Produk Rekayasa
Genetik Sebagai Realitas Dunia
Agus Pakpahan ; Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetik
|
KORAN
TEMPO, 02 Oktober 2012
Untuk
mewujudkan ketahanan pangan yang kuat, kualitas lingkungan yang makin baik,
kecukupan energi, serta kesejahteraan petani, kita memerlukan berbagai
dukungan. Satu di antaranya adalah bioteknologi. Bioteknologi sudah menjadi
realitas dunia.
Setelah
fase R&D selesai, tahap komersialisasi tanaman produk rekayasa genetik
(PRG) dimulai pada 1996 dengan luas area tanam pertama dunia sekitar 1,7 juta
hektare (ha). Pada 2012, luas pertanaman PRG sudah mencapai 160 juta ha. Dari
160 juta ha tersebut, 80,2 juta ha ditanam di negara maju dan 79,8 juta ha
ditanam di negara berkembang. Pada periode 2010-2011, pertumbuhan luas area PRG
di negara berkembang adalah 11persen dan di negara maju 5 persen. Karena itu,
diperkirakan pada masa yang akan datang tanaman PRG akan lebih banyak
diusahakan di negara berkembang.
Pertanian
pengguna PRG tersebar di 29 negara, yang sering dinamakan biotech nations.
Negara dengan pertanian PRG paling luas adalah Amerika Serikat seluas 69,0 juta
ha, Brasil 30,3 juta ha, Argentina 23,7 juta ha, India 10,6 juta ha, Kanada
10,4 juta ha, dan Cina 3,9 juta ha. Di Asia, selain India dan Cina, yang sudah
membudidayakan tanaman transgenik adalah Pakistan 2,6 juta ha, Filipina 600
ribu ha, dan Myanmar 300 ribu ha.
Pada
2011, Eropa mencatat pertanian yang memanfaatkan benih PRG, yaitu jagung-Bt
atau "Amflora" potato, yang telah memperoleh izin dari lembaga
berwenang Uni Eropa (UE), dengan area sudah mencapai 114,49 ribu ha, meningkat
26 persen dari posisi 2010. Pertanaman PRG tersebut tersebar di delapan negara,
yaitu Spanyol, Portugal, Cek, Polandia, Slowakia, Rumania, Swedia, dan German (Clive James, 2011).
Dari
sekitar US$ 14 miliar nilai ekonomi PRG pada 2010, negara maju mendapat US$ 6,3
miliar, dan negara berkembang menikmati US$ 7,7 miliar. Sebagai gambaran lebih
spesifik, negara yang mendapat manfaat ekonomi PRG relatif besar adalah Amerika
Serikat US$ 5,5 miliar, India US$ 2,5 miliar, Cina US$ 1,8 miliar, Argentina
US$ 1,8 miliar, Brasil US$ 1,21 miliar, dan Kanada US$ 0,6 miliar (Brookes dan
Barfoot dalam Clive James, 2011).
Dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004, yaitu Pengesahan Cartagena Protocol tentang
Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, Indonesia menjadi
bagian dari masyarakat dunia. Pengaturan teknis dari UU Nomor 21 tersebut
ditetapkan dalam PP Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetik. Adapun Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG)
ditetapkan berdasarkan Perpres Nomor 39 Tahun 2010 tentang Komisi Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KKH PRG
dilengkapi Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH) Bidang Keamanan Pangan, TTKH
Bidang Keamanan Pakan dan TTKH Bidang Keamanan Lingkungan; serta Balai Kliring
Keamanan Hayati (BKKH) dan Sekretariat. Dalam bidang keamanan pangan,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan juga telah menerapkan prinsip
kehati-hatian atas PRG.
Tim
Teknis Keamanan Hayati terdiri atas para pakar yang selain kompeten di bidang
keilmuannya juga memiliki integritas yang tinggi sebagai ilmuwan andal.
Kehadiran dimensi legal, institusional, dan organisasional yang mengatur PRG
merupakan realitas baru Indonesia. Komisi Keamanan Hayati produk rekayasa
genetik bekerja berdasarkan prinsip kehati-hatian, menggunakan metode ilmiah
yang sahih, dan menangani parameter sesuai dengan pedoman. Misalnya, informasi
dasar sebagai petunjuk pemenuhan persyaratan keamanan pangan dan keamanan pakan
dari PRG menurut PP Nomor 21 tersebut (Pasal 6 (3)), antara lain meliputi: (a)
metode rekayasa genetik yang digunakan mengikuti prosedur baku yang secara
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya; (b) kandungan gizi PRG secara
substansial harus sepadan dengan yang non-PRG, (c) kandungan senyawa beracun,
antigizi, dan penyebab alergi dalam PRG secara substansial harus sepadan dengan
yang non-PRG, (d) kandungan karbohidrat, protein, abu, lemak, serat, asam
amino, asam lemak, mineral, dan vitamin dalam PRG secara substansial harus
sepadan dengan yang non-PRG, (e) protein yang disandi gen yang dipindahkan
tidak bersifat alergen; dan (f) cara pemusnahan yang digunakan bila terjadi
penyimpangan. Hal yang serupa juga diberlakukan untuk keamanan lingkungan
terhadap PRG.
TTKH
telah memperhatikan hasil riset Gilles-Eric Seralini terdahulu,
yang juga telah mendapatkan tanggapan dari FSANZ
response to de Vendomois et al. (2009), A
Comparison of the Effects of Three GM Corn Varieties on Mammalian Health, Int.
J. Biol. Sci. 5 (7): 706-726 (FSAN adalah Food Safety Australia New Zealand). Sedangkan Debora MacKenzie
(2012) dalam New Scientist (http://www.newscientist.com/article/dn22287-study-linking-gm-crops-and-cancer-questioned.html)
menyampaikan tanggapan pada hasil riset Seralini terakhir (Koran Tempo, 28
September 2012:A12). Menurut pendapat MacKenzie, hasil penelitian Seralini
tidak dapat diandalkan. Tom Sanders (MacKenzie, 2012), pemimpin riset nutrisi
di King's College, London, menyatakan
bahwa jenis tikus yang dipakai oleh tim Prancis tersebut merupakan jenis tikus
yang mudah terkena tumor, khususnya apabila diberi makanan yang berlebih atau
jagung yang terkontaminasi jamur yang umum dijumpai, yang menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal. Data tentang masukan makanan atau pengujian
terhadap jamur dalam jagung tidak tersedia. Karena itu, tidak bisa disimpulkan
faktor apa yang bekerja.
Aspek
sosial-ekonomi dari PRG sangatlah penting. Dampak sosial-ekonomi dari PRG yang
disampaikan Clive James (2011) secara global, kemudian pengalaman
komersialisasi jagung PRG di Filipina ( Gonzales
et. al., 2009; dan Torres et. al.,
2012), serta hasil riset Kelompok Peneliti Sektor Publik Bidang Biotek UE,
menunjukkan bahwa bioteknologi PRG memberi kesempatan kepada petani untuk memperoleh
alternatif benih yang lebih banyak dari kondisi sebelumnya. Kelompok UE
menyimpulkan bahwa pertanian PRG: (i) mengurangi penggunaan herbisida dan
memperbaiki manajemen tanah, (ii) menurunkan penggunaan pestisida dan
menurunkan tingkat mycotoxin, serta (iii) meningkatkan pendapatan petani dan
kesehatan petani sebagai dampak dari peningkatan hasil per hektare dan
pengurangan penggunaan herbisida, pestisida, dan bahan bakar fosil. Program
riset PRG mendatang diarahkan untuk menghasilkan PRG hemat air, mampu menangkap
(fiksasi) nitrogen dari udara, tahan kekeringan, asam, atau garam, dan
mengandung unsur tertentu yang bermanfaat, misalnya vitamin A.
Dalam
kaitannya dengan petani, tidak ada pemaksaan bagi petani apakah ia harus
menggunakan benih hasil rekayasa genetik atau bukan. Pengalaman Universitas
Jember, PTPN XI, dan Ajinomoto dalam mengembangkan PRG Tebu Tahan Kekeringan
memberikan pelajaran bahwa ternyata tidak selalu yang harus terjadi adalah
persaingan.
Di sinilah letaknya kita harus membangun model kelembagaan yang
menghasilkan win-win solution.
Semuanya itu dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dan menerapkan
kaidah ilmu pengetahuan yang sahih serta menerapkan etika bisnis yang berbudi
luhur.
Untuk
mewujudkan ketahanan pangan yang kuat, kualitas lingkungan yang makin baik,
kecukupan energi, serta kesejahteraan petani, kita memerlukan berbagai
dukungan. Satu di antaranya adalah bioteknologi. Bioteknologi sudah menjadi
realitas dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar