Becek Tetapi
Memberi Harapan
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Tata Negara; Ketua MK
|
KOMPAS,
21 November 2012
Dalam perjalanan menuju Serang, Sabtu
(10/11) sekitar pukul 23.00, ada cicitan dari Said Didu yang menyebut saya.
Bunyinya, ”Prof. @mohmahfudmd, katanya sudah jadi contoh dunia.”
Kemudian dia copy paste berita dari sebuah media online yang memberitakan
ceramah saya dengan judul berita ”Mahfud: Demokrasi dalam Fase Krisis”. Saya
tanggapi Said: ”dalam konteks Indonesia, pemilu luber adalah contoh bagi
dunia dan modal besar untuk kita, tetapi dalam konteks hubungan rakyat-elite
demokrasi kita krisis”. ”Oh, paham Prof,” jawab balik Said.
Bahwa Said Didu mengirim pertanyaan malam itu,
saya langsung paham. Pada pukul 20.00 di Hari Pahlawan itu saya menyampaikan
orasi budaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul ”Mengembalikan
Daulat Rakyat Demokrasi Kita”. Dalam orasi itu, saya berbicara tentang elite
yang saat ini telah merampas daulat rakyat untuk menentukan pemerintahan.
Saya, antara lain, mengatakan, daulat rakyat hanya dilakukan dalam lima menit
oleh rakyat sendiri pada saat memberi suara di bilik suara ketika pemilihan
umum. Sisanya selama 2.570.395 menit digunakan oleh elite politik untuk
bancakan merampas hak rakyat.
Tak Berdaya
Saya mengatakan juga bahwa demokrasi kita
becek dengan kubangan korupsi, sementara kita tak berdaya. Bahkan, para elite
yang sering saling cerca atas nama rakyat sering pula bersalaman di bawah
meja dan bertemu di hotel-hotel mewah untuk merampok hak-hak rakyat. Rakyat
dihadapkan pada situasi sulit. Kalau memilih di dalam pemilu yang terpilih
serigala; tetapi kalau tidak memilih, maka yang terpilih buaya sebab pilihan
yang tersedia hanya serigala, buaya, dan ular berbisa (lihat Kompas
12/11/2012). Jadi, demokrasi kita ada dalam fase krisis.
Saya yakin Said menanyakan pernyataan ”fase
krisis demokrasi” itu dua hari sebelum saya ber- ceramah di Hotel Bidakara,
Jakarta, dengan tajuk ”Merajut Indonesia Baru” dengan perspektif isi yang
berbeda. Di Bidakara, sa- ya katakan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa
besar di masa depan karena mempunyai modal bagus, termasuk pemilunya yang
luber sehingga bisa jadi contoh bagi dunia (Kompas, 9/11/2012).
Memang perspektif dua ceramah saya itu
berbeda. Yang pertama bicara modal-modal sosial, politik, ekonomi, dan
ideologi yang kita miliki. Yang kedua bicara konteks kekinian. Pemilu kita
dipuji seantero dunia karena berlangsung damai dan relatif luber-jurdil,
terutama Pemilu 1999. Rakyat Indonesia yang begitu majemuk ternyata bisa
berpemilu dengan baik. Padahal, sebelumnya banyak yang khawatir, setelah
pemilu akan gaduh.
Pancasila sebagai ideologi negara kita juga
kuat. Berbagai kekuatan, legal maupun ilegal, yang ingin mengganti Pancasila
selalu gagal. Rakyat tetap kembali ke Pancasila meskipun dalam praktiknya ada
letupan-letupan kecil dalam bentuk intoleransi. Secara ekonomi kekuatan kita
juga sangat menjanjikan. Sumber daya alam kita paling beragam dan berjumlah
besar.
Saat ini kita berada pada peringkat kedua
pertumbuhan ekonomi se-Asia, menjadi kekuatan ekonomi dunia ke-16, dan akan
menjadi kekuatan ekonomi ke-7 pada 2030. Ini adalah fakta, terlepas dari
penilaian atas kinerja pemerintahan SBY yang memang masih dapat
diperdebatkan.
Secara sosial kita sangat solid. Elite kita
terlihat berperilaku politik jelek, tetapi masyarakat kita punya solidaritas
sosial yang tinggi terhadap sesama warga bangsa. Jika ada bencana alam,
seperti tsunami di Aceh dan meletusnya Gunung Merapi, rakyat langsung
bergotong royong tanpa bertanya apa agama, suku, dan rasnya. Yang utama
adalah kepedulian terhadap sesama anak bangsa. Demokrasi kita memang becek
dengan korupsi, tetapi kita punya modal yang sangat besar yang, kalau
dirajut, bisa mengantarkan kita jadi bangsa besar.
Kita harus optimistis bahwa kita bisa
membersihkan becek itu dan bisa jadi bangsa besar dengan merajut modal-modal
besar itu. Untuk itu, kita perlu dua hal. Pertama, penataan sistem perekrutan
politik agar tampil elite-elite pilihan nurani rakyat. Kedua, pemerintahan
dan kepemimpinan yang kuat. Kuat bukan berarti otoriter dan sewenang-wenang,
melainkan tangguh dan efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar