Menanggapi
Iklan Diskon TKI
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara
Malaysia
|
SINDO,
01 November 2012
Iklan diskon TKI menyedot perhatian dari
pelbagai pihak. Tentu, respons ini menggambarkan bahwa begitu banyak orang
yang peduli dengan nasib para pekerja perempuan di luar negeri.
Perlu dimaklumi, hubungan Indonesia- Malaysia bersumbu pendek. Apabila ada isu yang menyengat, tanggapan dari segala penjuru berhamburan, dari nada biasa hingga kutukan. Tak hanya orang awam,Marti Natalegawa, Mengeri Luar Negeri, turut memberikan pernyataan. Eks wakil Indonesia di Persatuan Bangsa-Bangsa ini telah menelepon sejawatnya, HanifahAman,dan menyampaikan protes keras atas selebaran yang merendahkan martabat rakyat Indonesia. Menanggapi kontroversi tersebut,Duta Besar Malaysia di Jakarta Dato’ Syed Munshe Afdzaruddin menegaskan bahwa iklan tersebut liar.Apalagi alamat yang tertera pada iklan ternyata tempat cukur rambut. Iklan tersebut dibuat memang untuk memantik kemarahan. Sejauh ini pihak kepolisian belum mengambil keterangan dari yang bersangkutan karena nomornya tidak aktif. Setidaktidaknya pernyataan Hanifah Aman melalui Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Kuningan melegakan kita bahwa tindakan seperti itu tidak dibenarkan sama sekali karena ia akan menganggap manusia tidak lebih dari barang. Hanya saja, seperti sering terjadi sebelumnya, pihak pemerintah kedua negara berusaha untuk menahan warganya untuk tidak meluapkan amarah dan lebih mengedepankan penyelesaian masalah dibandingkan mengipasi isu ini agar meruncing. Terlebih banyak warga masih terus mempersoalkan kelambanan pemerintah dalam menangani nasib pekerja migran di negeri jiran. Dua Jalan Pilihan yang bisa diambil mungkin menegaskan kembali bahwa kedua pemerintah telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) terkait perlindungan TKI di Malaysia agar hak-haknya sebagai pekerja tidak dirampas secara sewenang- wenang. Sementara yang kedua, Indonesia bisa segera mengambil keputusan untuk menarik semua pekerja sektor tata laksana rumah tangga (TLRT). Tentu saja, mengingat jalan pertama telah ditempuh, iklan itu tentu akan ditarik karena pembiaran hanya akan memperburuk hubungan kedua negara.Tapi, langkah terakhir bukan pilihan yang segera bisa dilakukan mengingat melibatkan ratusan ribu dan perjanjian antara kedua pihak untuk melanjutkan kerja sama setelah moratorium pengiriman pekerja dicabut. Namun, persiapan untuk jangka panjang penghentian pengiriman pekerja TLRT segera dimatangkan sebelum tahun 2017. Lima tahun bukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan masa kerja 300 ribuan saudara kita di sana. Ia tidak hanya terkait pemulangan besar-besaran begitu banyak orang, tetapi juga nasib mereka yang tak lagi bekerja di negeri orang. Cetak biru untuk persiapan ini segera disampaikan pada khalayak agar semua pihak bisa menyikapi dengan kritis. Pada waktu yang sama, pihak terkait, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk meyakinkan orang ramai bahwa mereka telah bekerja untuk mengakhiri pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri. Kita pun mafhum bahwa perempuan yang bekerja ke luar negeri kebanyakan berusia muda, malah kadang terlalu muda untuk bekerja di sebuah keluarga yang kadang berbeda bahasa,budaya,dan agama.Kita harus bangga dengan kekuatan batin mereka.Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa secara tidak langsung kita telah merampas usia produktif mereka untuk berkeluarga? Betapapun mereka membawa pulang uang yang cukup, tidakkah mereka harus menanggung beban lain, yaitu mewujudkan sebuah keluarga di usia yang tak lagi muda? Belum lagi, ada banyak ibu muda yang harus meninggalkan anak dan suaminya. Bersikap Adil Dalam sebuah kesempatan, saya menjumpai seorang pembantu yang diantar oleh majikan Tionghoa hingga ke gerai check in Bandara Bayan Lepas Pulau Pinang.Betapa hubungan keduanya tak berjarak,sebagaimana layaknya majikan dan pekerjanya. Kedekatan ini jamak terlihat di bandara.Sebenarnya banyak majikan baik Tionghoa dan Melayu yang menyukai ketekunan pekerja Indonesia meskipun kita tidak harus menutup mata bahwa ada pekerja yang bernasib malang, didera dan tidak dibayar gajinya selama berbulan-bulan. Tempat perlindungan (shelter) Konsulat Pulau Pinang menampung ratusan pekerja yang mengalami nasib buruk. Dari kisah sekilas di atas, kita sepatutnya menempatkan Malaysia sebagaimana tetangga kita yang lain,setara. Hanya saja, kita tidak bisa menolak kenyataan sejarah bahwa keduanya ditakdirkan sebagai dua bangsa yang serumpun. Namun seperti hubungan saudara kandung di sini, keduanya bisa bertikai hingga berdarah-darah. Kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun tidak kemudian kita menghukum mereka yang jahat dengan menimpakan kepada pihak yang tidak melakukannya. Kewenangan untuk memperbaiki pelayanan terhadap pekerja berada di tangan pemerintah. Dengan mendorong pihak terkait, kita bisa menuntut apakah perbaikan itu telah dievaluasi dan mendatangkan perubahan. Hal lain yang patut mendapatkan perhatian bahwa selain pekerja TLRT, begitu banyak warga Indonesia yang bekerja di sektor lain seperti bangunan, perkebunan, restoran, bahkan pekerja profesional di banyak perusahaan pemerintah dan swasta.Meskipun berbeda, ada banyak persamaan yang menyatukan mereka berdasarkan afiliasi partai politik, organisasi keagamaan atau latar belakang etnik yang bisa menjadi kanal bagi usaha untuk mengurai benang kusut hubungan dua negara. Tahukah Anda, Persatuan Bawean Malaysia menjadikan bintang film ternama Malaysia, kawan aktor kawakan P Ramlee,Aziz Satar sebagai presidennya karena ia berdarah Bawean? Naif kalau kita menuduh bahwa orang Malaysia merendahkan harga diri masyarakat Indonesia yang merupakan bagian dari darahnya sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar