Rabu, 03 Oktober 2012

Triangulasi Terorisme


Triangulasi Terorisme
Max Regus  ;  Peneliti Doktoral The International Institute of Social Studies, Universitas Erasmus Belanda
MEDIA INDONESIA, 03 Oktober 2012


MEDIA INDONESIA, di tengah kegembiraan politik beberapa hari belakangan ini, menulis analisis mengejutkan dalam editorial dengan judul ‘Teroris Muda’ (26/9). Ada satu peringatan penting bahwa terorisme mungkin sudah menjadi bagian dari nadi kehidupan bersama. Bahaya tidak lagi sedang mengintip kita. Itu seolah sudah memerangkap rasa aman sosial. Apa yang dimunculkan dalam analisis ‘Teroris Muda’ bukan semata kekejian terorisme yang mulai menghantui kita sejak tragedi Bom Bali beberapa tahun silam, melainkan terutama ketidakpastian datangnya kesuksesan mengakhiri siklus kekejaman teroris.

Sekurangnya ada tiga soal utama yang bisa dicernakan dari gagasan editorial Media Indonesia itu. Pertama, regenerasi grup teroris rupanya sedang meraih kisah kesuksesan hingga saat ini. Kemunculan segenap kelompok yang memiliki keterhubungan dengan model-model gerakan jaringan teroris menegaskan kenyataan tersebut. Regenerasi semacam itu mengandaikan basis yang kuat seperti atmosfer sosial-ideologis dan lanskap politik. Teroris muda mengindikasikan keberhasilan proses regenerasi itu.

Kedua, ‘Teroris Muda’ mendeskripsikan kesuksesan inisiasi kelompok teroris baru. Perekrutan jaringan teroris baru pasti berjalan dalam kesukarelaan kelompok muda itu. Di titik tersebut ada pelibatan aspek ideologis, spiritual, psikologis, sentimen politis, dan kecemburuan ekonomis. Bisa jadi, jaringan teroris muda terbentuk dalam campuran bermacam aspek itu. Jaringan baru tersebut mungkin akan muncul sebagai generasi teroris yang lebih lihai daripada sebelumnya jika dihubungkan dengan lingkungan kemunculannya. Intinya, tatkala terorisme mampu menerobos komunitas orang muda, kita sebetulnya sedang menghadapi bahaya yang sangat serius.

Ketiga, setelah dua yang pertama tadi masuk kesuksesan jaringan teroris, kita segera berhadapan dengan bayangan kekejian. Kini, jaringan teroris yang sudah lama hendak dilumpuhkan di Indonesia sedang mengaktivasi rekrutan mereka untuk memulai operasi keji di mana pun kesempatan itu datang untuk mereka. Yang kita hadapi di Indonesia saat ini ialah sirkulasi pertumbuhan jaringan teroris. Jaringan teroris yang sudah diisi dengan amunisi kekejaman sehingga benak dan kesadaran mereka sudah dihidupkan hanya demi kebrutalan yang merusak kehidupan orang lain.

Faktor Kunci

Dunia seolah sedang meniti kehancurannya sendiri akibat kekerasan yang beraada dalam pembiaran secara terus-menerus. Semula banyak analisis menyebutkan aspek ideologis sebagai variabel terkuat untuk menjelaskan terorisme. Namun, sebagaimana yang diingatkan Profesor Robert Muchembled, pengajar sejarah modern di Universitas Paris XIII, banyak faktor kunci yang menentukan keberhasilan operasi mesin terorisme. 
Dalam pandangannya, tidak mungkin hanya ada satu aspek untuk menjelaskan bagaimana dunia sedang tenggelam dalam kekerasan fisik, kebrutalan sosial, kekejaman teroris, dan keretakan hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan kita bersama.

Profesor Muchembled, dalam buku A History of Violence (2012), secara sistematis menguraikan bagaimana faktor geografis dan sosial melipatgandakan kekerasan dan teror dalam kehidupan sosial. Kecermatan menggunakan factor-faktor-kunci itu, di luar aspek ideologis yang sudah sejak lama ditebak, membawa kesuksesan signifikan untuk perancang aksi kekerasan dan teror. Indonesia mungkin akan menjadi tempat yang aman untuk jaringan teroris. Mereka dengan aman memproduksikan metode kekerasan dan memanfaatkan ruang sosial untuk merekrut sukarelawan baru. Wilayah geografis yang begitu luas juga menghadir kan kesulitan tersendiri untuk mendeteksi kantong-kantong teroris.

Faktor-faktor tersebut secara langsung mengamankan pola agresi teroris yang membombardir kehidupan sosial. Perkara kita sekarang bukan hanya pada metode dan strategi paling jitu untuk merusak jaringan teroris, melainkan juga keraguan tentang apakah terorisme akan berakhir pada suatu saat. Kegentaran kita di hadapan aksi-aksi beringas teroris terdampar pada satu pertanyaan kecil ini: apakah Indonesia menyediakan faktor geografis dan sosial yang paling konstruktif untuk jaringan teroris? Dengan melihat kesuksesan jaringan teroris muda seperti yang diulas Media Indonesia, pertanyaan itu serentak mendapatkan jawaban gamblang. Indonesia, dengan berkaca pada kenyataan, seolah membenarkan keberadaan sebagai salah satu simpul penting jaringan kerja teroris internasional.

Kalkulasi

Sejak awal mesti diambil kesimpulan bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk kekerasan paling mematikan dan menakutkan. Terorisme mengusung banyak alasan, target, bahasa, dan medium yang mereka gunakan untuk mengumumkan kehendak-kehendak sesat mereka. Brigite L Nacos, pengajar kriminologi dan politik di Columbia University, dalam buku Terrorism and the Media (1994), menyebutkan dengan tegas bahwa terorisme muncul sebagai bahaya paling menakutkan karena selalu berproses dalam dua aspek ini: jaringan yang kuat dan komitmen tunggal pada kekerasan.

Teroris niscaya mengusung kalkulasi kekerasan. Ada dua hal penting di sini. Pertama, teroris menggunakan media. Di situlah kekejian teroris tidak perlu didiskusikan. Korban, siapa pun yang kebetulan ada dalam jangkauan permainan mereka, di mana pun, dengan waktu keberuntungan mereka sekaligus kesialan sang korban, merupakan alasan paling fundamental mengapa terorisme harus dikutuk sebagai sesuatu yang keji. Korban sekadar media dalam benak dan perlakuan kaum teroris. Dengan korban, mereka ingin mengatakan maksud perbuatan keji mereka; entah sosial, politik, ekonomi, ataupun kalkulasi intensi lainnya.

Kedua, jaringan teroris, dalam analisis Profesor Brigite, memiliki target tiga arah. Pertama, mereka ingin mengendalikan dan mendominasi alur pikir publik. Mereka pasti menginginkan publik bergerak dalam atmosfer ketakutan. Itu selanjutnya pasti akan menjadi ruang hidup yang paling aman untuk jaringan teroris. Mereka membutuhkan ruang sosial yang dapat menyiapkan suasana kondusif untuk pergerakan. Kedua, jaringan teroris juga ingin merebut tempat penting dalam lalu lintas wacana sosial. Mereka ingin tahu sejauh mana mereka menempati sisi utama pada media sosial. Mereka ingin tahu seberapa penting posisi mereka di dalam pemberitaan, publikasi, dan ruang tutur masyarakat. Ketiga, jaringan teroris hendak mengintimidasi kelompok pembuat keputusan (decision maker) dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Kegoyahan pada sisi politik, negara, dan pemerintahan akan menguntungkan rangkaian aksi jaringan teroris.

Hingga sekarang, jaringan teroris di Indonesia secara gemilang telah meraih dua aspek tersebut, baik media maupun target. Sudah ada banyak korban kekejian teroris di Indonesia. Semuanya korban acak yang tidak memiliki harga di dalam kesadaran kaum teroris. Mereka akan menaruh bom di tempat yang sudah menjadi incaran mereka. Masyarakat, media publik, dan negara telah menghabiskan energi untuk melawan kekejian jaringan teroris di negeri ini. Jaringan teroris telah meraih kesuksesan besar dalam perspektif kalkulasi kekerasan.

Kultur

Ketika terorisme tidak terhentikan--segenap jaringan teroris mampu merebut minat, simpati, dan kerelaan generasi yang lebih muda untuk ambil bagian dalam keseluruhan cara kerja mereka--kesuksesan itu akan berada dalam formulasi yang lebih baru. Pada titik tertentu, dengan mudah orang akan mengenal Indonesia sebagai salah satu barometer pergerakan jaringan terorisme dunia. Sulit menampik anggapan semacam itu manakala pucuk-pucuk keberhasilan jaringan teroris seolah semakin sulit diberantas dengan cara kerja seadanya.

Tentu kita akan berada di titik yang tidak menguntungkan ketika teror dianggap sebagai bagian dari--meminjam judul buku karya pemikir Noam Chomsky The Culture of Terrorism (1989)--kultur kehidupan kita sebagai satu komunitas bangsa-negara. Budaya bangsa. Budaya komunitas politik. Maka, dengan cepat kita akan dikenal sebagai masyarakat yang memiliki budaya kekerasan, kebrutalan, dan antikehidupan.

Refleksi penting yang terungkap dalam editorial Media Indonesia mengetengahkan kepada kita, mungkin apa yang bisa disebut dengan triangulasi framework jaringan teroris di Indonesia. Mereka bergerak dalam sistematika regenerasi, inisiasi ideologis, dan aktivasi gerakan. Generasi teroris muda siap menerima estafet pergerakan keji. 

Pencapaian jaringan teroris dalam mengonsolidasikan tiga aspek itu telah menggandakan intuisi mereka dalam memanfaatkan faktor sosiogeografis, meraih kesuksesan dalam skema kalkulasi kekerasan, dan menghadiahkan label baru untuk Indonesia. Bagaimana memotong alur regenerasi jaringan teroris yang semakin sistematis di Indonesia, harus menjadi soal penting yang berada di dalam portofolio politik kenegaraan secara adequate● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar