Kepras
Pelajaran demi Dunia Indah Anak
Lies Budyana ; Pendidik di
Mawar Sharon Christian School (MSCS), Surabaya
|
JAWA
POS, 05 Oktober 2012
MEMULAI karir pada 1986
sebagai guru kelas IV SD, kemudian kepala sekolah hingga saat ini, saya telah
melalui perjalanan panjang pengejawantahan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Tentu dengan berbagai masa penggantian, perubahan, dan revisinya pula.
Bermula dari masa penerapan kurikulum cara belajar siswa aktif (CBSA) yang mengutamakan pendekatan proses dalam aplikasinya serta siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Proses belajar dimulai dari mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga membuat laporan. Semua proses tercatat di atas lembar kerja siswa (LKS).
Sayang, konsep cara belajar siswa yang elok secara teoretis itu hanya dapat berjalan sebagaimana mestinya di sekolah-sekolah yang diujicobakan. CBSA membutuhkan sarana dan prasarana belajar yang lebih dari mumpuni untuk aplikasinya. Bukan masalah besar untuk sekolah-sekolah mapan di kota besar, namun tidak demikian bagi sekolah sederhana di daerah dengan fasilitas yang serba terbatas.
Mungkin hal itulah yang membuat pembelajaran CBSA mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Kendala lain, banyak pendidik yang salah menafsirkan. Bagi mereka, yang terlihat hanyalah suasana gaduh di kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar. Juga, yang mencolok, guru tak lagi mengajar dengan model berceramah. Setelah banyaknya penolakan yang bermunculan pada 1994, pemerintah mengakhiri berlakunya kurikulum itu.
Sebagai gantinya, digagaslah kurikulum 1994. Sebagai praktisi lapangan, penulis menyimpulkan bahwa kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kombinasi kurikulum 1975 dan kurikulum 1984. Perpaduan antara pendekatan proses dan penguasaan materi pelajaran atau konten. Jadilah kurikulum 1994 yang superpadat itu sebagai suatu ajang "pertempuran" tersendiri bagi kami warga sekolah. Pergumulan untuk menguasai penerapannya secara utuh belum usai, sudah disusul dengan kehadiran suplemen kurikulum 1999, yang notabene perubahannya lebih pada penambahan materi saja.
Lebih dari satu dekade setelah itu (2004) diluncurkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Kali ini kerancuan yang timbul lebih dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda.
Cukup membingungkan untuk menarik korelasi hasil antara alat ukur yang dipakai dan tujuan yang hendak dicapai. Bukankah bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang akan mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Saat menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), pendidik diberi kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa. Jadi, perangkat pembelajaran seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan sekolah (satuan pendidikan) untuk mengaturnya. Walaupun, tetap di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kabupaten/kota. Karena kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL) maupun standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan tetap ditetapkan oleh Kemendikbud.
Sejak minggu lalu, di milis surat elektronik, BlackBerry Messenger Group, hingga meja kantin sekolah, obrolan tentang kurikulum baru sudah menjadi topik percakapan yang hangat di kalangan rekan-rekan guru di tanah air. Biasanya, berita tentang perubahan atau pergantian kurikulum akan disikapi dengan keengganan oleh para guru. Enggan untuk membayangkan ataupun memperhitungkan beban lebih berat pada siswa -yang tentu juga akan menjadi beban yang lebih berat lagi bagi para guru.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Headline di halaman 1 koran ini kemarin, Pelajaran Dikepras, Jam Mengajar Tak Berkurang, menyiratkan sebuah pesan yang berbeda, terutama bagi guru-guru di SD. Pengertian yang kami peroleh, materi dan isi pembelajaran atau konten akan berkurang. Dengan begitu, bukan hanya beban siswa tidak berlebihan, guru juga akan mempunyai kesempatan dan waktu untuk membahasnya lebih dalam lagi.
Bila kita menelaah lebih jauh, sebuah kurikulum pendidikan sesungguhnya tidak hanya bermuatan ilmu pengetahuan yang harus diketahui dan dipahami. Namun, juga mengandung muatan ilmu kecakapan hidup yang membekali generasi penerus kita agar kelak bertumbuh dan berkembang dengan sempurna menjadi suatu pribadi unggul yang menjadi jawaban bagi masa depan.
Kegiatan pengajaran yang mengasah kecakapan hidup itu sering membutuhkan waktu lebih lama daripada menjelaskan tentang suatu pengetahuan. Oleh sebab itulah, kegiatan seperti bermain peran memberi salam, mengucapkan terima kasih, memohon izin, dan sebagainya untuk membentuk sopan santun dan budi pekerti sering tidak terlaksana karena terbatasnya waktu.
Saya yakin bahwa dikeprasnya pelajaran atau materi/konten tidak akan merugikan atau membuat siswa tertinggal. Namun, justru mereka akan bertumbuh dan berkembang dengan sempurna karena mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menikmati dunia mereka, dunia anak yang identik dengan bermain. Disadari ataupun tidak, waktu dan kesempatan bermain siswa sudah sering terampas oleh kegiatan mengejar nilai pelajaran atau untuk mencapai target materi. Bermain bukanlah sebuah kegiatan sia-sia yang menghabiskan waktu saja. Melalui bermain, siswa belajar bersosialisasi, berekspresi, mengembangkan kecerdasan emosi dan kreativitas, serta membentuk kepercayaan diri.
Ketersediaan waktu juga akan memberi siswa kesempatan untuk lebih mengembangkan kecerdasan majemuk masing-masing. Harapan saya, prakiraan tentang kurikulum baru yang beritanya berembus seperti angin sejuk -yang kami sambut dengan antusias ini- benar demikian adanya. ●
Bermula dari masa penerapan kurikulum cara belajar siswa aktif (CBSA) yang mengutamakan pendekatan proses dalam aplikasinya serta siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Proses belajar dimulai dari mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga membuat laporan. Semua proses tercatat di atas lembar kerja siswa (LKS).
Sayang, konsep cara belajar siswa yang elok secara teoretis itu hanya dapat berjalan sebagaimana mestinya di sekolah-sekolah yang diujicobakan. CBSA membutuhkan sarana dan prasarana belajar yang lebih dari mumpuni untuk aplikasinya. Bukan masalah besar untuk sekolah-sekolah mapan di kota besar, namun tidak demikian bagi sekolah sederhana di daerah dengan fasilitas yang serba terbatas.
Mungkin hal itulah yang membuat pembelajaran CBSA mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Kendala lain, banyak pendidik yang salah menafsirkan. Bagi mereka, yang terlihat hanyalah suasana gaduh di kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar. Juga, yang mencolok, guru tak lagi mengajar dengan model berceramah. Setelah banyaknya penolakan yang bermunculan pada 1994, pemerintah mengakhiri berlakunya kurikulum itu.
Sebagai gantinya, digagaslah kurikulum 1994. Sebagai praktisi lapangan, penulis menyimpulkan bahwa kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kombinasi kurikulum 1975 dan kurikulum 1984. Perpaduan antara pendekatan proses dan penguasaan materi pelajaran atau konten. Jadilah kurikulum 1994 yang superpadat itu sebagai suatu ajang "pertempuran" tersendiri bagi kami warga sekolah. Pergumulan untuk menguasai penerapannya secara utuh belum usai, sudah disusul dengan kehadiran suplemen kurikulum 1999, yang notabene perubahannya lebih pada penambahan materi saja.
Lebih dari satu dekade setelah itu (2004) diluncurkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Kali ini kerancuan yang timbul lebih dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda.
Cukup membingungkan untuk menarik korelasi hasil antara alat ukur yang dipakai dan tujuan yang hendak dicapai. Bukankah bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang akan mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Saat menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), pendidik diberi kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa. Jadi, perangkat pembelajaran seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan sekolah (satuan pendidikan) untuk mengaturnya. Walaupun, tetap di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kabupaten/kota. Karena kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL) maupun standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan tetap ditetapkan oleh Kemendikbud.
Sejak minggu lalu, di milis surat elektronik, BlackBerry Messenger Group, hingga meja kantin sekolah, obrolan tentang kurikulum baru sudah menjadi topik percakapan yang hangat di kalangan rekan-rekan guru di tanah air. Biasanya, berita tentang perubahan atau pergantian kurikulum akan disikapi dengan keengganan oleh para guru. Enggan untuk membayangkan ataupun memperhitungkan beban lebih berat pada siswa -yang tentu juga akan menjadi beban yang lebih berat lagi bagi para guru.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Headline di halaman 1 koran ini kemarin, Pelajaran Dikepras, Jam Mengajar Tak Berkurang, menyiratkan sebuah pesan yang berbeda, terutama bagi guru-guru di SD. Pengertian yang kami peroleh, materi dan isi pembelajaran atau konten akan berkurang. Dengan begitu, bukan hanya beban siswa tidak berlebihan, guru juga akan mempunyai kesempatan dan waktu untuk membahasnya lebih dalam lagi.
Bila kita menelaah lebih jauh, sebuah kurikulum pendidikan sesungguhnya tidak hanya bermuatan ilmu pengetahuan yang harus diketahui dan dipahami. Namun, juga mengandung muatan ilmu kecakapan hidup yang membekali generasi penerus kita agar kelak bertumbuh dan berkembang dengan sempurna menjadi suatu pribadi unggul yang menjadi jawaban bagi masa depan.
Kegiatan pengajaran yang mengasah kecakapan hidup itu sering membutuhkan waktu lebih lama daripada menjelaskan tentang suatu pengetahuan. Oleh sebab itulah, kegiatan seperti bermain peran memberi salam, mengucapkan terima kasih, memohon izin, dan sebagainya untuk membentuk sopan santun dan budi pekerti sering tidak terlaksana karena terbatasnya waktu.
Saya yakin bahwa dikeprasnya pelajaran atau materi/konten tidak akan merugikan atau membuat siswa tertinggal. Namun, justru mereka akan bertumbuh dan berkembang dengan sempurna karena mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menikmati dunia mereka, dunia anak yang identik dengan bermain. Disadari ataupun tidak, waktu dan kesempatan bermain siswa sudah sering terampas oleh kegiatan mengejar nilai pelajaran atau untuk mencapai target materi. Bermain bukanlah sebuah kegiatan sia-sia yang menghabiskan waktu saja. Melalui bermain, siswa belajar bersosialisasi, berekspresi, mengembangkan kecerdasan emosi dan kreativitas, serta membentuk kepercayaan diri.
Ketersediaan waktu juga akan memberi siswa kesempatan untuk lebih mengembangkan kecerdasan majemuk masing-masing. Harapan saya, prakiraan tentang kurikulum baru yang beritanya berembus seperti angin sejuk -yang kami sambut dengan antusias ini- benar demikian adanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar