People’s Law
dan Presiden Perangi Koruptor
Jawahir Tonthowi ; Guru Besar dan Direktur CLDS Fakultas
Hukum UII
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Oktober 2012
KOMITMEN masyarakat
Indonesia terhadap perang melawan korupsi tidak akan pernah redup. Kejahatan
korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah menimbulkan pemiskinan masyarakat
dan negara secara sistemis. Tidak hanya mentalitas sumber daya manusia yang
rusak, sumber daya alam pun turut hancur akibat praktik korupsi. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) lahir berdasarkan UU No 30 Tahun 2002, dengan melekat
kewenangan dasar yang luar biasa pula. Namun, kewenangan luar biasa KPK
tersebut terhadang oleh jajaran institusi lain seperti kepolisian dan
kejaksaan.
Gerakan People's law
Sejak KPK berdiri,
ekspektasi masyarakat begitu besar mengingat institusi kepolisian dan
kejaksaan kurang memperoleh kepercayaan. Hukum rakyat (people's law), wujud
kegigihan rakyat dalam perang melawan korupsi, telah mengilhami pernyataan
Presiden untuk menolak pelemahan kewenangan KPK. Tak terhindarkan, baik DPR
maupun kepolisian dan kejaksaan terkesan menempatkan KPK sebagai musuh
bersama.
Tak pelak, ketika para
elite politik dan oknum aparat pene gak hukum berkonspirasi hendak melemahkan
KPK, people's law serentak menghadangnya tatkala hukum negara (state law)
kurang efektif memihak kepentingan masyarakat. Dengan kebebasan berekspresi,
masyarakat menyampaikan saran dan nasihat di kantor, kritik dan protes di
media massa, dan demonstrasi di jalan-jalan, yang dimobilisasi secara efektif
oleh tokoh-tokoh keagamaan, LSM, pimpinan perguruan tinggi, mahasiswa dan
alumni, serta budayawan untuk menolak kebijakan politik dan hukum mengebiri
kewenangan KPK.
Perlawanan people's
law terhadap elite partai politik dan penegak hukum prokoruptor nyaris
menimbulkan instabilitas nasional. Presiden segera hadir membuat pernyataan
yang berpihak kepada masyarakat dan KPK.
Tidak sedikit cercaan
dan hujatan timbul dari para pengacara yang selama ini menjadi pembela
koruptor. Intervensi Presiden dipandang sebagai kebijakan bertentangan dengan
KUHAP dan sumber hukum positif. Cara pandang para pengacara tersebut
disayangkan karena dua hal. Pertama, mereka tidak menyadari bahwa kebijakan
Presiden dibuat sebagai solusi yang dibutuhkan untuk tujuan men ciptakan
kepastian hukum, mengingat konflik kewenang gan antara KPK dan Polri belum
diatur secara jelas dengan undang-undang. Kedua, jika pun Presiden melakukan
intervensi, pernyataan tersebut tidak mengganggu kemandirian pengadilan. Karena
itu, pernyataan Presiden menjadi tepat dengan kebutuhan masyarakat.
Moral Politik Kebijakan Presiden
Secara teoretis,
kebijakan bukan sekadar hak prerogatif presiden, melainkan juga pengadilan.
Hal itu acap kali muncul dalam kondisi yang memang diperlukan. Watak
peraturan hukum yang tidak sempurna acap kali melahirkan wilayah hukum
abu-abu (grey area of law). Solusi cepat perlu dibuat agar kepastian hukum
segera tercipta. John Rawls mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi ketika
pemerintahan demokratis-konstitusional berhada pan dengan situasi krisis. Syarat
itu ialah kewajiban memenuhi kepentingan dasar warga negara, kesamaan
pemihakan atau simpati secara nasional, serta moral politik yang mendorong
nilai kebenaran dan keadilan (John Rawls, The Law of Peoples, 2000: 23).
Di satu pihak, gerakan
people's law sempat mengguncangkan arus perpolitikan Indonesia. Itu tidak
mustahil dapat menimbulkan suasana chaos jika kepala negara tidak segera
merespons untuk menciptakan kepastian hukum. Moral politik kebijakan presiden
terjadi ketika e sensi kebenaran dan keadilan terakomodasi dan berkesesuaian
dengan kehendak people's law.
Di lain pihak,
kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 8 Oktober lalu, terbilang
berani, tegas, dan piawai serta berimbas positif terhadap Komisi III DPR.
Mengurungkan niat untuk mengamende men UU KPK dan menyetujui anggaran biaya
gedung KPK merupakan bukti good will DPR. Keberpihakan Presiden menyatu
dengan people's law sekaligus menunaikan kewajiban untuk mengabulkan tuntutan
rakyat.
Sebelumnya, gelagat
politik DPR untuk memperlemah peran KPK tidak dapat dimungkiri. Ketua DPR RI
dan beberapa anggotanya mengusulkan `pembubaran jika KPK tidak mampu
menangkap koruptor kelas kakap'. Ketidaksepahaman anggota DPR terhadap KPK
dapat dikaitkan dengan fakta.
Dalam kenyataannya,
DPR justru akan memangkas kewenangan lembaga superbodi KPK. Pasal-pasal
terkait dengan penyelidikan dan penyidikan dikembalikan ke kepolisian. Penuntutan
dikembalikan sebagai kewenangan untuk kejaksaan. Pasal kewenangan penyadapan
pun harus mendapatkan izin dari pengadilan. Sejak instruksi presiden
mengabulkan tuntutan people's law, KPK tampak jelas semakin kukuh.
Putusan pengadilan
tipikor telah memenjarakan 40 anggota DPR RI dan 8 gubernur. Hal itu
diperparah fakta kebanyakan ruling parties, seperti Golkar, PDIP, dan
Demokrat, yang dipenjarakan. Bila instruksi presiden dikeluarkan dan menyatu
dengan people's law, sangat masuk akal ketika kekuasaan legislatif sebagai
ancaman paling berbahaya.
Ketika Komisi III DPR bermaksud mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk penyempurnaan fungsi KPK, hal itu tidak mudah ditolak.
Kemandirian KPK
Dengan people's law
dan campur tangan Presiden, ekspektasi masyarakat terhadap KPK semakin
tinggi. Kewenangan mereka semakin legitimate karena segala bentuk upaya
konspiratif melemahkan KPK telah mendapatkan perlawanan. Saatnya KPK
membangun kemandirian. Dukung-men dukung, termasuk campur tangan Presiden,
sepertinya cukuplah sudah. Jika tidak, KPK akan terus bersifat kekanak-kanakan.
Dukungan kemandirian
KPK semakin terbuka lebar. Sejak Putusan MK No 73/PUUIX /2011 dikeluarkan,
tidak ada lagi izin presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala
daerah yang bermasalah. Sesuai dengan yurisdiksi masing-masing, kepolisian,
kejaksaan, dan KPK dapat melakukan proses hukum secara lebih cepat dan
kecenderungan untuk tebang pilih semakin tertutup.
Ekspektasi masyarakat
terhadap KPK tampaknya bukan sekadar kewajiban lembaga tersebut merespons
secara cepat, tepat, dan berani dalam menuntaskan kasus bailout Bank Century
dan kasus Hambalang. Masyarakat juga berjuang agar KPK memperoleh yurisdiksi
kewenangan lebih fokus. Dalam upaya mencegah tarik ulur kasus antara polisi
dan kejaksaan, perlu menjadi catatan jika KPK ke depan diberi kewenangan
penuh mengusut aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim. Kendala
struktural dan historis KPK selama ini ialah timbulnya konflik kepentingan di
antara institusi penegak hukum. Itu tidak mudah ditengahi meskipun presiden
dimungkinkan mengeluarkan kebijakan.
Tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap KPK harus benar-benar digunakan KPK untuk
membuktikan diri sebagai lembaga superbodi yang mandiri. Keberhasilan
people'law dan kebijakan Presiden tidak hanya berdampak bagi pihak Polri,
tetapi juga bagi DPR yang telah mendengar aspirasi rakyat, yaitu bersama-sama
KPK berperang melawan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar