Pertumbuhan
Memihak Orang Miskin
Ivan A Hadar ; Analis
Ekonomi-Politik
|
SINDO,
8 Oktober 2012
Sejak
beberapa tahun terakhir, pertumbuhan yang berpihak kepada orang miskin menjadi strategi
ekonomi terpenting bagi keterlibatan sosial (social inclusion) kelompok miskin. Ramainya perdebatan terkait hal
ini dipicu tulisan David Dollar dan Aart Kraay, Growth is Good for the Poor (2002).
Dalam studinya, dua ekonom Bank Dunia itu menyimpulkan bahwa
tanpa diduga, pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh besar dalam perang melawan
kemiskinan global. Menurut mereka, sejak 40 tahun terakhir, ternyata
pertumbuhan ekonomi global berbanding lurus (satu banding satu) dengan kenaikan
pendapatan kelompok miskin. Selain itu, sejak beberapa dekade terakhir
ditemukan bahwa tiada tanda-tanda telah terjadi pelemahan pengaruh pertumbuhan
atas pengurangan kemiskinan.
Mengapa Memihak Orang Miskin?
Dollar dan Kraay juga menguji pengaruh berbagai strategi kebijakan yang mengalokasikan porsi besar bagi belanja kesehatan dan pendidikan. Temuan mereka cukup mengejutkan. Ternyata, tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa strategi itu membawa dampak sistematis pemerataan penghasilan. Dengan demikian, bisa saja muncul pertanyaan apakah konsep pro-poor growth sebenarnya dapat saja direduksi menjadi sekadar pro-growth? Jawabannya tidak karena, menurut mereka, sekadar pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk memperbaiki kondisi kehidupan orang miskin.
Lalu, apa yang membuat pertumbuhan ekonomi menjadi berpihak kepada orang miskin? Sebuah gambaran cukup lengkap termaktub dalam kumpulan tulisan yang dipublikasikan Michael Krakowski (2004), Attacking Poverty, What Makes Growth Pro-Poor. Di tengah beragamnya definisi pro-poor growth, Stephan Klasen memberi batasan jelas.
Pertama, harus dipastikan bahwa kelompok miskin memperoleh keuntungan lebih dari pertumbuhan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Sebuah perbandingan lurus seperti diungkap Dollar dan Kraay tidak masuk dalam kategori ini. Kedua, diperlukan distribusi pendapatan dalam kelompok miskin itu sendiri. Mereka yang paling miskin perlu diprioritaskan.
Pengaruh Pertumbuhan
Berbeda dengan Dollar dan Kraay yang melakukan studi secara global, ada temuan lain yang diperoleh dari studi di beberapa negara. Louise Lopez dan John Page, misalnya, menunjukkan pertumbuhan bisa berjalan paralel dengan pemerataan atau sebaliknya memperbesar kesenjangan. Dalam penelitian mereka di Kosta Rika, El Salvador, Nigeria, Panama, Senegal, dan Tanzania, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata berjalan paralel dengan menurunnya penghasilan orang miskin.
Sebuah posisi berseberangan ditunjukkan Surjit Bhalla dalam buku Imagine There’s No Country-Poverty, Inequality, and Growth in the Era of Globalization (2002). Secara eksplisit, Bhalla mencari jawaban atas pertanyaan mengenai dampak globalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi penghasilan, dan kemiskinan.
Menurut dia, sepanjang 1980 hingga 2000, pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah mengurangi perbedaan penghasilan. Pertumbuhan per se, menurut dia, adalah pro-poor. Berbeda dengan hitungan PBB, Bhalla mengatakan, tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang menargetkan pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015 sebenarnya telah tercapai tahun 2000.
Argumentasi Bhalla, tentu saja, tidak sesuai dengan kenyataan. Meski demikian, cukup menarik karena ia menunjukkan beberapa kelemahan metodologi mengenai ukuran-ukuran kemiskinan. Hal itu seakan dijawab oleh sebuah penelitian di delapan negara, termasuk Indonesia.
Dalam penelitian itu, Ravallion dan Chen mengembangkan sebuah alat measuring pro-poor growth (2003) sebagai metode untuk meneliti pengaruh pertumbuhan terhadap pemerataan penghasilan. Secara teoretis pendekatan ini dianggap ideal, tetapi mensyaratkan tingginya kualitas data yang secara praktis sulit ditemukan di negara-negara berkembang.
Data Naratif dan Analisis
Karena itu, selain menggabungkan berbagai data ekonomi mikro dan makro, pemanfaatan data naratif dianggap sama pentingnya dengan analisis data kuantitatif. Lebih dari itu, perdebatan tentang pertumbuhan yang berpihak kepada orang miskin sebaiknya mencermati berbagai dimensi kemiskinan, tidak melulu berkutat pada kemiskinan penghasilan.
Pemahaman Amartya Sen (1999), misalnya, bahwa kemiskinan adalah kurangnya kesempatan bagi seseorang untuk secara mandiri memperbaiki kondisi hidupnya perlu menjadi pertimbangan. Kesehatan yang buruk, konflik kekerasan, lemahnya tanggung jawab negara, serta buruknya kondisi lingkungan hidup adalah berbagai kondisi yang, menurut Sen, ikut membatasi kesempatan itu. ●
Mengapa Memihak Orang Miskin?
Dollar dan Kraay juga menguji pengaruh berbagai strategi kebijakan yang mengalokasikan porsi besar bagi belanja kesehatan dan pendidikan. Temuan mereka cukup mengejutkan. Ternyata, tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa strategi itu membawa dampak sistematis pemerataan penghasilan. Dengan demikian, bisa saja muncul pertanyaan apakah konsep pro-poor growth sebenarnya dapat saja direduksi menjadi sekadar pro-growth? Jawabannya tidak karena, menurut mereka, sekadar pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk memperbaiki kondisi kehidupan orang miskin.
Lalu, apa yang membuat pertumbuhan ekonomi menjadi berpihak kepada orang miskin? Sebuah gambaran cukup lengkap termaktub dalam kumpulan tulisan yang dipublikasikan Michael Krakowski (2004), Attacking Poverty, What Makes Growth Pro-Poor. Di tengah beragamnya definisi pro-poor growth, Stephan Klasen memberi batasan jelas.
Pertama, harus dipastikan bahwa kelompok miskin memperoleh keuntungan lebih dari pertumbuhan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Sebuah perbandingan lurus seperti diungkap Dollar dan Kraay tidak masuk dalam kategori ini. Kedua, diperlukan distribusi pendapatan dalam kelompok miskin itu sendiri. Mereka yang paling miskin perlu diprioritaskan.
Pengaruh Pertumbuhan
Berbeda dengan Dollar dan Kraay yang melakukan studi secara global, ada temuan lain yang diperoleh dari studi di beberapa negara. Louise Lopez dan John Page, misalnya, menunjukkan pertumbuhan bisa berjalan paralel dengan pemerataan atau sebaliknya memperbesar kesenjangan. Dalam penelitian mereka di Kosta Rika, El Salvador, Nigeria, Panama, Senegal, dan Tanzania, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata berjalan paralel dengan menurunnya penghasilan orang miskin.
Sebuah posisi berseberangan ditunjukkan Surjit Bhalla dalam buku Imagine There’s No Country-Poverty, Inequality, and Growth in the Era of Globalization (2002). Secara eksplisit, Bhalla mencari jawaban atas pertanyaan mengenai dampak globalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi penghasilan, dan kemiskinan.
Menurut dia, sepanjang 1980 hingga 2000, pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah mengurangi perbedaan penghasilan. Pertumbuhan per se, menurut dia, adalah pro-poor. Berbeda dengan hitungan PBB, Bhalla mengatakan, tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang menargetkan pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015 sebenarnya telah tercapai tahun 2000.
Argumentasi Bhalla, tentu saja, tidak sesuai dengan kenyataan. Meski demikian, cukup menarik karena ia menunjukkan beberapa kelemahan metodologi mengenai ukuran-ukuran kemiskinan. Hal itu seakan dijawab oleh sebuah penelitian di delapan negara, termasuk Indonesia.
Dalam penelitian itu, Ravallion dan Chen mengembangkan sebuah alat measuring pro-poor growth (2003) sebagai metode untuk meneliti pengaruh pertumbuhan terhadap pemerataan penghasilan. Secara teoretis pendekatan ini dianggap ideal, tetapi mensyaratkan tingginya kualitas data yang secara praktis sulit ditemukan di negara-negara berkembang.
Data Naratif dan Analisis
Karena itu, selain menggabungkan berbagai data ekonomi mikro dan makro, pemanfaatan data naratif dianggap sama pentingnya dengan analisis data kuantitatif. Lebih dari itu, perdebatan tentang pertumbuhan yang berpihak kepada orang miskin sebaiknya mencermati berbagai dimensi kemiskinan, tidak melulu berkutat pada kemiskinan penghasilan.
Pemahaman Amartya Sen (1999), misalnya, bahwa kemiskinan adalah kurangnya kesempatan bagi seseorang untuk secara mandiri memperbaiki kondisi hidupnya perlu menjadi pertimbangan. Kesehatan yang buruk, konflik kekerasan, lemahnya tanggung jawab negara, serta buruknya kondisi lingkungan hidup adalah berbagai kondisi yang, menurut Sen, ikut membatasi kesempatan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar