TNI Kuat tanpa
Trauma
Danang Probotanoyo ; Pengkaji Militer
Pusat Studi
Reformasi Indonesia, Alumnus UGM
|
JAWA
POS, 05 Oktober 2012
SEORANG mantan petinggi militer Amerika Serikat (AS), sekaligus veteran
Perang Vietnam, William G. Summer Jr, menulis buku berjudul On
Strategy (1981). Dia
mengatakan bahwa "Tentara AS tidak
merasa kalah di Vietnam. Kekalahan yang tampak terjadi akibat campur tangan dan
kekuasaan politisi sipil yang terlalu berlebihan dalam soal-soal militer."
Pernyataan Summer tersebut bisa untuk bahan renungan bagi bangsa Indonesia. Sebab, dinamika yang berkembang sekarang ini terjadi pro dan kontra terhadap pembangunan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mulai 2010 hingga 2014, TNI mendapat anggaran yang cukup besar untuk belanja alutsista (alat utama sistem persenjataan). Sebagaimana dipaparkan Hartind Asrin, staf ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan (8/2012), pada 2010-2014 anggaran belanja alutsista mencapai Rp 150 triliun. Di antara pagu anggaran TNI di RAPBN 2013 senilai Rp 77,7 triliun, 50 persen untuk membeli alutsista.
Pihak yang kontra dengan pembangunan kekuatan TNI tersebut berangkat dari pengalaman traumatik masa lalu. Kekhawatirannya, apabila TNI (semakin) kuat, mereka bisa disalahgunakan lagi sebagai alat kekuasaan yang mampu menindas rakyat dan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya. Kekhawatiran traumatik tersebut sebenarnya tak perlu terjadi. Ini karena sejak 1998 supremasi kekuasaan sepenuhnya ada di tangan sipil. Adanya UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Tap MPR No VI dan No VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, sudah menutup pintu rapat-rapat terhadap kemungkinan penyalahgunaan TNI sebagai alat kekuasaan. Ciri sebagai tentara pretorian, yang ikut campur dalam urusan politik dan kekuasaan sudah ditanggalkan sejak berubahnya ABRI menjadi TNI. Fungsi utama TNI sekarang mutlak sebagai alat pertahanan negara yang menjaga keutuhan teritorial dan tegaknya NKRI dari agresi asing.
Keamanan Nilai Nol
Kekhawatiran traumatik akan sejarah masa lalu mengental pada wacana pro-kontra pembelian Main Battle Tank (MBT) Leopard untuk TNI-AD. Setidaknya ada dua alasan utama penolakan mempersenjatai TNI-AD dengan MBT made in Jerman tersebut. Pertama, Leopard akan sangat berbahaya bila dipakai untuk merepresi rakyat. Ini bisa ditepis dengan rambu-rambu perundang-undangan TNI back to barrack di atas.
Kedua, menurut beberapa pihak, penggunaan MBT bagi TNI tidak sesuai dengan kondisi geografis dan infrastruktur Indonesia. Sekilas alasan itu masuk akal mengingat berat Leopard yang lebih dari 60 ton. Namun, harus dibangun kesadaran bahwa TNI tentu sudah mengkaji secara mendalam kesesuaian Leopard dengan kondisi lingkungan yang ada. Apalagi, mayoritas negara ASEAN, yakni Thailand, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura sudah lama mempersenjatai AB-nya dengan MBT. Sebagai catatan, kondisi alam dan infrastruktur negara-negara tersebut tidak berbeda dengan Indonesia.
Australia, di selatan Indonesia pun memiliki MBT. Belum lagi AS, yang memangkalkan ribuan marinirnya di Darwin, Australia (selatan Papua), memperlengkapinya dengan MBT. Memang, sebagai bangsa yang cinta damai, Indonesia tak menginginkan perang dengan sekelilingnya. Namun, kita mesti ingat adagium Romawi: si vis pacem para bellum (Siapa ingin perdamaian harus bersiap untuk perang). Ini logis, mengingat Indonesia dikepung para pengguna MBT juga. Ini bukan soal perlombaan senjata.
Kita perlu mengingat ada strategi militer yang dinamakan sebagai "Konsep Keamanan Nilai Nol". Tafsir ringannya adalah: bila ada hal yang lebih bersifat mengamankan negara lain, itu berarti akan mengurangi nilai aman negara kita. Contoh konkretnya, bila negara tetangga di perbatasan Kalimantan menyiagakan batalyon MBT, berarti keamanan di daerah tersebut tidak cukup lagi ditangani prajurit infanteri yang bersenjatakan senapan ringan. Mesti ada satuan yang seimbang atau malah memiliki keunggulan.
Di sinilah faktor deterence atau daya gentar bisa berjalan, sehingga konflik terbuka justru bisa terhindarkan. Negara yang lemah dalam kekuatan militernya justru menghadapi ancaman dan rentan terhadap agresi negara yang lebih kuat. Fakta sejarah di Granada, Panama, Iraq, Afghanistan hingga Libya mesti menjadi pelajaran.
Kalau mau ditelaah lagi, belanja alutsista TNI yang seolah besar hingga 2014, hakikatnya masihlah terlampau kecil dari yang dibutuhkan. Bahkan, sekadar untuk membentuk minimum essential force sekalipun. Sejatinya belanja alutsista itu sekadar menggantikan berbagai alutsista yang sudah sangat uzur di ketiga matra TNI. Mayoritas pesawat tempur, kapal perang hingga tank yang dimiliki TNI sudah berumur lebih dari 30 tahun. Di TNI-AU, pesawat Hercules dan F-5 E Tiger II teknologinya berasal dari 60-an. Kapal fregat kelas Ahmad Yani (kapal kombatan terbesar TNI-AL) kali pertama diluncurkan dari galangan kapal Belanda pada medio 1967. Begitu pula Tank AMX-13 yang dimiliki TNI-AD, kali terakhir digunakan Israel dalam Perang Yom Kippur pada 1973. Sehabis itu dipajang di museum. Beberapa alutsista TNI bahkan dari zaman Perang Dunia II. Dampak buruk rendahnya kapabilitas alutsista yang dimiliki TNI saat ini adalah merosotnya kualitas profesionalisme prajurit TNI (hasil penelitian Universitas Pertahanan baru-baru ini).
Karena itu, logika beberapa pihak yang mengkhawatirkan bahwa peningkatan kemampuan dan modernisasi alutsista TNI akan digunakan sebagai alat represi, justru berlaku sebaliknya. Samuel P. Huntington memiliki hipotesis bahwa "Semakin profesional suatu tentara, justru mengurangi keinginannya untuk mengintervensi urusan sipil." Buktinya ada di negara-negara maju. Dirgahayu TNI! ●
Pernyataan Summer tersebut bisa untuk bahan renungan bagi bangsa Indonesia. Sebab, dinamika yang berkembang sekarang ini terjadi pro dan kontra terhadap pembangunan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mulai 2010 hingga 2014, TNI mendapat anggaran yang cukup besar untuk belanja alutsista (alat utama sistem persenjataan). Sebagaimana dipaparkan Hartind Asrin, staf ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan (8/2012), pada 2010-2014 anggaran belanja alutsista mencapai Rp 150 triliun. Di antara pagu anggaran TNI di RAPBN 2013 senilai Rp 77,7 triliun, 50 persen untuk membeli alutsista.
Pihak yang kontra dengan pembangunan kekuatan TNI tersebut berangkat dari pengalaman traumatik masa lalu. Kekhawatirannya, apabila TNI (semakin) kuat, mereka bisa disalahgunakan lagi sebagai alat kekuasaan yang mampu menindas rakyat dan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya. Kekhawatiran traumatik tersebut sebenarnya tak perlu terjadi. Ini karena sejak 1998 supremasi kekuasaan sepenuhnya ada di tangan sipil. Adanya UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Tap MPR No VI dan No VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, sudah menutup pintu rapat-rapat terhadap kemungkinan penyalahgunaan TNI sebagai alat kekuasaan. Ciri sebagai tentara pretorian, yang ikut campur dalam urusan politik dan kekuasaan sudah ditanggalkan sejak berubahnya ABRI menjadi TNI. Fungsi utama TNI sekarang mutlak sebagai alat pertahanan negara yang menjaga keutuhan teritorial dan tegaknya NKRI dari agresi asing.
Keamanan Nilai Nol
Kekhawatiran traumatik akan sejarah masa lalu mengental pada wacana pro-kontra pembelian Main Battle Tank (MBT) Leopard untuk TNI-AD. Setidaknya ada dua alasan utama penolakan mempersenjatai TNI-AD dengan MBT made in Jerman tersebut. Pertama, Leopard akan sangat berbahaya bila dipakai untuk merepresi rakyat. Ini bisa ditepis dengan rambu-rambu perundang-undangan TNI back to barrack di atas.
Kedua, menurut beberapa pihak, penggunaan MBT bagi TNI tidak sesuai dengan kondisi geografis dan infrastruktur Indonesia. Sekilas alasan itu masuk akal mengingat berat Leopard yang lebih dari 60 ton. Namun, harus dibangun kesadaran bahwa TNI tentu sudah mengkaji secara mendalam kesesuaian Leopard dengan kondisi lingkungan yang ada. Apalagi, mayoritas negara ASEAN, yakni Thailand, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura sudah lama mempersenjatai AB-nya dengan MBT. Sebagai catatan, kondisi alam dan infrastruktur negara-negara tersebut tidak berbeda dengan Indonesia.
Australia, di selatan Indonesia pun memiliki MBT. Belum lagi AS, yang memangkalkan ribuan marinirnya di Darwin, Australia (selatan Papua), memperlengkapinya dengan MBT. Memang, sebagai bangsa yang cinta damai, Indonesia tak menginginkan perang dengan sekelilingnya. Namun, kita mesti ingat adagium Romawi: si vis pacem para bellum (Siapa ingin perdamaian harus bersiap untuk perang). Ini logis, mengingat Indonesia dikepung para pengguna MBT juga. Ini bukan soal perlombaan senjata.
Kita perlu mengingat ada strategi militer yang dinamakan sebagai "Konsep Keamanan Nilai Nol". Tafsir ringannya adalah: bila ada hal yang lebih bersifat mengamankan negara lain, itu berarti akan mengurangi nilai aman negara kita. Contoh konkretnya, bila negara tetangga di perbatasan Kalimantan menyiagakan batalyon MBT, berarti keamanan di daerah tersebut tidak cukup lagi ditangani prajurit infanteri yang bersenjatakan senapan ringan. Mesti ada satuan yang seimbang atau malah memiliki keunggulan.
Di sinilah faktor deterence atau daya gentar bisa berjalan, sehingga konflik terbuka justru bisa terhindarkan. Negara yang lemah dalam kekuatan militernya justru menghadapi ancaman dan rentan terhadap agresi negara yang lebih kuat. Fakta sejarah di Granada, Panama, Iraq, Afghanistan hingga Libya mesti menjadi pelajaran.
Kalau mau ditelaah lagi, belanja alutsista TNI yang seolah besar hingga 2014, hakikatnya masihlah terlampau kecil dari yang dibutuhkan. Bahkan, sekadar untuk membentuk minimum essential force sekalipun. Sejatinya belanja alutsista itu sekadar menggantikan berbagai alutsista yang sudah sangat uzur di ketiga matra TNI. Mayoritas pesawat tempur, kapal perang hingga tank yang dimiliki TNI sudah berumur lebih dari 30 tahun. Di TNI-AU, pesawat Hercules dan F-5 E Tiger II teknologinya berasal dari 60-an. Kapal fregat kelas Ahmad Yani (kapal kombatan terbesar TNI-AL) kali pertama diluncurkan dari galangan kapal Belanda pada medio 1967. Begitu pula Tank AMX-13 yang dimiliki TNI-AD, kali terakhir digunakan Israel dalam Perang Yom Kippur pada 1973. Sehabis itu dipajang di museum. Beberapa alutsista TNI bahkan dari zaman Perang Dunia II. Dampak buruk rendahnya kapabilitas alutsista yang dimiliki TNI saat ini adalah merosotnya kualitas profesionalisme prajurit TNI (hasil penelitian Universitas Pertahanan baru-baru ini).
Karena itu, logika beberapa pihak yang mengkhawatirkan bahwa peningkatan kemampuan dan modernisasi alutsista TNI akan digunakan sebagai alat represi, justru berlaku sebaliknya. Samuel P. Huntington memiliki hipotesis bahwa "Semakin profesional suatu tentara, justru mengurangi keinginannya untuk mengintervensi urusan sipil." Buktinya ada di negara-negara maju. Dirgahayu TNI! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar