TNI Perlu
Reformasi Lagi!
Kentos Artoko ; Wartawan Suara Karya
|
SUARA
KARYA, 05 Oktober 2012
Setiap tanggal 5 Oktober seluruh elemen bangsa
Indonesia merayakan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI). TNI
sejatinya lahir dari rahim ibu pertiwi yang peduli atas kemerdekaan dan
kedaulatan tanah air.
Dalam tulisan ini penulis tidak berupaya untuk
membawa publik pada sejarah terbentuknya TNI yang kemungkinan besar telah
sama-sama kita pelajari bersama sewaktu menduduki bangku sekolah. Namun,
penulis tergerak untuk mengajak berdiskusi para pembaca Harian Umum Suara
Karya tentang apakah keberadaan TNI telah sesuai dengan
format Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau nilai-nilai demokrasi pada
umumnya.
Memperbincangkan keberadaan angkatan perang
(TNI, red) dalam format negara penganut paham demokrasi pasti tidak dapat
dilepaskan dari teori keberadaan satu angkatan perang yang dimaksudkan agar
negara tersebut mampu menjaga kedaulatannya dari berbagai ancaman, baik dari
dalam, maupun luar negeri (invasi, intervensi asing dan infiltrasi).
Untuk tujuan itu, maka setiap personil angkatan
bersenjata di didik untuk mampu memakai senjata, menerapkan strategi,
mengeksekusi strategi yang bertujuan untuk melindungi kedaulatan negarannya.
Tidak heran, kalau satu angkatan perang itu dipersenjatai dari yang sifatnya
ringan hingga yang berat.
Garis komando pun sangat jelas dipatuhi pada
setiap angkatan bersenjata. Seorang atasan dapat memberikan instruksi langsung
kepada bawahannya untuk melakukan sesuatu hal yang tentu saja dalam kerangka
positif. Timbul kemudian pertanyaan, apakah TNI yang kita cintai ini sudah
berada pada jalur yang tepat untuk mengemban tugas sebagai penjaga kedaulatan
bangsa? Apakah TNI juga telah berada pada koridor penerapan sistem demokrasi
yang benar?
Untuk tugas sebagai penjaga kedaulatan bangsa,
tugas yang diemban oleh TNI memang cukup berat dengan keterbatasan personil
yang ada serta persenjataan yang dimiliki, tampaknya sulit untuk terus
mengawasi ibu pertiwi dari berbagai macam bentuk gangguan, namun hingga saat
ini tugas tersebut masih dijalankan dengan setia dan penuh tanggungjawab.
Karena keterbatasan itu pula, maka tugas
menjaga stabilitas dan kedaulatan negara itu juga diberikan kepada seluruh
elemen masyarakat yang kemudian dikenal sebagai tugas semesta (melibatkan
seluruh unsur dan elemen) bangsa Indonesia.
Menjawab pertanyaan berikutnya, apakah TNI
telah berada pada koridor penerapan kehidupan berdemokrasi yang benar?
Tampaknya masih perlu di reformasi dan di format ulang. Mengapa?
Di setiap negara berkembang (Asia, Afrika dan
Timur Tengah) keterlibatan angkatan perang masih cukup kental mengisi nuansa
politik. Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Malaysia dan
Indonesia sendiri kehidupan politik negaranya sangat dikuasai oleh
"intervensi" angkatan perang atau yang bisa disebut juga militer.
Sebagai contoh yang gampang saja, Myanmar (dulu
Burma) negara yang baru menyatakan diri menganut paham demokrasi, masih sangat
militerisme dalam kehidupan negaranya. Presiden terpilihnya, Thein Sein
merupakan penggiat yang dikenal dekat dengan penguasa militer Than Swee.
Thailand yang hampir selalu diguncang mosi
tidak percaya dan kudeta juga dikuasai oleh pihak militer dalam menjalankan
pemerintahannya. Bahkan, militer tidak rela kalau negeri gajah putih itu
dijalankan oleh pemimpin yang tidak memiliki latar belakang militer.
Bergolaknya keinginan warga Timur Tengah untuk
menerapkan paham demokrasi salah satunya juga dipicu oleh kentalnya militer
bermain dalam dunia politik, selain prilaku otoriter yang diterapkan oleh para
pemimpin di Timur Tengah yang non militer. Tak bisa dipungkiri bahwa sebagian
besar pemimpin Timur Tengah yang kini tumbang berasal dari militer, sebut saja,
Moamar Khadafy (Libia), Hosni Mubarak (Mesir), dan Abdullah Ali (Yaman).
Sedangkan Bashar Al-Assad (Suriah) yang juga pernah bertugas di militer hingga
kini masih belum tumbang.
Di Indonesia hal serupa juga pernah terjadi,
ketika para mahasiswa dan rakyat menuntut agar mantan Presiden Soeharto untuk
lengser dari tampuk kekuasannya. Gerakan demonstrasi untuk menurunkan Soeharto
pun berlangsung sangat masif terjadi di seluruh belahan nusantara.
Tumbal tewasnya beberapa mahasiswa tak dapat
ditolak dan ini yang kemudian menjadi martir utama bagi turunnya orang nomor
satu di Indonesia para rezim Orde Baru yang kemudian melahirkan rezim
Reformasi.
Kontan reformasi pun digulirkan ditubuh TNI, politik
dwifungsi yang saat itu dijalankan dipreteli, kini TNI diminimalisasi untuk
terlibat dalam kegiatan berpolitik dan hanya diperbolehkan bila telah memasuki
masa pensiun atau mengundurkan diri dari ikatan kedinasan. Dengan kata lain TNI
diminta untuk netral dalam berpolitik.
Secara kasat mata memang TNI diminta untuk
netral dalam menjalankan tugasnya, namun kenyatannya kenetralan tersebut masih
patut dipertanyakan kembali, mengingat keberpihakan angkatan perang yang kita
cintai ini masih sangat kental untuk membela kepentingan partai tertentu dalam
memenangkan satu kondisi politik (political
conditional).
Puluhan Jenderal kini aktif dalam kehidupan
politik dan berpartai, banyak pengurus partai yang berasal dari TNI dan
memiliki tugas serta fungsi yang sangat strategis. Mungkinkah ketentuan dan
netralitas yang melingkupi TNI bisa dijalankan dengan murni dan konsekuen.
Para Jenderal itu, tidak
akan mungkin untuk tidak menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya terhadap mantan
anak buahnya yang kini menduduki posisi penting di jajaran TNI. Doktrin untuk
patuh terhadap atasan pasti masih tertanam dalam setiap anggota TNI (back frame). Jadi masih sangat mungkin
bila TNI kemudian ditarik ke sana dan kemari untuk sekedar turut meramaikan
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Tampaknya bangsa ini memerlukan aturan dan
sanksi yang tegas terhadap para mantan Jenderal yang dengan sengaja menggunakan
pengaruhnya untuk untuk me"main"kan
TNI yang kita sayangi ini! Selamat hari
TNI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar