Ancaman
Negativisme Sosial
Wahyudi Winarjo ; Pengurus Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Pusat,
Dekan FISIP Universitas
Muhammadiyah Malang
|
JAWA
POS, 01 November 2012
KONFLIK
horizontal antara warga Desa Balinuraga dan warga Desa Sidoreno, Kecamatan
Waypanji, Lampung Selatan, kembali menggugah kewaspadaan kita tentang masih
adanya bahaya laten SARA. Konflik sosial itu dipicu oleh tuduhan sexual harassment oleh
oknum pemuda Balinuraga terhadap gadis Desa Sidoreno. Persoalan yang semula
bersifat pribadi berubah cepat menjadi ledakan permusuhan antarwarga
masyarakat. Seolah tidak pernah ada Pancasila sila perikemanusiaan yang adil
dan beradab serta sila persatuan Indonesia.
Kasus Balinuraga-Sidoreno hanyalah satu di antara serangkaian tragedi sosial yang pernah terjadi di Indonesia. Sebelumnya juga terjadi konflik sosial di berbagai daerah. Sebut saja, peristiwa Sampang, Tarakan, Ambon, Maluku, Kalimantan, Poso, Aceh, dan Papua. Bahkan, sampai saat ini pun, masih ada bahaya laten yang terus mengintai, yakni yang terkait dengan terorisme, radikalisme FPI, Ahmadiyah, Syiah, serta kelompok di luar mainstream lainnya. Fenomena amuk sosial sebagaimana dimaksud di atas sungguh sangat memilukan. Semua ini merupakan bentuk negatif kepribadian sosial, suatu penyakit yang dapat disebut sebagai negativisme sosial, yakni munculnya sikap dan perilaku negatif dari suatu golongan masyarakat tertentu terhadap golongan atau komunitas lain yang berbeda keyakinan ideologi, agama, serta perbedaan predikat sosial-budaya lainnya. Seyogianya, negativisme sosial tidak boleh diberi ruang sedikit pun. Kebenaran Halalan Thoyiban Banyak analisis yang dapat dihadirkan untuk mengurai asal-usul negativisme sosial. Satu di antaranya disebabkan oleh proses konstruksi sosial (Berger dan Luckmann, 1994) yang salah. Manusia sering keliru dalam membuat dan memosisikan proposisi tentang kebenaran yang diyakininya. Golongan, komunitas, dan atau masyarakat yang mengembangkan negativisme sosial senantiasa membuat justifikasi bahwa kebenaran itu tunggal. Tidak ada kebenaran lain di luar kebenaran yang diimaninya. Sikap semacam ini sungguh sangat ahistoris. Memungkiri dan mengingkari realita sejarah sosial yang dialami umat manusia. Sikap ahistoris inilah yang kemudian mendorong perilaku uniformitas atau homogenisasi klaim kebenaran secara sepihak, sekaligus memaksakan keyakinan kebenarannya untuk diadopsi orang lain. Padahal, harus dengan besar hati, sadar sedalam-dalamnya, berdamai seikhlas-ikhlasnya terhadap segala perbedaan itu. Setiap ideologi, agama, dan predikat sosial-budaya lainnya akan selalu mengusung visi dan misi nilai kebenaran yang dipercayainya. Karena itu, diperlukan sikap arif, sikap yang tidak memaksakan kehendak, sikap untuk percaya sepenuhnya, bahwa secara sosial ternyata ada kebenaran lain di luar kebenaran yang diimaninya. Semua ini merupakan bagian dari ayat-ayat khauniyah (hukum Tuhan) yang harus kita ambil sebagai pelajaran (i'tibar) dalam berkehidupan sosial. Sikap dan perilaku negatif muncul manakala komunitas sebagaimana digambarkan di atas berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki seperangkat predikat sosial-budaya yang berbeda. Mereka itu tidak siap melihat serta tidak mampu menerima terpaan ataupun pancaran simbol-simbol ideologis, keagamaan, dan predikat sosial-budaya lain yang berbeda. Hati mereka menjadi panas. Emosi sosialnya menjadi tidak terkendali. Kemarahannya kemudian ditumpahkan dalam sikap dan perilaku seperti membenci, menghasut, menganggap sesat ajaran lain, membuat jarak dalam pergaulan sosial, melakukan tindakan kekerasan fisik, bahkan sampai menghalalkan darah dan nyawa. Potret sosial semacam itu sungguh memilukan, mengiris-iris kalbu, dan membuat nurani menangis tersedu-sedu. Untuk apa kita memeluk keyakinan ideologi, agama, dan predikat sosial-budaya tertentu jika dengan "sandangan sosial-budaya" itu kita harus membenci, memusuhi, bahkan membunuh orang lain. Bukankah keputusan kita untuk memilih predikat sosial-budaya itu lebih dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendukung peran sosial dalam membangun tata kehidupan sosial yang harmonis dan damai? Tetapi, kenapa kemudian diimplementasikan dalam sikap dan tindakan yang destruktif? Padahal, kebenaran, keluhuran, dan kemuliaan itu "haram hukumnya" jika harus dicapai melalui cara-cara yang tidak halalan dan tidak thoyiban. Negativisme sosial tumbuh dan berkembang di antaranya juga disebabkan kontrol sosial yang lemah. Tidak jarang sistem sosial kita sangat permisif dan tidak berdaya untuk mengatur mekanisme kehidupan sehingga bermunculan berbagai bakteri, virus, dan penyakit sosial yang menggerogoti kesehatan masyarakat. Lemahnya kontrol sosial ini mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya potensi eksklusivisme, fundamentalisme, radikalisme, dan negativisme yang bermuara pada tindak kekerasan sosial. Harmoni sosial pun guncang. ''Laku'' v Identitas Palsu Percikan renungan sosial sebagaimana dielaborasi di atas telah memberikan inspirasi perlunya dikembangkan kajian sosiologis tentang model toleransi yang sesungguh-sungguhnya. Bukan sekadar kulit dan prosedurnya semata, seperti halnya yang berlangsung selama ini. Dalam hal ini dapat diperbandingkan kenapa di suatu daerah atau wilayah ada sistem sosial kemasyarakatan yang sangat harmonis, tetapi di daerah atau wilayah lain tata kehidupannya penuh dengan ketegangan dan konflik sosial. Sepatutnya diupayakan langkah-langkah konstruksi teoretik tentang sosiologi toleransi yang khas Indonesia. Meminjam pengalaman penelitian tentang fungsi desk Pilkada (Wahyudi, 2010), diduga bahwa pengembangan toleransi yang dapat dilakukan untuk menangkal negativisme sosial adalah model toleransi yang berbasis kearifan lokal. Toleransi ini bergerak secara lentur dengan mendayagunakan nilai-nilai lokalitas. Menurut pengalaman penulis, aliran kejawen atau aliran kepercayaan di masyarakat Jawa tempo dulu telah pernah menjadi eksemplar forum mediator sosial yang secara etis dan estetis menjadi pilar toleransi sosial. Komunitas itu lebih mementingkan "laku" daripada sekadar baju atau identitas yang palsu. Bagi mereka, stock of knowledge tentang ajaran kebaikan itu tidak ada maknanya sedikit pun selama tidak dipraktikkan. Hakikat nilai kebenaran dan kebaikan adalah nilai yang jika dipraktikkan tidak akan pernah mencederai, apalagi menyakiti, orang lain. Jangan-jangan, negativisme sosial yang acapkali menyeruak dalam interaksi sosial tersebut lebih merupakan produk sistem kelembagaan yang tidak sehat, daripada sebagai fungsi dari niat jahat sang pelaku. Mari kita merenung dan introspeksi diri atas peran sosial kita masing-masing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar