Kamis, 01 November 2012

Degenerasi Teroris


Degenerasi Teroris
Kacung Marijan ;  Guru Besar Universitas Airlangga dan Staf Ahli Mendikbud 
SINDO, 01 November 2012


Munculnya aksi terorisme di Solo dan Poso serta adanya penangkapan teroris di sejumlah kota belakangan menunjukkan bahwa aksi terorisme di negeri ini belum selesai.

Bahkan boleh dikatakan telah terjadi “regenerasi” teroris.Hal ini terlihat dari adanya nama-nama “baru” dan kelompok usia yang lebih muda yang terlibat di dalamnya.Apakah hal ini bisa diartikan bahwa upaya penangkapan,bahkan penembakan mati, terhadap para teroris dan gerakan deradikalisasi yang telah dilakukan sejak tahun-tahun terakhir belum mampu memangkas jaringan teroris?

Memberantas terorisme memang tidak mudah.Paling tidak demikian kalau kita belajar dari praktik terorisme yang terlebih dahulu ada di berbagai belahan dunia,seperti aksi terorisme di Irlandia Utara, Spanyol,Timur Tengah, negara-negara Asia Selatan, Filipina Selatan, dan wilayah-wilayah lain. Meski begitu, sejarah juga mencatat bahwa aksi terorisme itu bukan tidak mungkin untuk dihentikan.

Aksi kekerasan di Irlandia Utara,misalnya,bisa dikatakan mengalami kemandekan setelah adanya proses perundingan yang panjang di antara pihak-pihak yang terkait dan adanya penyadaran bahwa untuk mencapai tujuan itu tidak harus melalui jalan kekerasan, melainkan juga bisa melalui jalan damai.Di Filipina Selatan juga terdapat prospek penghentian setelah adanya kesepakatan baru antara kelompok perlawanan dengan pemerintah di Manila.

Kompleks

Karakteristik kelompok teroris di Indonesia yang muncul sejak lebih dari satu dekade belakangan ini memiliki perbedaan kalau dibandingkan dengan kelompok teroris di sejumlah negara lain seperti di Irlandia Utara, Spanyol, Asia Selatan, bahkan di Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Di negara-negara ini, aksi terorisme berkait dengan upaya untuk memperjuangkan suatu wilayah atau kemerdekaan.Apa yang mereka lakukan identik dengan gerakan separatis.

Di Indonesia, sebagian gerakan terorisme tidak secara spesifik berkaitan dengan tuntutan memperjuangkan teritori tertentu meskipun lokasi dari aksi terorisme itu lebih banyak terjadi dan berpusat pada wilayah tertentu.Perkecualian adalah apa yang terjadi di wilayah Papua yang belakangan juga memanas kembali.Orang-orang yang tergolong sebagai teroris dan melakukan aksinya di wilayah Indonesia merupakan bagian dari transnational terrorists karena didasari oleh semangat ideologi radikal untuk melawan hegemoni ideologi global, baik secara politik maupun ekonomi.

Perjuangan para teroris di Indonesia itu tidak diarahkan untuk merebut bagian wilayah tertentu dari Indonesia atau wilayah Indonesia secara umum, melainkan lebih pada kemapanan global. Karena itu, yang menjadi target dari kelompok teroris itu memiliki spektrum yang cukup luas,mulai dari orang-orang Barat yang dianggap sebagai representasi ideologi dan kekuasaan global yang menindas sampai para pejabat dan orang-orang Indonesia yang dipandang sebagai kolaborator dari ideologi dan kekuasaan global itu. Menangani kelompok teroris berkarakteristik demikian, dengan demikian,lebih sulit kalau dibandingkan dengan menangani kelompok teroris yang hendak memperjuangkan wilayah tertentu.

Mengingat yang menjadi tuntutan dari kelompok teroris jenis yang terakhir ini lebih jelas, upaya mencari solusi melalui cara-cara nonkekerasan bisa dilakukan seperti melalui perundingan. Spektrum yang menjadi tuntutan para teroris di Indonesia lebih luas,yaitu tuntutan adanya perombakan sistem dunia yang dianggap tidak adil melalui “jalan keagamaan”.Yang menjadi lawan para teroris di Indonesia bukan sekadar negara dan para pejabat Indonesia. Lebih dari itu adalah sistem dunia, negara-negara dan pejabatnya yang selama ini dianggap bertanggung jawab terhadap sistem yang tidak adil itu.

Meskipun demikian, upaya memberangus gerakan terorisme harus dilakukan Indonesia karena gerakan ini tidak hanya telah memakan banyak korban, melainkan juga telah mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Melakukan dialog, cara-cara damai, dengan para teroris dan pengikutnya sebagaimana dilakukan di Filipina Selatan dan negara-negara lain tidak bisa dilakukan.Karena itu,upaya itu harus dilaksanakan melalui cara-cara lain. Paling tidak ada dua pendekatan utama yang bisa dilakukan untuk mengatasi kelompok teroris seperti di Indonesia ini.

Pertama adalah melalui pendekatan law enforcement. Di dalam pendekatan ini, misalnya, dilakukan pembentukan hukum dan perangkat antiterorisme.Di Indonesia hal ini sudah dilakukan melalui UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan pembentukan unit-unit khusus antiterorisme. Kedua adalah pendekatan kebudayaan.Pendekatan ini dilakukan melalui upaya counter atau penanaman nilai-nilai yang berlawanan terhadap terorisme. Upaya ini, misalnya, telah dilakukan melalui gerakan deradikalisasi yang melibatkan banyak organisasi keagamaan.

Belum Efektif

Implementasi dari dua pendekatan itu memang telah membawa sejumlah hasil.Gembong dan ideolog teroris telah ditangkap dan bahkan tidak sedikit yang terbunuh. Nama-nama besar teroris yang memiliki jaringan dan kemampuan kuat bisa dikatakan telah lenyap dari daftar orang-orang yang diburu.

Tetapi, munculnya serangkaian aksi terorisme di Cirebon dan Solo menunjukkan bahwa ideologi terorisme di Indonesia masih ada dan telah terjadi semacam generasi teroris. Hal demikian terjadi karena dua pendekatan yang dipakai itu masih belum sepenuhnya mampu memangkas ideologi dan jaringan terorisme. Ideologi dan jaringan semacam itu tidak mudah dipangkas karena dua hal. Pertama, konteks global belum mengalami perubahan-perubahan yang berarti.

Ketidakadilan global dianggap masih terjadi. Secara spesifik, keadilan global yang menimpa umat Islam seperti di Palestina dianggap belum selesai. Kedua, masih berkembangnya ideologi radikal “kepala kuda’, bahwa hanya nilai-nilai yang dianut dan ditafsirkan saja yang paling benar dan yang lainnya salah.Di dalam ideologi demikian, jangankan yang berbeda agama, yang berbeda penafsiran pun dianggap salah dan halal darahnya.

Upaya melakukan regenerasi teroris di Indonesia mau tidak mau harus mempertimbangkan dua realitas semacam itu.Pertama, pemerintah Indonesia bersama-sama dengan komunitas global lain harus memperjuangkan tatanan global yang lebih adil dan saling menguntungkan. Kedua, upaya memperkuat ideologi yang lebih toleran harus terus-menerus dilakukan, baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal maupun informal. Bahwa ajaran agama yang kita anut tidak hanya berisi nilai-nilai hitam putih, yang hanya membenarkan dan memberi ruang untuk diri sendiri, melainkan juga yang memberi ruang untuk yang lain. Bahwa agama yang kita anut ini bukan hanya membawa rahmat untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain dan seluruh alam.

Penegakan hukum terhadap para teroris juga tidak bisa hanya dilakukan setelah aksi terorisme terjadi.Penegakan hukum juga harus mampu menjangkau kelompok-kelompok yang selama ini tergolong radikal dan telah menjadi ancaman nyata terhadap eksistensi negara-bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar