Tragedi
Transportasi Jakarta
Bambang Soeroso ; Profesional di Bidang Infrastruktur,
Anggota Komite II DPD RI
|
SUARA
KARYA, 19 Oktober 2012
Dengan kondisi riil
infrastruktur jalan yang masih belum cukup memadai, potret buram kompleksitas
persoalan transportasi di Jakarta sudah semakin "akut". Bila saja
program pembangunan sarana jalan dan penataan moda transportasi massal
terabaikan pembenahannya. Apalagi, tidak terintegrasi dengan pola pembangunan
infrastruktur dan tata ruang kota secara sinergis, maka masalah kemacetan
lalulintas dan tranportasi Jakarta akan menjadi bom waktu. Di mana, pada
saatnya nanti, dapat menjadi sebuah "tragedi transportasi kota
metropolitan".
Bayangkan saja, bila
saat ini laju pertumbuhan penduduk Jakarta sudah menyentuh angka 2juta/tahun.
Sementara laju pertumbuhan jumlah kendaraan jauh di atas rata-rata
pembangunan jalan di ibu kota, maka dari data perkembangan pergerakan arus
dan kebutuhan perjalanan di Jakarta (tahun 2011) mencapai 21.9 juta
traffic/perjalanan/hari. Dengan jumlah kendaraan bermotor mencapai 6,5 juta
unit, yang terdiri dari pengguna kendaraan pribadi mencapai 6,4juta (98,6
persen) dan kendaraan angkutan umum mencapai 88,477 (1,4 persen). Dengan
tingkat pertumbuhan kendaraan rata-rata mencapai 10 persen/tahun, dan
pertumbuhan panjang jalan hanya 0.01 persen per tahun, maka jelas tidaklah
sebanding antara ketersediaan fasilitas sarana jalan yang ada, dengan laju
pertumbuhan jumlah kendaraan.
Sebagai sebuah
komparasi, Kota Jakarta kini hanya mempunyai ruas panjang jalan 5 persen dari
luas tata ruang kotanya. Sementara kota-kota di negara maju memiliki ruas
panjang jalan 15-30 persen dari luas kotanya. Apabila kondisi saat ini tetap
tidak berubah atau terjadi perlambatan pembangunan prasarana jalan, maka
imbasnya Jakarta diprediksi akan mengalami stagnasi "kelumpuhan total"
arus kendaraan pada tahun 2017. Inilah sesungguhnya titik krusial, yang akan
menjadi "tragedi transportasi Jakarta".
Akibat ketimpangan
itu, telah mengakibatkan Indikasi kerugian secara ekonomi dari data yang
terlansir mencapai Rp 22,17 triliun per tahun, yang terdiri dari kerugian
tangable sebesar lebih kurang Rp 12,7 triliun/tahun, berupa kerugian BBM .
serta kerugian intangable berupa waktu produktif sebesar Rp 9,77
triliun/tahun. Efek ini menimbulkan estimasi kerugian ekonomi akibat
inefisiensi lainnya yang diakibat oleh kemacetan di Jakarta menyentuh angka
sebesar Rp 65 triliun per tahun.
Untuk itu dibutuhkan
segera sebuah terobosan, gagasan, ide dan konsep pengembangan transportasi
massal melalui pendekatan pola pembangunan Integrasi Moda Transportasi (IMT),
yang terkonektivitas antara satu tujuan, ke tujuan lain dan antarsatu kota ke
kota penyanggah lain di lingkungan Jabodetabek secara efisien. Konsep
pembangunan prasarana transportasi dengan mengintegrasikan berbagai moda
transportasi, seyogianya secara teknis dapat dirancang dan dikembangkan dalam
blue print, master plan pengembangan infrastruktur Kota Jakarta untuk 30
tahun ke depan.
Dalam berbagai model
pengembangan infrasruktur jalan yang dikembangkan di beberapa negara,
tampaknya model pembangunan jalan dengan konsep jalan layang susun tiga atau
yang lebih dikenal dengan istilah Triple Decker, dapat menjadi alternatif
bagi pola pengembangan terpadu dalam Integrasi Moda Transportasi (IMT) untuk
Kota Jakarta.
Konsep IMT adalah
suatu rekayasa enginering dalam mengembangkan dan membangun konektivitas
integrasi tiga moda transportasi sekaligus. Yakni, berbasis jalan tol, LRT,
dan busway dalam satu kesatuan sistim dan struktur yang humanis. IMT akan
mengintegrasikan sebuah common platform yang berbasis kesetaraan humanis
(philanthropy), optimalisasi aset yang ada (utility saving), serta
peningkatan efektivitas dan efisiensi (mobility efficiensies).
Secara filosofis,
philanthropy adalah asas kesetaraan dan keadilan sosial yang humanis bagi
masyarakat pengguna LRT dan MRT yang berpenghasilan rendah.
Ketergantungan tarif
akan disubsidi silang oleh pengguna jalan tol. Utility saving adalah
optimalisasi aset yang ada, di mana kebutuhan lahan menjadi minimal, rolling
stock menjadi ringan dengan daya angkut menjadi tinggi, biaya konstruksi
dalam satu kesatuan struktur murah, daya guna maksimal dengan jasa serta
produk nasional dipergunakan maksimal.
Mobility efficiencies
adalah peningkatan efektivitas dan efisiensi bagi pengguna jalan tol yang
akan terkoneksi ke jaringan tol nasional serta LRT yang terintegrasi dengan
KRL komuter dan busway yang memiliki integrasi dengan feeder komuter dan
angkutan kota. Keterpaduan ini akan lebih menciptakan kondisi transportasi
massal yang efisien dan berkeadilan sosial (cross subsidi). Dalam
pembangunannya, IMT dapat diintegrasikan pada pengembangan program enam ruas
jalan tol Kota Jakarta yang sudah ada, sehingga bisa menghubungkan semua
sistem transportasi yang dirancang dan dapat menjadi solusi terhadap
pembangunan enam ruas tol dalam kota.
Pengembangan pola
pembangunan IMT merupakan gagasan yang pernah dikemukakan dalam seminar
infrastruktur bertajuk Solusi Permasalahan Transportasi Kota Metropolitan
yang diselenggarakan oleh Koordinator Bidang Infrastruktur DPP Partai Golkar
di Jakarta, baru-baru ini. Hasil seminar merekomendasikan pembangunan jalan
layang susun berbasis IMT dengan tingkat efisiensi tinggi, baik dari sisi
lahan, konstruksi, ruang, lingkungan maupun ekonomi.
Semoga Gubernur
terpilih dapat segera mewujudkan Integrasi Moda Transportasi yang efisien,
terjangkau secara ekonomis, cepat, aman dan nyaman, serta berwawasan
lingkungan. Karena, sesungguhnya problematika transportasi kota akan menjadi
tolok ukur pemicu, rendah-tingginya produktivitas warga yang lebih dinamis
dan menjadikan Jakarta sebagai "magnetik" besar bagi pembangunan
sosial dan pertumbuhan ekonomi bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar