Kamis, 18 Oktober 2012

People’s Law dan Presiden Perangi Koruptor


People’s Law dan Presiden Perangi Koruptor
Jawahir Tonthowi ;  Guru Besar dan Direktur CLDS Fakultas Hukum UII
MEDIA INDONESIA, 17 Oktober 2012

 
KOMITMEN masyarakat Indonesia terhadap perang melawan korupsi tidak akan pernah redup. Kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah menimbulkan pemiskinan masyarakat dan negara secara sistemis. Tidak hanya mentalitas sumber daya manusia yang rusak, sumber daya alam pun turut hancur akibat praktik korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir berdasarkan UU No 30 Tahun 2002, dengan melekat kewenangan dasar yang luar biasa pula. Namun, kewenangan luar biasa KPK tersebut terhadang oleh jajaran institusi lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
Gerakan People's law
Sejak KPK berdiri, ekspektasi masyarakat begitu besar mengingat institusi kepolisian dan kejaksaan kurang memperoleh kepercayaan. Hukum rakyat (people's law), wujud kegigihan rakyat dalam perang melawan korupsi, telah mengilhami pernyataan Presiden untuk menolak pelemahan kewenangan KPK. Tak terhindarkan, baik DPR maupun kepolisian dan kejaksaan terkesan menempatkan KPK sebagai musuh bersama.
Tak pelak, ketika para elite politik dan oknum aparat pene gak hukum berkonspirasi hendak melemahkan KPK, people's law serentak menghadangnya tatkala hukum negara (state law) kurang efektif memihak kepentingan masyarakat. Dengan kebebasan berekspresi, masyarakat menyampaikan saran dan nasihat di kantor, kritik dan protes di media massa, dan demonstrasi di jalan-jalan, yang dimobilisasi secara efektif oleh tokoh-tokoh keagamaan, LSM, pimpinan perguruan tinggi, mahasiswa dan alumni, serta budayawan untuk menolak kebijakan politik dan hukum mengebiri kewenangan KPK.
Perlawanan people's law terhadap elite partai politik dan penegak hukum prokoruptor nyaris menimbulkan instabilitas nasional. Presiden segera hadir membuat pernyataan yang berpihak kepada masyarakat dan KPK.
Tidak sedikit cercaan dan hujatan timbul dari para pengacara yang selama ini menjadi pembela koruptor. Intervensi Presiden dipandang sebagai kebijakan bertentangan dengan KUHAP dan sumber hukum positif. Cara pandang para pengacara tersebut disayangkan karena dua hal. Pertama, mereka tidak menyadari bahwa kebijakan Presiden dibuat sebagai solusi yang dibutuhkan untuk tujuan men ciptakan kepastian hukum, mengingat konflik kewenang gan antara KPK dan Polri belum diatur secara jelas dengan undang-undang. Kedua, jika pun Presiden melakukan intervensi, pernyataan tersebut tidak mengganggu kemandirian pengadilan. Karena itu, pernyataan Presiden menjadi tepat dengan kebutuhan masyarakat.
Moral Politik Kebijakan Presiden
Secara teoretis, kebijakan bukan sekadar hak prerogatif presiden, melainkan juga pengadilan. Hal itu acap kali muncul dalam kondisi yang memang diperlukan. Watak peraturan hukum yang tidak sempurna acap kali melahirkan wilayah hukum abu-abu (grey area of law). Solusi cepat perlu dibuat agar kepastian hukum segera tercipta. John Rawls mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi ketika pemerintahan demokratis-konstitusional berhada pan dengan situasi krisis. Syarat itu ialah kewajiban memenuhi kepentingan dasar warga negara, kesamaan pemihakan atau simpati secara nasional, serta moral politik yang mendorong nilai kebenaran dan keadilan (John Rawls, The Law of Peoples, 2000: 23).
Di satu pihak, gerakan people's law sempat mengguncangkan arus perpolitikan Indonesia. Itu tidak mustahil dapat menimbulkan suasana chaos jika kepala negara tidak segera merespons untuk menciptakan kepastian hukum. Moral politik kebijakan presiden terjadi ketika e sensi kebenaran dan keadilan terakomodasi dan berkesesuaian dengan kehendak people's law.
Di lain pihak, kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 8 Oktober lalu, terbilang berani, tegas, dan piawai serta berimbas positif terhadap Komisi III DPR. Mengurungkan niat untuk mengamende men UU KPK dan menyetujui anggaran biaya gedung KPK merupakan bukti good will DPR. Keberpihakan Presiden menyatu dengan people's law sekaligus menunaikan kewajiban untuk mengabulkan tuntutan rakyat.
Sebelumnya, gelagat politik DPR untuk memperlemah peran KPK tidak dapat dimungkiri. Ketua DPR RI dan beberapa anggotanya mengusulkan `pembubaran jika KPK tidak mampu menangkap koruptor kelas kakap'. Ketidaksepahaman anggota DPR terhadap KPK dapat dikaitkan dengan fakta.
Dalam kenyataannya, DPR justru akan memangkas kewenangan lembaga superbodi KPK. Pasal-pasal terkait dengan penyelidikan dan penyidikan dikembalikan ke kepolisian. Penuntutan dikembalikan sebagai kewenangan untuk kejaksaan. Pasal kewenangan penyadapan pun harus mendapatkan izin dari pengadilan. Sejak instruksi presiden mengabulkan tuntutan people's law, KPK tampak jelas semakin kukuh.
Putusan pengadilan tipikor telah memenjarakan 40 anggota DPR RI dan 8 gubernur. Hal itu diperparah fakta kebanyakan ruling parties, seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat, yang dipenjarakan. Bila instruksi presiden dikeluarkan dan menyatu dengan people's law, sangat masuk akal ketika kekuasaan legislatif sebagai ancaman paling berbahaya.
Ketika Komisi III DPR bermaksud mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk penyempurnaan fungsi KPK, hal itu tidak mudah ditolak.
Kemandirian KPK
Dengan people's law dan campur tangan Presiden, ekspektasi masyarakat terhadap KPK semakin tinggi. Kewenangan mereka semakin legitimate karena segala bentuk upaya konspiratif melemahkan KPK telah mendapatkan perlawanan. Saatnya KPK membangun kemandirian. Dukung-men dukung, termasuk campur tangan Presiden, sepertinya cukuplah sudah. Jika tidak, KPK akan terus bersifat kekanak-kanakan.
Dukungan kemandirian KPK semakin terbuka lebar. Sejak Putusan MK No 73/PUUIX /2011 dikeluarkan, tidak ada lagi izin presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang bermasalah. Sesuai dengan yurisdiksi masing-masing, kepolisian, kejaksaan, dan KPK dapat melakukan proses hukum secara lebih cepat dan kecenderungan untuk tebang pilih semakin tertutup.
Ekspektasi masyarakat terhadap KPK tampaknya bukan sekadar kewajiban lembaga tersebut merespons secara cepat, tepat, dan berani dalam menuntaskan kasus bailout Bank Century dan kasus Hambalang. Masyarakat juga berjuang agar KPK memperoleh yurisdiksi kewenangan lebih fokus. Dalam upaya mencegah tarik ulur kasus antara polisi dan kejaksaan, perlu menjadi catatan jika KPK ke depan diberi kewenangan penuh mengusut aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim. Kendala struktural dan historis KPK selama ini ialah timbulnya konflik kepentingan di antara institusi penegak hukum. Itu tidak mudah ditengahi meskipun presiden dimungkinkan mengeluarkan kebijakan.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK harus benar-benar digunakan KPK untuk membuktikan diri sebagai lembaga superbodi yang mandiri. Keberhasilan people'law dan kebijakan Presiden tidak hanya berdampak bagi pihak Polri, tetapi juga bagi DPR yang telah mendengar aspirasi rakyat, yaitu bersama-sama KPK berperang melawan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar