Politik yang
Merusak
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
SINAR
HARAPAN, 04 Oktober 2012
Data yang
dirilis Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, tentang pejabat negara yang tersangkut
kasus korupsi telah menyengat partai yang terlibat. Meskipun masih sumir
klasifikasi data tersebut, paling tidak bagi publik data ini menjadi pelajaran
untuk menilai partai-partai yang akan terlibat dalam pemilu legislatif dan
pemilihan presiden 2014.
Data Seskab memeringkat partai-partai politik berdasarkan jumlah kadernya yang terlibat korupsi. Sejak Oktober 2004 hingga September 2012 ada 176 pejabat negara yang telah tersandung baik sebagai tersangka, terdakwa, hingga terpidana kasus korupsi. Berturut-turut tujuh besar partai itu adalah 1) Golkar 64 orang (36,36 persen), 2) PDIP 32 orang (18,18 persen), 3) Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), 4) PPP 17 orang (9,65 persen), 5) PKB 9 orang (5,11 persen), 6) PAN 7 orang (3,97 persen), dan 7) PKS 4 orang (2,27 persen).
Dari data tersebut terlihat bahwa enam dari tujuh besar partai koruptor didominasi partai koalisi. Hanya ada satu oposisi, PDIP, yang menempati peringkat kedua. Tiga besar partai korup juga menjadi representasi partai yang meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif, yang bisa semakin mengawangkan pikiran publik, karena baik partai berkuasa atau oposisi semuanya tak lepas dari korupsi.
Realitas ini menjadi semacam political image bahwa kepengurusan politik di masa yang akan datang masih sulit memberikan komitmen seratus persen pada pemerintahan yang bersih dan demokratis. Kerusakan partai-partai pasca-reformasi sehingga akhirnya juga masuk dalam lingkaran korupsi juga diakibatkan “keterperangkapan dosa masa lalu”. Sistem politik saat ini pun masih membuka peluang bagi terjadinya korupsi berkabilah dan berjemaah melalui dukungan partai-partai politik. Partai baru seperti Nasional Demokrat belum teruji untuk membelah badai korupsi sehingga menjadi teladan baru dalam kekuasaan. Hal itu karena harapan politik belum memberikan bekas yang menjanjikan bagi sebagian besar rakyat.
Sumur Yusuf
Pertanyaan siklus yang selalu muncul, apakah demokrasi prosedural bisa memperbaiki kualitas demokrasi substansial? Banyaknya kasus korupsi yang terjadi selama ini selalu dipemasalahkan bahwa sistem elektoral proporsionalitas terbuka memungkinkan orang yang punya kuasa untuk terpilih, dan menjadi modus korupsi tak juga menepi.
Sistem elektoral 2009 adalah kritik atas sistem proporsional tertutup pada era pemilu sebelumnya. Ada cacat dari sistem proporsional tertutup ketika pemimpin partai lebih berkuasa, dibandingkan “kader politiknya”. Ingat kasus Nurul Arifin yang harus dikalahkan pemimpin teras partai dengan sistem proporsionalitas tertutup. Meskipun demikian, sistem elektoral sekarang pun tetap memberi koreng politik, di mana partai semakin toleran dengan kader bajing loncat yang dengan mudah berkuasa dan mengendalikan partai barunya. Kasus Nazaruddin menjadi salah satu contoh.
Namun, sesungguhnya sistem elektoral apa pun yang dipersiapkan tetap membuka celah manipulasi. Politik tidak berhenti hanya sebagai seperangkat aturan main yang seharusnya dipatuhi. Faktor determinan akhirnya kembali pada tindakan aktor bisa merenggang-kerutkan aturan main dan menjadikannya sekadar permainan. Aktor politik selalu punya ruang pada syahwat politik dan melakukan zigzag omnipresent terkait kultur dan lingkungan politiknya. Dalam politik ada kredo kekuasaan yang bisa ditafsirkan menjadi tidak terbatas dan karenanya bisa menjadi sangat tidak bermoral dan merusak publik.
Sulit bagi kita menerima alasan, “kita akan memperbaiki sistem seleksi kader politik”, “pengalaman buruk ini akan menjadi bahan evaluasi partai”, “persepsi masyarakat tentang politikus busuk akan menjadi seleksi alam”, “masa depan politik semakin cerdas”, dll. Argumentasi-argumentasi itu masih berada di ruang antropologis, akan tetap seperti itu selama lima-sepuluh-dua puluh tahun ke depan, jika tanpa tindakan revolusioner membongkar adab dan etika politik secara mendasar.
Jatuhnya para politikus berkali-kali dalam kasus korupsi tidak menjadi pelajaran bagi partai politik semakin berhati-hati. Kecerobohan selalu terjadi bahkan semakin parah. Terungkapnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara setingkat menteri dan anggota DPR hanya seperti mengintip umbul gunung salju. Semuanya diraup, dari proyek infrastruktur, perjalanan dinas, percepatan pembangunan daerah tertinggal, anggaran pendidikan dan ekonomi rakyat, hingga berhubungan peningkatan kualitas iman dan takwa umat.
Publik dibuat kabur untuk hanya melihat pucuk gunung dan gagal mengintip dasar-dasarnya yang dingin karena kerapian mengemas dan jejaring konspirasi yang menggurita sehingga gagal terbongkar. Pengetahuan masyarakat tentang kasus korupsi terhela oleh penabalan bukti forensik dan formil hukum. Jadilah publik seperti sang amatir, yang bisa berteriak tapi tak bisa membuktikan.
Kita berada di dalam kondisi di mana partai politik bebal dan tidak belajar dari kesalahan. Kasus-kasus korupsi itu tidak membuat partai-partai ini terperosok ke dalam sumur Nabi Yusuf, sehingga ada waktu untuk melakukan refleksi mendalam untuk memperbaiki kualitas perilaku politiknya ke depan. Yang muncul adalah sikap reaktif dan tidak menerima dituduh sebagai partai korup, meskipun mata dan telinga publik melihat dengan terang benderang.
Tahun 2014 tinggal selempar waktu lagi. Dengan kenyataan politik seperti sekarang ini publik tidak perlu mengharapkan banyak prestasi dari partai politik yang ada saat ini. Dukungan pada partai-partai yang relatif bersih mungkin masih bisa memberikan kepercayaan, namun yang terpenting adalah mempersiapkan diri dalam sirkuit politik baru dengan mencoba mengalahkan para pemain lama dan dari kendaraan yang usang itu.
Penting juga bagi kelompok masyarakat sipil memperkuat barisan dan menjadi media kritis yang senantiasa mengupayakan politik tetap bisa berjalan di relnya. Jangan sampai kelompok sipil terpecah oleh masalah-masalah kecil dan terkotak-kotak dalam domino politik kekuasaan. Gerakan sipil yang kuat akan menjadi pengawal yang andal, yang jeli memperhatikan setiap detail proses pengelolaan kepentingan publik untuk mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian; sehingga publik tak semakin apatis dengan politik, dan menganggapnya hanya sebagai instrumen yang merusak mental dan kultur masyarakat. ●
Data Seskab memeringkat partai-partai politik berdasarkan jumlah kadernya yang terlibat korupsi. Sejak Oktober 2004 hingga September 2012 ada 176 pejabat negara yang telah tersandung baik sebagai tersangka, terdakwa, hingga terpidana kasus korupsi. Berturut-turut tujuh besar partai itu adalah 1) Golkar 64 orang (36,36 persen), 2) PDIP 32 orang (18,18 persen), 3) Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), 4) PPP 17 orang (9,65 persen), 5) PKB 9 orang (5,11 persen), 6) PAN 7 orang (3,97 persen), dan 7) PKS 4 orang (2,27 persen).
Dari data tersebut terlihat bahwa enam dari tujuh besar partai koruptor didominasi partai koalisi. Hanya ada satu oposisi, PDIP, yang menempati peringkat kedua. Tiga besar partai korup juga menjadi representasi partai yang meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif, yang bisa semakin mengawangkan pikiran publik, karena baik partai berkuasa atau oposisi semuanya tak lepas dari korupsi.
Realitas ini menjadi semacam political image bahwa kepengurusan politik di masa yang akan datang masih sulit memberikan komitmen seratus persen pada pemerintahan yang bersih dan demokratis. Kerusakan partai-partai pasca-reformasi sehingga akhirnya juga masuk dalam lingkaran korupsi juga diakibatkan “keterperangkapan dosa masa lalu”. Sistem politik saat ini pun masih membuka peluang bagi terjadinya korupsi berkabilah dan berjemaah melalui dukungan partai-partai politik. Partai baru seperti Nasional Demokrat belum teruji untuk membelah badai korupsi sehingga menjadi teladan baru dalam kekuasaan. Hal itu karena harapan politik belum memberikan bekas yang menjanjikan bagi sebagian besar rakyat.
Sumur Yusuf
Pertanyaan siklus yang selalu muncul, apakah demokrasi prosedural bisa memperbaiki kualitas demokrasi substansial? Banyaknya kasus korupsi yang terjadi selama ini selalu dipemasalahkan bahwa sistem elektoral proporsionalitas terbuka memungkinkan orang yang punya kuasa untuk terpilih, dan menjadi modus korupsi tak juga menepi.
Sistem elektoral 2009 adalah kritik atas sistem proporsional tertutup pada era pemilu sebelumnya. Ada cacat dari sistem proporsional tertutup ketika pemimpin partai lebih berkuasa, dibandingkan “kader politiknya”. Ingat kasus Nurul Arifin yang harus dikalahkan pemimpin teras partai dengan sistem proporsionalitas tertutup. Meskipun demikian, sistem elektoral sekarang pun tetap memberi koreng politik, di mana partai semakin toleran dengan kader bajing loncat yang dengan mudah berkuasa dan mengendalikan partai barunya. Kasus Nazaruddin menjadi salah satu contoh.
Namun, sesungguhnya sistem elektoral apa pun yang dipersiapkan tetap membuka celah manipulasi. Politik tidak berhenti hanya sebagai seperangkat aturan main yang seharusnya dipatuhi. Faktor determinan akhirnya kembali pada tindakan aktor bisa merenggang-kerutkan aturan main dan menjadikannya sekadar permainan. Aktor politik selalu punya ruang pada syahwat politik dan melakukan zigzag omnipresent terkait kultur dan lingkungan politiknya. Dalam politik ada kredo kekuasaan yang bisa ditafsirkan menjadi tidak terbatas dan karenanya bisa menjadi sangat tidak bermoral dan merusak publik.
Sulit bagi kita menerima alasan, “kita akan memperbaiki sistem seleksi kader politik”, “pengalaman buruk ini akan menjadi bahan evaluasi partai”, “persepsi masyarakat tentang politikus busuk akan menjadi seleksi alam”, “masa depan politik semakin cerdas”, dll. Argumentasi-argumentasi itu masih berada di ruang antropologis, akan tetap seperti itu selama lima-sepuluh-dua puluh tahun ke depan, jika tanpa tindakan revolusioner membongkar adab dan etika politik secara mendasar.
Jatuhnya para politikus berkali-kali dalam kasus korupsi tidak menjadi pelajaran bagi partai politik semakin berhati-hati. Kecerobohan selalu terjadi bahkan semakin parah. Terungkapnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara setingkat menteri dan anggota DPR hanya seperti mengintip umbul gunung salju. Semuanya diraup, dari proyek infrastruktur, perjalanan dinas, percepatan pembangunan daerah tertinggal, anggaran pendidikan dan ekonomi rakyat, hingga berhubungan peningkatan kualitas iman dan takwa umat.
Publik dibuat kabur untuk hanya melihat pucuk gunung dan gagal mengintip dasar-dasarnya yang dingin karena kerapian mengemas dan jejaring konspirasi yang menggurita sehingga gagal terbongkar. Pengetahuan masyarakat tentang kasus korupsi terhela oleh penabalan bukti forensik dan formil hukum. Jadilah publik seperti sang amatir, yang bisa berteriak tapi tak bisa membuktikan.
Kita berada di dalam kondisi di mana partai politik bebal dan tidak belajar dari kesalahan. Kasus-kasus korupsi itu tidak membuat partai-partai ini terperosok ke dalam sumur Nabi Yusuf, sehingga ada waktu untuk melakukan refleksi mendalam untuk memperbaiki kualitas perilaku politiknya ke depan. Yang muncul adalah sikap reaktif dan tidak menerima dituduh sebagai partai korup, meskipun mata dan telinga publik melihat dengan terang benderang.
Tahun 2014 tinggal selempar waktu lagi. Dengan kenyataan politik seperti sekarang ini publik tidak perlu mengharapkan banyak prestasi dari partai politik yang ada saat ini. Dukungan pada partai-partai yang relatif bersih mungkin masih bisa memberikan kepercayaan, namun yang terpenting adalah mempersiapkan diri dalam sirkuit politik baru dengan mencoba mengalahkan para pemain lama dan dari kendaraan yang usang itu.
Penting juga bagi kelompok masyarakat sipil memperkuat barisan dan menjadi media kritis yang senantiasa mengupayakan politik tetap bisa berjalan di relnya. Jangan sampai kelompok sipil terpecah oleh masalah-masalah kecil dan terkotak-kotak dalam domino politik kekuasaan. Gerakan sipil yang kuat akan menjadi pengawal yang andal, yang jeli memperhatikan setiap detail proses pengelolaan kepentingan publik untuk mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian; sehingga publik tak semakin apatis dengan politik, dan menganggapnya hanya sebagai instrumen yang merusak mental dan kultur masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar