Kamis, 22 November 2012

Becek Tetapi Memberi Harapan


Becek Tetapi Memberi Harapan
 Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua MK
KOMPAS, 21 November 2012


Dalam perjalanan menuju Serang, Sabtu (10/11) sekitar pukul 23.00, ada cicitan dari Said Didu yang menyebut saya. Bunyinya, ”Prof. @mohmahfudmd, katanya sudah jadi contoh dunia.”

Kemudian dia copy paste berita dari sebuah media online yang memberitakan ceramah saya dengan judul berita ”Mahfud: Demokrasi dalam Fase Krisis”. Saya tanggapi Said: ”dalam konteks Indonesia, pemilu luber adalah contoh bagi dunia dan modal besar untuk kita, tetapi dalam konteks hubungan rakyat-elite demokrasi kita krisis”. ”Oh, paham Prof,” jawab balik Said.

Bahwa Said Didu mengirim pertanyaan malam itu, saya langsung paham. Pada pukul 20.00 di Hari Pahlawan itu saya menyampaikan orasi budaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul ”Mengembalikan Daulat Rakyat Demokrasi Kita”. Dalam orasi itu, saya berbicara tentang elite yang saat ini telah merampas daulat rakyat untuk menentukan pemerintahan. Saya, antara lain, mengatakan, daulat rakyat hanya dilakukan dalam lima menit oleh rakyat sendiri pada saat memberi suara di bilik suara ketika pemilihan umum. Sisanya selama 2.570.395 menit digunakan oleh elite politik untuk bancakan merampas hak rakyat.

Tak Berdaya

Saya mengatakan juga bahwa demokrasi kita becek dengan kubangan korupsi, sementara kita tak berdaya. Bahkan, para elite yang sering saling cerca atas nama rakyat sering pula bersalaman di bawah meja dan bertemu di hotel-hotel mewah untuk merampok hak-hak rakyat. Rakyat dihadapkan pada situasi sulit. Kalau memilih di dalam pemilu yang terpilih serigala; tetapi kalau tidak memilih, maka yang terpilih buaya sebab pilihan yang tersedia hanya serigala, buaya, dan ular berbisa (lihat Kompas 12/11/2012). Jadi, demokrasi kita ada dalam fase krisis.

Saya yakin Said menanyakan pernyataan ”fase krisis demokrasi” itu dua hari sebelum saya ber- ceramah di Hotel Bidakara, Jakarta, dengan tajuk ”Merajut Indonesia Baru” dengan perspektif isi yang berbeda. Di Bidakara, sa- ya katakan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa besar di masa depan karena mempunyai modal bagus, termasuk pemilunya yang luber sehingga bisa jadi contoh bagi dunia (Kompas, 9/11/2012).

Memang perspektif dua ceramah saya itu berbeda. Yang pertama bicara modal-modal sosial, politik, ekonomi, dan ideologi yang kita miliki. Yang kedua bicara konteks kekinian. Pemilu kita dipuji seantero dunia karena berlangsung damai dan relatif luber-jurdil, terutama Pemilu 1999. Rakyat Indonesia yang begitu majemuk ternyata bisa berpemilu dengan baik. Padahal, sebelumnya banyak yang khawatir, setelah pemilu akan gaduh.

Pancasila sebagai ideologi negara kita juga kuat. Berbagai kekuatan, legal maupun ilegal, yang ingin mengganti Pancasila selalu gagal. Rakyat tetap kembali ke Pancasila meskipun dalam praktiknya ada letupan-letupan kecil dalam bentuk intoleransi. Secara ekonomi kekuatan kita juga sangat menjanjikan. Sumber daya alam kita paling beragam dan berjumlah besar.

Saat ini kita berada pada peringkat kedua pertumbuhan ekonomi se-Asia, menjadi kekuatan ekonomi dunia ke-16, dan akan menjadi kekuatan ekonomi ke-7 pada 2030. Ini adalah fakta, terlepas dari penilaian atas kinerja pemerintahan SBY yang memang masih dapat diperdebatkan.

Secara sosial kita sangat solid. Elite kita terlihat berperilaku politik jelek, tetapi masyarakat kita punya solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama warga bangsa. Jika ada bencana alam, seperti tsunami di Aceh dan meletusnya Gunung Merapi, rakyat langsung bergotong royong tanpa bertanya apa agama, suku, dan rasnya. Yang utama adalah kepedulian terhadap sesama anak bangsa. Demokrasi kita memang becek dengan korupsi, tetapi kita punya modal yang sangat besar yang, kalau dirajut, bisa mengantarkan kita jadi bangsa besar.

Kita harus optimistis bahwa kita bisa membersihkan becek itu dan bisa jadi bangsa besar dengan merajut modal-modal besar itu. Untuk itu, kita perlu dua hal. Pertama, penataan sistem perekrutan politik agar tampil elite-elite pilihan nurani rakyat. Kedua, pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat. Kuat bukan berarti otoriter dan sewenang-wenang, melainkan tangguh dan efektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar