Persoalan
Besar Parpol
Djoko Subinarto ; Esais, Alumnus Universitas
Padjadjaran
|
SUARA
KARYA, 02 Oktober 2012
Sementara kalangan berpendapat, partai politik kita kian tumpul
dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat. Akibatnya, rakyat pun kian
apatis terhadap keberadaan partai politik. Apa akar penyebabnya?
Keberadaan partai politik dalam sebuah negara demokrasi, tentu,
adalah sebuah keniscayaan. Partai politik merupakan salah satu elemen penting
dari sebuah mesin demokrasi.
Secara teoritis, salah satu fungsi utama partai politik adalah
untuk menyeleksi para kandidat yang bakal diikutsertakan dalam ajang pemilihan
umum, baik itu untuk kepentingan pemilihan legislatif maupun pemilihan
eksekutif, untuk level lokal maupun nasional.
Para kandidat yang telah terseleksi kemudian ditawarkan kepada
publik calon pemilih dengan harapan publik menjatuhkan pilihan kepada mereka di
saat pemungutan suara dilangsungkan. Idealnya, mereka yang akhirnya terpilih
itu harus memikul tanggung jawab untuk selalu menyuarakan dan mendahulukan
kepentingan publik yang telah memilih mereka.
Namun, dalam praktik demokrasi kita selama ini, mereka yang telah
terpilih, entah kenapa, kerap melupakan tanggung jawab tersebut. Alih-alih
menyuarakan dan mendahulukan kepentingan rakyat banyak, yang disuarakan dan
didahulukan malah kepentingan pribadi dan kelompok.
Dampak nyata dari perilaku semacam ini adalah kian menganganya ketimpangan
sosial antara wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili. Padahal, jika kita
merujuk kepada hakikat demokrasi berupa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat, maka hasil akhir demokrasi seharusnya adalah meningkatnya
kualitas kehidupan rakyat.
Namun, hal demikian itu tampaknya masih sangat sulit diwujudkan
dalam kehidupan demokrasi kita. Penyebabnya, partai-partai politik kita sejauh
ini hanya sebatas menjadi kendaraan demi memburu rente dan kekuasaan para
anggotanya.
Politik Uang
Bukan rahasia lagi, selama ini kebanyakan orang berbondong-bondong
masuk menjadi anggota partai politik bukan untuk mengabdi, tetapi untuk mencari
kedudukan dan uang. Ujung-ujungnya, biaya politik kita menjadi sangat mahal dan
politik uang sulit sekali dihindari.
Partai-partai politik yang diharapkan menjadi wahana bagi
perjuangan ideologi yang militan telah dibonsai menjadi sekedar wahana bagi
perjuangan-perjuangan jangka pendek yang sifatnya transaksional.
Partai politik tidak ubahnya seperti perusahaan tempat kita
mengejar kedudukan dan materi. Pada kondisi seperti ini, para anggota partai
politik menjadi orang-orang yang sangat pragmatis. Pengabdian, kesetiaan,
idealisme menjadi hal langka dan sangat mahal.
Dengan mengusung semangat pragmatisme inilah, para politisi kita
dengan sangat mudah pula berganti-ganti baju partai politik - diselaraskan
dengan kepentingan mereka. Kondisi ini akhirnya memunculkan apa yang kini
populer disebut sebagai 'politisi kutu loncat'.
Di sisi lain, partai-partai kita pun makin miskin secara
ideologis. Inilah yang menjadi salah satu persoalan besar jagat kepartaian kita
saat ini. Sesungguhnya, partai-partai politik kita harus berani mengubah diri
menjadi partai-partai ideologis dan bukan mempertahankan diri sebagai partai-partai
'fulusiologis' dan 'kursiologis' yang
senantiasa memburu rente dan kekuasaan dengan cara mengedepankan prinsip
politik dagang sapi.
Jujur harus kita akui, sejauh ini, orientasi partai-partai politik
kita melulu hanya bagaimana berupaya mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam
pemilihan umum. Maka, aspek bujuk-rayu dan klaim menjadi yang terbaik secara
sepihaklah yang akhirnya paling dikedepankan.
Dalam konteks ini, tradisi 'menjual kecap' menjadi hal yang paling
sering kita temukan. Tengok, baliho-baliho atau poster-poster caleg dan partai
politik yang bertebaran mengepung kita di mana-mana menjelang pemilihan umum,
juga iklan-iklan politik yang ditayangkan media massa, semuanya hanya 'menjual
kecap'.
Sementara itu, kampanye terbuka lazimnya hanya menjadi ajang
pengerahan dan pengumpulan massa pendukung partai yang diisi dengan orasi-orasi
dangkal diseling berbagai pekikan (yel-yel) plus hiburan musik serta joget
massal. Tidak ada dialog ideologis. Tidak ada pertukaran gagasan kebangsaan
yang konstruktif dan mencerahkan.
Sudah barang tentu, kondisi seperti ini tidak baik bagi jagat
politik kita. Jika terus dibiarkan, rakyat akan semakin apatis dan antipati
terhadap keberadaan partai politik. Tidak ada jalan lain, selain partai-partai
politik kita harus segera memperbaiki visi, misi dan cita-cita mereka.
Mesin partai harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan benar-benar
menujukkan kemampuannya mencetak kader-kader partai yang militan dengan pijakan
ideologi yang kuat. Rekrutmen partai juga tidak boleh asal comot dan
menitikberatkan pada aspek popularitas, kekuatan kapital serta transaksi
kepentingan jangka pendek antara partai politik dan anggotanya.
Idealisme, reputasi dan prestasi harus dinomorsatukan dan menjadi
landasan utama partai politik dalam menominasikan para anggotanya untuk
memegang jabatan-jabatan politik yang strategis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar