Lumpuhnya
Parpol
Arie Sujito ; Dosen Sosiologi Politik UGM
|
KOMPAS,
02 Oktober 2012
Lengkap sudah jawaban atas sinyalemen yang
berkembang sejauh ini bahwa partai politik tengah mengalami kelumpuhan akut.
Selama lebih dari satu dekade sejak
Reformasi, publik begitu risau atas ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak
terjang parpol. Kekecewaan demi kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol
yang dinilai buruk. Kasus korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa
hukum, pencitraan, serta ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran
institusi demokrasi ini.
Peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) DKI Jakarta yang baru saja usai jadi bukti pelengkap betapa parpol
mengalami krisis fungsi. Terbukti, perolehan jumlah kursi di parlemen tidak
berbanding lurus dengan perolehan suara di pilkada.
Sarana
Pembelajaran
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
parpol tak lagi efektif. Bahkan, layak dikatakan gagal sebagai mesin mobilisasi
suara dalam peristiwa pilkada. Begitu banyak pengalaman berharga layak dikutip
untuk dijadikan pembelajaran dari peristiwa Pilkada DKI Jakarta.
Pertama, parpol hanyalah institusi politik
formal; sekadar menggenggam otoritas administratif dalam pemilu. Selama ini, UU
Pemilu memberikan penegasan besaran kewenangan parpol sebagai penentu upaya
meraih kuasa formal di eksekutif ataupun legislatif. Namun, kewenangan besar
itu tak diikuti oleh kapasitas lembaga politik tersebut dalam menjalankan
fungsi representasinya. Politisi gagal mengelola parpol secara modern bahkan
asal-asalan.
Selain berpola oligarkis, manajemen yang
buruk dan korup, kapasitas SDM politisi yang tidak memadai, serta sistem
kaderisasi di bawah bayang-bayang feodalisasi dan klientilisme, parpol disibukkan
hal-hal pragmatis yang tak ada hubungannya dengan pembangunan sistem politik
modern. Akibatnya, tak ada energi dan komitmen parpol untuk mereformasi
dirinya.
Kedua, figur kandidat cenderung jadi
preferensi utama dalam menentukan sikap pemilih, dengan keragaman ukuran.
Akumulasi kekecewaan masyarakat yang tak direspons parpol melahirkan beberapa
pilihan. Di satu sisi ada golput dan apatisme, di sisi lain menyiasati dengan
cara baru. Model menyiasati ini, misalnya, dengan memilih calon independen
sebagai alternatif keluar dari sengkarut parpol.
Keberhasilan Faisal-Biem mengantongi 5 persen
suara pemilih mengalahkan parpol besar dan menengah lebih karena faktor
kefiguran dan kerja tim suksesnya. Mereka meyakinkan pemilih yang kecewa pada
parpol dan menjaringnya agar tidak golput.
Demikian halnya dengan strategi berkompromi,
yakni tetap masuk dalam arena politik parpol, tetapi dengan mendukung
berdasarkan figur. Fenomena Jokowi-Basuki, sekalipun hanya didukung dua parpol
dan dikepung parpol-parpol besar dan menengah, tetapi kefiguran dan rekam jejak
yang melekat pada kandidat dianggap simbol perubahan, mampu meraih simpati
pemilih.
Ketiga, ideologi politik ber- transformasi
dan berkembang bukan pada parpol, tetapi justru pada pemilih. Jika ideologi
dipahami dalam pengertian nilai-nilai positif yang mampu menjadi rujukan
perbaikan situasi dan perbaikan sistem bernegara, spirit ini terekspresikan
nyata di kesadaran pemilih. Misalnya, klaim-klaim elite parpol yang memproduksi
sentimen SARA dan ditebarkan kepada pemilih tak begitu saja diterima. Sekalipun
sentimen parokial dan komunalitas berpengaruh, tetapi ternyata tidak
signifikan.
Keempat, bagaimanapun, peran media sosial
sangat efektif menjadi mesin pencitraan untuk membantu memopulerkan kandidat.
Daya jangkau media sosial, khususnya di DKI Jakarta, bukan saja di wilayah
elite dan kelas menengah, juga di akar rumput.
Simbol, jargon, lagu, video, dan beragam
instrumen diproduksi jadi jembatan penghubung, memudahkan pemilih berimajinasi
dan mengasosiasikan pada kandidat tertentu. Peran instrumen ini ternyata
mempercepat rayapan dukungan pemilih dan partisipasi mereka dalam pilkada.
Bahan
Refleksi
Seni berpolitik memang tak punya rumusan baku
yang bisa diterapkan dan dipraktikkan secara generik. Namun, dari pengalaman di
atas, setidaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk mendorong agar kita
segera berbenah menghadapi situasi penyusutan kualitas demokrasi yang kian
memprihatinkan.
Tentu saja pengalaman itu berguna untuk
pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, yang lebih penting dari itu adalah
keharusan parpol untuk segera berbenah diri agar tidak terus ditinggalkan
pemilihnya.
Sejarah mencatat, reformasi 1998 digerakkan
aktivis mahasiswa didukung para cendekiawan bersama rakyat, sementara buah
reformasi sebagian besar dinikmati oleh politisi parpol. Namun, melihat
sejumlah kecenderungannya, sejarah bisa berbalik, di mana reformasi bisa juga
menggulung dan mengubur parpol jika mereka tidak berubah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar