Selasa, 02 Oktober 2012

Fenomena Kemenangan Jokowi-Ahok


Fenomena Kemenangan Jokowi-Ahok
Jeffrie Geovanie ;  Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem
SINDO, 02 Oktober 2012


Di koran ini, pada saat proses pendaftaran calon sudah ditutup, saya sudah menulis “Fenemona Jokowi-Ahok”. Isinya memaparkan sebagian dari kelebihan Joko Widodo alias Jokowi dan Zhong Wan Xie alias Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Di ujung tulisan saya memprediksi bahwa jika keduanya mampu mengatasi dua tantangan, yakni pragmatisme dan fanatisme (suku dan agama) warga Jakarta, pasanganiniakan memenangi pilkada dengan mudah (SINDO, 26/03/2012). Ternyata, seperti kita lihat, pasangan ini tidak cukup mudah untuk bisa mengalahkan pasangan- pasangan lain.

Dalam bahasaJokowi, untuk jadi pemenang tidak sulit, tapi amat sangat- sangat-sangat sulit karena banyak sekali tantangan dan cobaan yang harus dihadapi.Secara kasatmata, ketidakmudahan itu antara lain ditandai dengan pilkada yang harus dilangsungkan dua putaran. Bagaimanapun prosesnya, kemenangan pasangan Jokowi- Ahok atas pasangan-pasangan lain—terutama pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pada putaran kedua—menjadi fenomena yang menarik untuk kita cermati.

Pertama, kemenangan ini bisa menjadi tamparan bagi umumnya partai-partai besar. Mereka yang dengan penuh optimisme mendukung pencalonan Foke-Nara—karena didasarkan pada hasil survei seperti Partai Demokrat,PAN, PKB, dan Hanura atau karena sentimen ideologis (Golkar, PKS, dan PPP)—diakui atau tidak telah dipecundangi atau bahkan dipermalukan warga Jakarta.

Kedua, apa pun yang melatari dukungan PDIP dan Partai Gerindra terhadap pasangan Jokowi-Ahok patut kita apresiasi karena secara tidak langsung kedua partai ini telah memberikan pelajaran penting bagi partai-partai lain agar dalam memilih kandidat tidak semata-mata berpedoman pada hasil survei, apalagi karena sentimen ideologis.Yang lebih penting adalah pada kepribadian serta komitmennya pada perubahan dan pembaruan dari figur-figur yang diajukan.

Ketiga,kemenangan Jokowi- Ahok mengonfirmasi kebenaran asumsi yang menegaskan betapa partai-partai pada umumnya tidak mampu memenuhi aspirasi rakyat. Secara matematis, andaikan suara partai-partai kongruen dengan suara rakyat, Foke-Nara otomatis akan memenangi Pilkada DKI Jakarta karena pasangan ini didukung mayoritas partai, termasuk partai pemenang pemilu di Jakarta.

Banyak faktor mengapa terjadi kesenjangan antara (aspirasi) rakyat dengan partaipartai, salah satunya karena derasnya arus liberalisasi politik yang semata-mata didasarkan pada kepentingan individual. Di dalam partai politik tumbuh subur keinginan (ambisi) individu-individu dengan mengatasnamakan hak-hak asasi yang dalam praktiknya bisa mengalahkan platform atau ideologi partai yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Fenomena inilah yang kemudian berakibat pada semakin minusnya keterikatan individu pada partai. Identitas kepartaian (party ID) menjadi semakin berkurang dari waktu ke waktu. Jika kalangan aktivis partai sendiri tidak memiliki party ID yang kuat, apalagi kalangan rakyat secara umum. Dalam menentukan pilihan-pilihan politik dalam pemilu tidak lagi berdasarkan kesamaan ideologi dan persetujuan pada platform partai, melainkan pada interes pribadi masing-masing.

Karena itu, kalaupun ada kesesuaian antara kepentingan partai dan rakyat yang memilihnya, hal itu lebih disebabkan kesamaan kepentingan pragmatis antara individu tokoh/ elite partai dengan rakyat sebagai pemilih. Akibatnya, alasan memilih tokoh (individu) jauh lebih kuat ketimbang karena alasan memilih partai (platform/ideologi).

Keempat, kemenangan Jokowi- Ahok juga membuktikan betapa kuatnya dukungan rakyat terhadap perubahan dan pembaruan. Pilihan terhadap petahana (Foke-Nara) disamakan dengan dukungan terhadap status quo,sedangkan pilihan pada penantangnya (Jokowi-Ahok) diidentikkan dengan dukungan terhadap perubahan dan pembaruan.

Warna perubahan dan pembaruan itu semakin kuat karena dalam sejarahnya Jakarta merupakan kota (provinsi) yang paling dinamis secara politik bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Partai-partai yang pernah memenangi pemilu di Jakarta tak ada yang bisa bertahan hingga dua kali berturut-turut kecuali yang dialami Golkar pada era Orde Baru, itu pun pernah tergusur oleh PPP pada Pemilu 1977.

Sementara pada tiga kali pemilu di era Reformasi, partai pemenang di Jakarta senantiasa berubah dari PDIP pada Pemilu 1999 menjadi PKS pada Pemilu 2004, dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.

Para Kesatria

Selain faktor dukungan rakyat kepada para figur kandidat, faktor kedewasaan sikap para kandidat pun patut kita cermati pada Pilkada Jakarta kali ini. Pasangan Foke-Nara sebagai pihak yang kalah secara elegan mengakui kredibilitas metode hitung cepat (quick count) dengan cara mengucapkan selamat kepada lawan yang mengunggulinya.

Jarang terjadi, pihak yang kalah dalam quick count langsung mengucapkan selamat kepada pihak yang menang sebelum perhitungan resmi versi penyelenggara pemilu (KPUD) diumumkan. Sementara itu, pasangan Jokowi-Ahok juga tidak tampak jemawa dengan kemenangan yang diraihnya.

Keduanya meminta maaf kepada pasangan Foke-Nara karena mungkin dalam masa kampanye banyak kata dan ungkapan yang kurang berkenan dan menyinggung perasaan keduanya. Selain itu, Jokowi-Ahok juga tetap menganggap Foke sebagai senior tempat mereka belajar dan meminta nasihat dalam menjalankan roda pemerintahan.

Maka,meskipun pada masa kampanye sempat terjadi ketegangan, terutama antarpendukung kedua kandidat, Pilkada DKI Jakarta kali ini layak disebut sebagai fenomena pertarungan pada kesatria karena antara pihak yang kalah dengan yang menang sama-sama saling menghormati.

Menatap ke Depan

Setelah ìpestaî pilkada usai, sudah waktunya kita menatap ke depan.Pertama,dengan cara meninggalkan hal-hal buruk yang menjadi residu pilkada seperti pemanfaatan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam kampanye, cara-cara mobilisasi suara yang tidak elegan seperti melalui tempat ibadah, pemanfaatan birokrasi, praktik politik uang (money politics), serta nuansa saling ancam antarpendukung kedua kandidat.

Kedua, dengan memelihara hal-hal yang baik dalam proses pilkada seperti antusiasme masyarakat dalam menyongsong perubahan, keniscayaan partai politik dalam menangkap tanda-tanda zaman, sikap kesatria para kandidat, dan yang lebih penting adalah suasana pra dan pascapencoblosan yang aman dan damai.Harapan kita semoga hal-hal yang baik di Jakarta ini akan menular ke daerah-daerah lain yang hendak menggelar pilkada.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah dengan mendorong sang pemenang merealisasi janji-janjinya untuk melahirkan Jakarta baru yang terhindar dari kemacetan, bencana banjir, dan kemiskinan warganya; Jakarta baru dengan pedestrian yang nyaman buat para pejalan kaki,dengan taman-taman yang hijau dan indah di setiap sudut kota, dengan sarana dan prasarana olahraga yang memadai, serta dengan melestarikan dan mengembangkan setiap hasil seni dan budaya.

Dengan rekam jejak sang pemenang yang biasa menyatu dengan rakyat dan berbicara dengan bahasa rakyat, besar harapan kita,Jakarta ke depan bisa menjadi kota milik bersama. Menjadi kota yang bersahabat dan nyaman untuk semua orang dengan segenap warganya yang bisa menjaga hubungan erat satu sama lain walaupun dibedakan suku/ras, agama,dan golongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar