Kamis, 04 Oktober 2012

Sains dan Kebijakan Publik


Sains dan Kebijakan Publik
Dian R Basuki  ;  Peminat Isu-isu Sains dan Kemasyarakatan
KORAN TEMPO, 03 Oktober 2012


“…Sejarah mengajarkan bagaimana pemakaian pestisida dalam rangka "Revolusi Hijau" ternyata dalam jangka panjang menimbulkan kerusakaan serius terhadap lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia. Dibutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk melarang pemakaian DDT, yang ketika ditemukan dijuluki sebagai "insektisida ajaib"…”

Keluarnya rekomendasi Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik bahwa jagung transgenik varietas RR NK603 dan Bt Mon 89034 aman sebagai pakan memang mengejutkan. Betapa tidak? Pada saat yang hampir bersamaan, Gilles-Eric Seralini dan kawan-kawan dari Universitas Caen, Prancis, memaparkan hasil risetnya bahwa mencit (tikus putih) yang diberi pakan jagung transgenik NK603 terkena tumor, serta kerusakan hati dan ginjal. 

Meskipun hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Food and Chemical Toxicology itu disikapi secara kritis oleh sebagian ahli lainnya, pemerintah sejumlah negara di Eropa mempertimbangkannya secara serius. Media massa memberitakan, pemerintah Prancis akan melakukan penelitian lanjutan, Austria meminta Uni Eropa meneliti lebih mendalam setiap permintaan persetujuan produk transgenik, dan Rusia menutup sementara impor jagung transgenik.

Terkait dengan rekomendasi Komisi Keamanan Hayati, dugaan Khudori (Koran Tempo, 27 September 2012) bahwa rekomendasi itu mungkin sengaja dilepaskan ketika masyarakat tengah sibuk dengan ingar-bingar politik domestik dapat dimaklumi. Rekomendasi penting itu memang nyaris luput dari perhatian publik karena ekspose media yang kurang. Padahal rekomendasi ini terlalu penting untuk tidak diperhatikan, karena menyangkut produk rekayasa genetik yang dampak potensialnya terhadap lingkungan dan manusia patut dipertimbangkan secara sungguh-sungguh.

KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992, menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik dalam menyikapi setiap produk rekayasa genetik mengingat dampak jangka panjangnya yang belum diketahui. Indonesia, tentu saja, ikut mengadopsi prinsip ini. Karena itu, mengherankan bahwa sebuah rekomendasi penting dapat dikeluarkan dengan hanya berpegang pada dokumen (data laboratorium) yang diserahkan oleh perusahaan yang mengajukan permintaan izin mengedarkan produk tersebut. Uji klinis tidak dilakukan, tapi Komisi sudah berani mengambil keputusan untuk memberi rekomendasi aman.

Pentingnya mendiskusikan hubungan antara ilmu pengetahuan kealaman (sains) dan kebijakan publik memperoleh penegasan kembali dengan munculnya kasus ini. Juga mengingat kasus-kasus sebelumnya, seperti hasil penelitian susu berbakteri dan sempat hilangnya "ayat tembakau" dari RUU Kesehatan, yang "akhir ceritanya" kabur. Terdapat kemungkinan bahwa kasus-kasus serupa akan muncul di masa mendatang tetapi tidak berujung pada kesimpulan yang tuntas.

Hubungan timbal-balik antara sains dan kebijakan publik ini dapat dilihat dari dua sisi. Tatkala kita berbicara perihal sains sebagai sejenis pengetahuan yang berkenaan dengan dunia alam, pengetahuan ini menjadi subyek analisis kritis di lingkungan keilmuan, dan bukan subyek otoritas politik ataupun regulasi. Mempertanyakan hasil riset Seralini merupakan sikap yang sah (misalnya dari peer review), sebagaimana peneliti Prancis ini juga sah dalam menguji produk jagung transgenik tersebut. Perdebatan pro-kontra ini mesti dilakukan dalam koridor cara-cara kerja keilmuan, bukan ditunggangi oleh kepentingan lain, seperti kekuasaan, politik, maupun ekonomi-bisnis.

Independensi ilmuwan dalam melakukan penelitian menjadi taruhan ketika kepentingan lain menunggangi. Mempertahankan "kebenaran ilmiah" yang ditemukan di laboratorium merupakan persoalan krusial yang dihadapi ilmuwan yang bekerja di institusi mana pun, apalagi di perusahaan besar. Keadaannya menjadi lebih buruk manakala kekuatan sains secara sadar bersekutu dengan kekuatan bisnis demi kepentingan ekonomi semata.

Di sisi lain, sains menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan berkaitan dengan fenomena alam, teknologi, maupun hal penting lain yang relevan dengan kebijakan publik. Ketika pemerintah hendak memutuskan untuk melarang penjualan ayam karena terinfeksi flu burung, misalnya, pelarangan itu didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan aparat pemerintah. Karena itu, rekomendasi bahwa jagung transgenik aman seharusnya juga didasarkan pada hasil uji klinis oleh lembaga pemberi rekomendasi, bukan hanya berdasarkan dokumen pihak yang mengajukan permintaan izin. Sains, dalam konteks ini, harus menjadi basis dalam memutuskan kebijakan publik. 

Ketika sains memasuki wilayah yang lebih luas dan berpengaruh terhadap lingkungan hidup serta kehidupan manusia, dibutuhkan pemahaman yang lebih kompleks sebelum suatu kebijakan publik diputuskan. Pengalaman buruk yang diakibatkan oleh penggunaan produk-produk sains dan teknologi penting menjadi pertimbangan yang melengkapi prinsip kehati-hatian. Sejarah mengajarkan bagaimana pemakaian pestisida dalam rangka "Revolusi Hijau" ternyata dalam jangka panjang menimbulkan kerusakaan serius terhadap lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia. Dibutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk melarang pemakaian DDT, yang ketika ditemukan dijuluki sebagai "insektisida ajaib".

Sebagaimana, melalui Silent Spring, Rachel Carson memperingatkan dunia perihal dampak buruk pemakaian pestisida, khususnya DDT, melalui Why Things Bite Back Edward Tenner menunjukkan apa yang ia sebut "efek balas dendam" dari penggunaan produk sains dan teknologi. Dari studi mendalamnya, Tenner menyimpulkan bahwa "efek balas dendam" terjadi karena struktur-struktur, peralatan-peralatan, dan organisme-organisme baru bereaksi dengan manusia di dalam situasi riil dengan cara-cara yang tidak dapat kita ramalkan.

Dalam pengambilan kebijakan publik terkait dengan pemakaian produk sains dan teknologi yang unsur ketidakterdugaannya harus diwaspadai, partisipasi publik merupakan kemestian. Memang ada keterbatasan partisipasi terkait dengan tingkat literasi masyarakat dalam isu-isu semacam rekayasa genetik, tetapi suara masyarakat tetap harus dipertimbangkan. Masyarakat harus memiliki akses terhadap informasi yang melatari isu-isu sains dan teknologi yang memengaruhi kehidupan mereka.

Sikap kritis ilmuwan terhadap kesimpulan ilmiah, cara pengambilan keputusan, maupun substansi kebijakan publik juga sangat penting bagi kemaslahatan masyarakat. Para ilmuwan memiliki kewajiban untuk mengingatkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul dari suatu kebijakan, walaupun peran advokasi ini mungkin problematis. Namun masyarakat luas membutuhkan peran semacam ini mengingat setiap kemajuan sains dan teknologi membawa konsekuensi yang paradoksal dan tak diniatkan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar