanya bisa diraih dengan cara mencari dan menciptakan keadaan sesuai yang dicita-citakan atau diobsesikannya. Sedangkan keadaan ini haruslah mencerminkan sebagai hasil kreasi yang dilakukannya.
Kita ini terkadang asal-asalan dan gampang meliberalisasikan perilaku dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Prinsip sesuka hati dan membiasakan hidup santai, menerima saja tanpa ada usaha, tanpa perjuangan, tanpa kegigihan, tanpa ketekunan, tanpa kreativitas, atau tanpa mengerahkan segala kemampuan, masih menjadi bagian dari diri kita.
Kita, misalnya, gampang bilang bahwa apa yang terjadi sudah ada garisnya dari Tuhan, padahal kita sebenarnya tidak pernah tahu, apa sebenarnya garis yang sudah dibuat atau dirumuskan oleh Tuhan. Kita mudah menyebut kalau kemudahan atau kesulitan, kesenangan atau kesusahan, keberdayaan atau ketidakberdayaan mengenai kita, sudah diatur dari 'Atas'.
Kita seringkali menemukan sekelompok anggota masyarakat dan anak-anak muda yang menikmati kehidupan serba santai. Keseharian mereka dihabiskan hanya untuk jalan-jalan, cangkrukan, menyemarakkan kehidupan malam sampai pagi, atau berpola hidup merugi, yang kalau ditanya dan dilarang, jawabannya, "Senyampang masih muda, masih ada waktu, dan belum mati."
Prinsip seperti itu dapat membuat kita gampang menjadi sosok manusia yang tidak giat, tak bersungguh-sungguh, dan tak menyalakan semangat untuk mencari dan menemukan sesuatu yang kita cita-citakan. Padahal, cita-cita kecil maupun besar baru bisa diraih jika dilalui dengan cara terus menerus mencari dan berusaha membangun kultur menciptakan.
Kata kunci keberhasilan seseorang dalam hidup dari ketidakberdayaan menuju keberdayaan, dan dari keberdayaan menuju pencerahan, sebagaimana disebut A Quilani (2003), terfokus pada pembumian prinsip mencari dan menciptakan. Kedua kata kunci ini secara psikologis dimaksudkan untuk membangkitkan emosi dan kesadaran intelektualitas manusia supaya hidupnya punya warna, ada sejarah yang terbentuk, ada pola hidup mencerahkan yang bisa dinikmati, atau nilai-nilai kebermaknaan yang diraihnya.
Dengan dua kata ini, manusia bisa menghijrahkan dirinya dari kesulitan menuju kemudahan, dari kemunduran menuju kemajuan, dari kemajuan menuju pencerdasan dan pencerahan.
Dalam tahapan mencari dan penciptaan ini, seseorang berusaha mengerahkan bakat, potensi, atau keistimewaan dalam dirinya yang bisa dikonsentrasikan untuk mendapatkan dan menghasilkan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai ini tentulah yang membuat peran-peran yang dilakukannya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsanya.
Mewujudkan peran yang bermanfaat tidaklah gampang, karena berbagai bentuk tantangan bisa jadi menghambat, menghadang, dan menakhlukannya, atau membunuhnya. Tantangan ini bukan tidak mungkin akan menyeretnya kembali menjadi sosok-sosok yang memilih bersikap apatis, stagnan, dan menerima apa yang terjadi, dan bukannya membaca dan mengendalikan realitas di masyarakat sebagai potensi atau peluang strategis untuk mengembangkan diri.
Saat Nabi menjalankan tugas kerasulan, sekelompok elit Qurays pernah menawarkan imbalan harta, wanita, dan kekuasaan mapan dengan syarat Nabi tidak perlu melanjutkan dakwahnya. Apa jawab Nabi dengan tantangan yang menggodanya ini? "Andaikan bulan bisa kalian berikan di tangan kanan dan kiriku, aku tidak akan menerimanya," demikian jawab Nabi sebagai bentuk penguatan moral diri atau komitmen kepejuangannya.

Seseorang dari kalangan muhajirin Jawaban Nabi itu menunjukkan ketegasan sikapnya terhadap tantangan yang mencoba merapuhkan mentalitas kepejuangannya, yang sekaligus mengajarkan pada umat Islam (sahabat-sahabatnya). Bahwa dalam kehidupan ini, seseorang, masyarakat, atau bangsa mana pun di bumi, yang mencita-citakan suatu perubahan besar, di samping harus teguh menghadapi setiap tantangan, juga wajib menunjukkan prestasi-prestasinya melalui keberanian memproduk atau menghasilkan sesuatu yang bermakna., yang tidak mau menjadi parasit di Madinah atau 'menadahkan tangan' saja, misalnya, cukup bertanya pada komunitas Anshor, keberadaan pasar atau daerah yang jadi pusat perdagangan. Di area bisnis ini, seorang sahabat yang semula kehilangan hartanya di Mekah akibat ikut berhijrah, mampu membangun budaya enterpreneurship-nya hingga menjadi elite ekonomi lagi.
Kedua tantangan di atas sebenarnya dimaksudkan menggugat atau 'menantang' mental masyarakat supaya bermental kreatif, tidak pantang menyerah, atau tak takhluk dalam hegemoni penyakit parasit, yang membuatnya kehilangan kecerdasan dan kegairahannya dalam menerjemahkan fenomena sosial, kultural, dan berbagai bentuk kekayaan yang disediakan oleh Allah di muka bumi.
Seharusnya, sebagai bangsa yang menempatkan dirinya dalam ranah the biggest moeslem community in the world, keberanian menjatuhkan opsi 'hijrah' dari mental parasit, mental memperbudak diri, atau mental gampang menyerah dalam keterjajahan global seperti membiarkan diri jadi 'kurcaci', negara-negara penghutang hanya demi menikmati pinjaman, lebih dikedepankannya, yang pengedepanan ini ditunjukkan dengan cara membangun mental kreatif dan produktif.
Keberanian menjatuhkan opsi 'hijrah' dari kultur parasit dari berbagai cengkeraman kepentingan lokal, nasional hingga global, menjadi garansi privilitas terwujudnya keberdayaan dan pencerahan pada bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar