Media dan
Perang Asimetris di Gaza
Ridlwan ;
Wartawan
Jawa Pos
|
JAWA
POS, 21 November 2012
KELUARGA besar Al Jabari sedang berbahagia. Pada Sabtu lalu, 17 November,
di Gaza City mereka mengadakan tasyakuran dan bagi-bagi permen untuk
anak-anak kecil. Mungkin mirip acara kenduri di desa-desa di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Trah Jabari merayakan wafatnya komandan militer Hamas Ahmad Al
Jabari yang jasadnya nyaris tanpa sisa dirudal Israel pada hari pertama tahun
baru 1434 H.
Ahmad sang penculik Gilad Shalit, tentara Israel yang akhirnya ditukar 1.027 tawanan Palestina itu, wafat di dalam mobil yang sedang melaju. Pembunuhan komandan Ahmad adalah awal dimulainya operasi militer Israel yang bersandi Pillar of Defense. Kemarin korban di pihak Palestina sudah seratusan orang, termasuk wanita, bayi, dan anak-anak. Israel berdalih mereka menyerang karena Hamas mengirimkan roket. Namun, fakta bahwa pada 5 November seorang pemuda Gaza Ahmad Nabhani tewas ditembak Israel tanpa provokasi tak disebut. Begitu juga, penembakan terhadap anak 13 tahun Ahmad Younis Khadir di Desa Abassan, Gaza Tenggara, tak disebut. Dua peristiwa itulah yang memaksa gerilyawan dari faksi pembebasan Palestina meluncurkan roket. Jadi, jelaslah sebenarnya siapa yang memulai pengkhianatan gencatan senjata. Sebenarnya menyebut konflik di Gaza sebagai perang juga kurang tepat. Dalam teori ilmu strategi, hal seperti itu disebut asymmetric warfare, ''perang'' namun tidak seimbang. Palestina tak punya angkatan laut, angkatan udara, bahkan angkatan darat. Kalaupun ada tentara di Gaza, itu lebih tepatnya disebut milisi. Kedua pihak tak hanya berjibaku dengan roket dan rudal jarak jauh, namun juga menggunakan media sebagai alat propaganda. Israel menebar brosur-brosur propagandanya secara masif di udara Gaza dan juga di dunia maya. Mereka membuat ilustrasi grafis yang menarik dan eye catching. Misalnya, gambar denah rumah sakit Gaza dengan tambahan simbol basement ditulis sebagai Hamas headquarter. Seakan-akan itu sebagai dalih bahwa mereka sah-sah saja menyerang rumah sakit karena di bawahnya ada markas Hamas. Selebaran gelap dengan gambar yang dimanipulasi adalah cara klasik sejak Perang Dunia I. Dulu Nazi Jerman dan Soviet berlomba membuat karikatur-karikatur unik untuk meruntuhkan mental satu sama lain. Bedanya, dulu belum ada photoshop. ''Perang'' juga terjadi di jejaring sosial macam Twitter. Akun resmi sayap militer Hamas @alqassambrigade beradu argumen dengan akun tentara Israel@idfspokesperson. Pendukung Hamas di Indonesia juga bebas misuh-misuh ke akun @Avitalleibovich, wanita ini adalah juru bicara resmi tentara Israel. Informasi kini bisa diakses mudah dan murah. Bahkan, setiap detik kita bisa tahu berapa korban versi Palestina plus foto adik-adik bayi yang bersimbah darah memilukan terhantam rudal Israel. Karena kemudahan mencari informasi itu, media konvensional, baik cetak maupun elektronik, berlomba-lomba mencari berita seeksklusif mungkin untuk mempertahankan loyalitas konsumen. Ratusan jurnalis dari berbagai kantor berita masuk ke Gaza lewat pintu Rafah yang berbatasan dengan Mesir. Berbeda dengan perang 2009 (operasi Cast Lead) , Mesir kini dikuasai Ikhwanul Muslimin, ''saudara kembar'' Hamas. Itu berarti masuk ke Gaza jauh lebih gampang daripada saat Mesir dikuasai rezim Mubarak, karib Israel. Fenomena di Gaza dari sisi keunikan (newsmakers) memang luar biasa. Betapa tidak, perang puluhan tahun, namun tetap saja warganya bertahan dan tak mau mengungsi. Perlawanan sipil yang dulu dengan menggunakan batu (intifada) kini bahkan lebih canggih. Perang Gaza menjadi pesta media. Selain konsumen umum, hampir semua analis dan pengambil kebijakan negara-negara besar memeloti perkembangan perang Gaza jam demi jam. Situation room di Gedung Putih tempat Obama berkantor pun 24 jam merekam berbagai berita tentang Gaza dari berbagai kantor berita. Sebab, media menjadi bahan analisis intelijen yang sangat penting. Di era cyber seperti sekarang, sumber informasi intelijen 95 persen berasal dari sumber terbuka (open source intelligence -osint). Lima persen sisanya membutuhkan konfirmasi intelijen dalam definisi klasik seperti yang kita tonton di film-film model James Bond. Bagaimana Indonesia? Sejak zaman Bung Karno memproklamasikan republik, Palestina melalui muftinya sudah mengucapkan selamat. Imam Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin (yang membidani Hamas) di Mesir 1948, mengucapkan selamat kepada KH Agus Salim dan delegasi dari Indonesia. Pada KAA 1955 di Bandung, Soekarno jelas menyebut Israel adalah agresor yang menjajah Palestina dan mendirikan negara di tanah orang lain. Namun, apakah berita soal perang Gaza di Indonesia juga diminati (dibaca) dan ditonton orang? Wallahu a'lam. Semoga, gaung tragedi kemanusiaan ini tak kalah dengan konser NOAH Ariel, pentas boyband Suju, atau aksi chibi-chibi gadis-gadis K-pop muda yang genit dari Korea. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar