Selasa, 02 Oktober 2012

Arif Menyikapi Kekeringan


Arif Menyikapi Kekeringan
Toto Subandriyo  ;  Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal
SUARA MERDEKA, 02 Oktober 2012


"Program jangka panjang lebih menekankan pada upaya menanamkan budaya yang harmonis dengan lingkungan"

MEDIA cetak dan elektronik Tanah Air gencar memberitakan bencana kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia. Secara kasat mata kita menyaksikan penderitaan masyarakat yang mengalami krisis air bersih. Demi mempertahankan hidup, warga terpaksa berburu air bersih sejauh puluhan kilometer. Bukan hanya itu, ratusan ribu hektare tanaman padi milik petani juga terkena kekeringan. Sebagian di antaranya terancam gagal panen karena kekurangan air.

Kepedihan seperti ini hampir selalu terulang. Saat kemarau seperti sekarang, masyarakat selalu dihadapkan pada kondisi krisis air bersih, dan gagal panen. Saat musim hujan, banjir bandang dan tanah longsor menghantui warga. Kondisi seperti itu seharusnya menyadarkan kita bahwa fenomena pemanasan global tak boleh lagi dipandang enteng.

Dalam menyikapi fenomena pemanasan global yang memicu perubahan iklim, kita terjebak dalam situasi sebagaimana digambarkan Peter M Senge (1990), sebagai ’’perumpamaan katak rebus’’. Menurut Senge, ada tujuh ketidakmampuan belajar dari individu, komunitas, atau organisasi yang menghambat proses belajar. Salah satu di antaranya adalah ’’perumpamaan katak rebus’’ itu.

Kesadaran manusia menghadapi fenomena perubahan iklim saat ini ibarat perilaku seekor katak. Jika katak dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air mendidih, secara refleks katak meloncat keluar menyelamatkan diri. Namun jika dimasukkan ke dalam wadah berisi air dingin dan secara perlahan dipanaskan, katak akan tetap diam. Tubuhnya menyesuaikan suhu air yang makin meningkat hingga akhirnya mati kepanasan karena air mendidih.

Perubahan iklim yang berlangsung lambat membuat kita terlena dan tidak mampu belajar dari kondisi alam yang berubah. Jika tidak segera beradaptasi, kita akan mati konyol seperti nasib katak, tidak ada lagi jalan keluar dari situasi mematikan. Karena itu, fenomena perubahan iklim ini harus direspons secara arif dan profesional. Semua pemangku kepentingan harus mencurahkan seluruh sumber daya dan energi untuk menghadapi perubahan iklim yang berisiko menghancurkan  peradaban.

Mau mengakui atau tidak, kemerebakan bencana ekologi selama beberapa tahun terakhir adalah karena pola hidup masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Atas nama pembangunan ekonomi, atas nama perang terhadap kemiskinan, kecukupan pangan dan papan, masyarakat menjadi sangat permisif terhadap perusakan lingkungan.

Akibatnya, kapasitas dan daya dukung lingkungan berada pada titik nadir. Bencana ekologi seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, selalu datang dan pergi. Terkait dengan bencana kekeringan yang saat ini melanda sejumlah daerah, kita harus menyikapi dengan kearifan.

Gerak Cepat

Upaya mendesak dan darurat perlu dilakukan untuk menyelamatkan warga yang dilanda kekeringan. Permasalahan utama yang dihadapi korban kekeringan adalah kelangkaan air bersih, stok pangan yang menipis, serta keberjangkitan penyakit akibat sanitasi lingkungan dan kualitas udara yang buruk.

Pemerintah dituntut bergerak cepat menggerakkan sistem dan mengerahkan seluruh energi. Bantuan air bersih, pangan, dan bantuan kesehatan dasar, sangat diharapkan oleh warga yang dilanda bencana. Keterlambatan penanganan hanya menambah parah penderitaan. Upaya mendesak lain adalah penyelamatan tanaman pangan yang terancam puso dengan memanfaatkan air buangan, menerapkan irigasi bergilir, dan memanfaatkan air tanah sebagai suplesi.

Upaya jangka menengah ditempuh melalui pembangunan sarana infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ, sumur resapan, tandon air, serta upaya konservasi lahan dan penghijauan di areal tangkapan air. Prinsip upaya ini adalah memanen hujan (rain harvest), mencegah sedikit mungkin air hujan terbuang ke laut.

Sumur resapan merupakan alternatif terbaik untuk menampung air hujan. Sumur dengan diameter 1 meter dan kedalaman 5 meter mempunyai luas permukaan 20 kali lebih besar dari tanah datar. Teknologi biopori juga sangat tepat dimasyarakatkan di kota-kota besar yang mempunyai keterbatasan ruang terbuka hijau.

Penyebaran informasi prakiraan iklim, pemetaan wilayah rawan kekeringan, dan pemahaman terhadap informasi prakiraan iklim/musim, perlu dilakukan lebih serius. Sekolah lapang iklim juga perlu disosialisasikan kepada petani agar mereka mampu melakukan budi daya pertanian secara rasional. Kampanye more crop per drop yang direkomendasikan FAO perlu digencarkan agar petani sebagai pengguna terbesar air dapat lebih efisien menggunakan air.

Belum lama ini FAO mengingatkan jika tidak ada pembaruan teknologi produksi yang signifikan, pada 2020 sistem produksi pertanian akan butuh 17 persen lebih banyak air ketimbang sekarang. Karena itu FAO merekomendasikan teknologi budi daya padi hemat air berupa system of rice intensification (SRI).

Upaya jangka panjang lebih ditekankan pada upaya menanamkan budaya yang harmonis dengan lingkungan. Selama ini masih banyak masyarakat kita mempunyai paradigma bahwa keberadaan air merupakan sesuatu yang sifatnya given dari alam.  Paradigma seperti ini menyebabkan mereka boros menggunakan air.

Hanya dengan kearifan dan upaya komprehensif berkelanjutan dalam memelihara alam dan lingkungan, kita dapat meminimalisasi risiko bencana kekeringan dan perubahan iklim. Semua itu harus disadari sejak dini, sebelum semuanya terlambat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar