Kamis, 22 November 2012

Kedaulatan Permanen atas SDA


Kedaulatan Permanen atas SDA
Makmur Keliat ;  Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 22 November 2012

Tidak ada negara tanpa sumber daya alam betapapun miskinnya negara itu dalam ukuran-ukuran makroekonomi. Argumennya, penguasaan terhadap satuan wilayah geografis tertentu merupakan bagian integral dari pendefinisian konsep negara.
Mengingat tak ada wilayah geografis tanpa SDA, negara sebagai suatu konsep tak lalu sekadar dipahami menjadi suatu ”rumah besar” yang aman, tetapi juga sekaligus sejahtera bagi penghuninya. Ia menyampaikan makna bahwa negara adalah sumber awal kehidupan bagi penghuninya dan menentukan perjalanan peradaban dari seluruh penghuninya itu. Dalam khazanah studi strategis, baku kait antara kehadiran negara dan penguasaan SDA dipahami sebagai lebensraum.
Tanpa penguasaan ruang geografis berikut SDA, suatu negara dalam kompetisi geopolitik di tataran internasional diyakini akan menjadi sangat lemah dan ruang kehidupannya terancam.
Kedaulatan Permanen
Walau tidak secara tegas bertolak dari konsep lebensraum itu, patutlah dicatat Resolusi PBB 1803, 14 Desember 1962, yang mengakui adanya kedaulatan permanen negara atas SDA (permanent sovereignty over natural resources) itu. Ada beberapa butir penting dari resolusi ini yang menarik untuk dicatat. Pertama, kedaulatan permanen negara terhadap SDA dilaksanakan demi kesejahteraan penghuninya dan pembangunan nasional. Kedua, eksplorasi dan pengembangan SDA harus sesuai aturan- aturan yang ada di masyarakatnya. Ketiga, kerja sama investor dan negara dalam pengelolaan SDA dan pembagian keuntungan tidak boleh membawa dampak pelemahan terhadap konsep kedaulatan permanen negara atas SDA. Keempat, tindakan nasionalisasi dan penyitaan diizinkan dengan alasan kepentingan publik dan keamanan. Kelima, kontroversi yang muncul sebagai akibat dari tindakan nasionalisasi dan penyitaan itu dapat diselesaikan melalui arbitrase atau ajudikasi internasional.
Tak banyak perbincangan muncul di tataran internasional setelah sekitar lima dasawarsa gagasan kedaulatan permanen atas SDA dikeluarkan, Norma internasional yang dicoba dibangun lewat gagasan ini bahkan seakan meredup dan senyap di tengah gegap gempita konsep kedaulatan individual yang dikemukakan Kofi Annan akhir 1990-an. Ia juga kian terlupakan ketika wacana dominan yang muncul sejak awal 2000-an terfokus pada isu tentang tanggung jawab negara untuk melindungi. Dua isu ini, secara tak langsung atau sengaja, telah meminggirkan arti penting penguatan kedaulatan negara dan lebih banyak energi diplomatik diarahkan untuk mengurangi kekuasaan negara itu. Indonesia juga tampak tak pernah menggunakan mekanisme kerja sama regional ASEAN untuk melakukan pembangunan norma ini di kawasan Asia Tenggara.
Terlepas dari terpinggirkannya wacana kedaulatan permanen itu dalam ruang-ruang pertemuan diplomatik, fakta yang ada tetap menunjukkan semangat penguasaan negara terhadap SDA terus meningkat. Studi James Baker III Institute for Public Policy (April 2007) menarik dicermati. Menurut laporan ini, penguasaan potensi cadangan minyak dari perusahaan minyak internasional (IOC) secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan menurun. Posisinya digantikan perusahaan minyak nasional (NOC). Sepuluh terbesar pemilik cadangan potensi minyak dunia kini adalah perusahaan milik negara (BUMN). Cadangan minyak terbukti pada 2005 disebutkan 1.148 miliar barrel dan dari cadangan itu 77 persen dimiliki NOC.
Bingkai global seperti ini membuat gambaran pengelolaan minyak di Indonesia menjadi anomali. Kalau dilihat dari produksi riil, Pertamina yang mewakili entitas negara hanya menguasai 20 persen produksi minyak nasional. Proporsi 8:1 antara NOC dan IOC di tataran internasional juga tak tergambarkan dalam konteks Indonesia di mana penguasaan IOC faktanya jauh lebih besar dari NOC. Anomali ini diperkuat anomali lainnya. Salah satu argumen penguasaan negara terhadap SDA terkait dengan sentimen nasionalisme. Beberapa hasil penelitian yang dipublikasi menunjukkan (lihat misalnya Valdo Vivolda 2009) dorongan penguasaan SDA yang terus meningkat terkait dengan harga satuan energi yang terus menguat di pasar internasional. Kian tinggi harga energi, kian kuat dorongan melakukan nasionalisasi.
Hal ini wajar. Sesuatu yang berharga tentu akan dipertahankan setiap orang, sementara yang kurang berharga akan dilepaskan kepada pihak lain. Namun, dalam konteks Indonesia, sepuluh tahun terakhir baku kait ini tak tampak. Kenaikan harga minyak hanya memunculkan diskusi di sekitar APBN dan bukan pada isu pengelolaan SDA.
Koreksi terhadap Anomali
Bagaimana kemudian kita menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang menyatakan BP Migas inkonstitusional? Apakah berarti kita tengah menyesuaikan diri dengan kecenderungan global? Uraian di atas menyiratkan ke arah mana iktikad kebijakan dari keputusan MK itu tengah menggerakkan negeri ini. Ia dimaksudkan untuk mengoreksi anomali yang terjadi. Pertanyaan lain, apakah iktikad kebijakan yang menyuarakan konsep kedaulatan permanen atas SDA ini akan secara faktual dijadikan salah satu asas dalam pembangunan nasional dan interaksi diplomasi ekonomi di tataran internasional?
Secara normatif, saya kira, hampir tak ada satu pun kekuatan politik di Indonesia yang berani secara terbuka melawan ajaran konstitusional negeri ini. Semua sepakat pada prinsip normatif yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Persoalan kerap kali justru terletak pada strategi dan instrumen kebijakan yang digunakan untuk menindaklanjuti prinsip itu sehingga dapat menjadi nyata (working principle). Tantangan terbesar pasca-keputusan MK adalah perlunya strategi dan instrumen untuk mewujudkan prinsip normatif itu. Upaya politisasi terhadap sebab musabab kelahiran UU Migas UU No 22/2001 haruslah dihindarkan. Melihat ke depan dan bukan terperangkap masa lalu salah satu prasyarat penting pencapaian tujuan itu. Tanpa diiringi langkah-langkah kecil berikutnya, langkah besar yang telah dilakukan segera terlupakan dan sekadar menjadi catatan sejarah belaka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar