Selasa, 02 Oktober 2012

Rasionalitas


Rasionalitas
Mudji Sutrisno ;  Guru Besar STF Driyarkara & UI, Budayawan
SINDO, 02 Oktober 2012


Koreografi tari ‘Dan Ada Sebuah Kotak’ karya Gerard Mosterd di Gedung Kesenian Jakarta 7–8 September 2012 menyentak akal budi dan kesadaran logis kita. Mengapa? Karena tari sebuah kotak itu bersumber pada keterkejutan Gerard membaca nasib Alexander Aan yang oleh Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, dihukum 2,5 tahun karena menyatakan tegas-tegas secara publik bahwa dirinya ateis!

Di Tanah Air Republik Indonesia, dengan konstitusi kemerdekaan mengekspresikan apa yang dipikirkan pada 2012 alias 67 tahun setelah merdeka, tetap amat aneh tak masuk akal ia dihukum karena pikirannya. Menjadi lebih menyentuh ranah refleksinya lantaran dipentaskan dalam ekspresi tari: sebuah kombinasi gugatan logis yang diolah estetis rasa untuk menggugat baik hati maupun budi kita: pasti ada yang keliru dalam cara pikir dan logika kita!

Logika adalah jalan penalaran akal budi sehat yang pada tingkatan paling sederhana dinamai common sense, artinya penalaran bisa memakai akal sehat kalau ada asap pasti ada sumbernya, yaitu api. Inilah penalaran akal sehat,sebab dan akibat. Tahap berikut penalaran akal budi adalah menalar dengan memperlawankan antara ekstrem pernyataan yang satu melawan pernyataan sebaliknya atau yang dikenal sebagai ”dikotomi”, yaitu dua potongan kutub yang dikontraskan berhadap-hadapan atau nama ilmiah populernya adalah ”2 polar”(baca: bipolar).

Peradaban manusia mulai dengan keberanian mengambil sikap untuk mau berubah dari posisi ditentukan oleh kungkungan alam dengan mitos-mitosnya yang mengungkung manusia dalam dunia irasionalitas menuju sikap mengambil jarak dengan kesadaran budi untuk ”menganalisis realitas” dan mengolahnya sebagai proses mengatur realitas dan memakainya untuk keperluannya. Sebuah pola pikir a rational ordering of reality or something. Inilah pikiran rasional yang sistemik karena akal budi dipakai untuk ”menata realitas dalam sebuah tata rasional”.

Van Peursen menyebut tahap- tahap pikiran mistis manusia ”masih” dikonstruksi oleh alam mistis, lalu dengan pendidikan penalaran, ia melangkah ke tahap rasional (yaitu menentukan posisinya sebagai subyek dan menguasainya, menganalisis dengan logikanya). Ketika peradaban beranjak atau menapak dari tahapan masih bagian alam menuju ”penentu alam” dengan pendidikan akal budi, di sanalah produk-produk atau hasilhasil peradaban pun ”bertumbuh” berdasar rasionalitas.

Salah satu pola atau sistem rasional hasil peradaban akal budi dalam ”mengatur agar hidup bersama saling enak, hormat menghormati”, disepakatilah secara nalar pula sistem demokrasi yang di dalamnya kekuasaan agar tidak absolut dan otoriter secara nalar dibagi dalam ranah-ranah yang saling mengontrol antara legislatif dan eksekutif.

Media dialognya untuk kesepakatan penataan hukum adalah deliberasi bermusyawarah dengan asumsi tidak ada kategori mayoritas dan minoritas tetapi konsensus menghormati pendapat yang berbeda- beda namun satu kepentingan penyatunya, yaitu ”kepentingan bersama” alias ”kebaikan bersama” atau ”common good”.

Pertanyaannya: sejak kapan esensi demokrasi hormat menghormati beda isi pikiran dan ungkapannya yang beragam ”dibunuh” menjadi keseragaman? Pertama, sejak rasionalitas akal sehat bahwa tiap warga bangsa ini dijamin kemerdekaan penalaran dan pikirannya mau dimatikan oleh logika hukum yang intoleran Tidak hanya itu, sejak intoleransi pada isi pikiran sesama yang ”berbeda” tidak ditoleransi pada tingkatan paling sederhana, yaitu ”akal sehat” biasa, maka terjadi ”pembunuhan akal sehat sesama anak bangsa karena logika ”intoleransi yang irasional”.

Mengapa irasional? Karena toleransi atas perbedaan isi pikiran adalah fitrah eksistensial hak martabat subyek manusia, begitu ia lahir dalam keluarga, masyarakat dan negara bangsa. Beda isi pikiran dan keragamannya adalah keunikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan di mana eksistensi manusia itu beragam-ragam atau bineka.

Raison d’etre, dasar eksistensi bersama dalam perbedaan bahkan sudah diberi oase life-wisdom-nya oleh ranah budaya Nusantara dalam kebinekaan yang dirajut dengan darah dan keringat menjadi ika seperti terlambangkan pada kain-kain songket, kain ikat dan tenun keragaman etnik, religi kita. Karena itu ketika peradaban ”modern” dipilih pendiri bangsa untuk memberi ruang di mana tiap anak bangsa bisa hidup berekspresi menurut keunikannya, sistem demokrasilah yang dipilih para pendiri bangsa lantaran toleransi pada kekhasan identitas suku.

Dan keunikan ragam pribadi harus dihayati dengan rasionalitas, yaitu akal budi yang dengan sadar mesti tahu beda ragam saudara-i sebangsa, tetapi demi hidup bersama dalam sebuah negara bangsa,dengan sadar mau bertoleransi dan didasarkan pada pemersatu kebangsaan kita. Itulah sebabnya mengapa digali,dirajut,dan dihidupilah nilai-nilai yang paling mempertemukan keragaman ini secara rasional dalam religius.

Ketuhanan sebagai sila I, dalam sila persatuan, dalam kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan untuk musyawarah mufakat dalam toleransi perbedaan. Lalu ditatalah hidup bersama dengan arah terwujudnya pemerataan dan keadilan yang dengan akal budi negara ditata dan dijalankan melalui sistem pembangunan- pembangunannya. Maka ketika terjadi situasi yang secara rasional persis berlawanan dengan cita-cita bernegara, di sanalah introspeksi dan gugatan diri harus dibuat.

Ada dua cara untuk menguji secara rasional kemajuan peradaban rasional kita. Cara pertama adalah dengan mencatat secara garis tebal situasisituasi negatif seperti ”intoleransi” pada kemerdekaan pikir dan isi pikiran. Uji pula situasi kognitif pada wilayahwilayah ketimpangan kaya miskin,yang irasional misalnya antara pendapatan negara dari Freeport baru direnegosiasi minta 10% saja tidak cepat terwujudkan,padahal sudah 30 tahun lebih kekayaan emas di bumi Papua Indonesia hanya diberi 1% saja.

Lalu rasionalitas akal sehat kita digugat milik siapakah tambang ini? Atas nama kontrak macam apakah ketimpangan ini? Cara yang kedua untuk menguji akal sehat peradaban kita adalah dengan membuat perbandingan. Membuat perbandingan ini positifnya, bila direfleksi akal sehat dan ditimbang–timbang mengapa kita ”kalah” maju dibandingkan negara-negara tetangga Asia Tenggara, misalnya di bidang pendidikan,akan melecut untuk maju.

Tahun 1970-an Malaysia banyak belajar dan berguru kepada Indonesia di pendidikan dan kini terbalik situasinya manakala kita perbandingkan! Membuat perbandingan bisa membuat kita ”sedih, tersayat” secara negatif lalu merasa jadi bangsa yang kalah. Misalnya, sama-sama berperadaban budaya air dan sungai, negara-negara sepanjang Sungai Mekong,yaitu Thailand, Kamboja,Laos,masih mengembangkan dan merawat budaya sungai sebagai transportasi, olah tenaga air maupun wisata ekonomi.

Sementara di kita, paling kelihatan di Jawa, budaya sungai kita ke mana? Di Kalimantan,di pulau-pulau lain kita lebih memacu jalan daratan karena politik jual mobil dan motor butuh transportasi jalanjalan darat sampai macet.Dan budaya sungai kita? Transportasi kereta api? Untung sedang digarap Pak Yonan dan Kemenhub empat tahun ini sebelum terlambat.

Akhirnya ada tiga tipe rasionalitas yang menuntun akal budi kita dengan timbangan nurani untuk berkeadaban, yang pertama rasionalitas tujuan (teleologis) demi perbaikan hidup, demi peradaban.Yang kedua, rasionalitas instrumentalis, yang berciri penalaran pikir sarana atau instrumentalis untuk tujuan apa?

Bila Anda hanya ”bernalar instrumentalis” memperlakukan sesama atau apa saja sebagai sekadar ”alat” yang memanipulasi untuk kepentingan pencapaian ego Anda sendiri maka Anda tega memakai logika mau memperalat dan menjadikan apa saja sebagai sarana dan objek!

Yang ketiga, dan yang penting untuk peradaban, adalah rasionalitas kritis yang berani terus mengkritisi keadaan yang timpang, situasi ”pembunuhan akal budi” dan kritis mempertanyakan realisasi janji-janji para pemimpin sewaktu dulu dipilih dalam pilkada dan pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar