Iran dan Sikap
Keras Rezim Suriah
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society
for Middle East Studies
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Oktober 2012
REVOLUSI di Suriah
telah berubah menjadi perang sektari an antara kelompok mayoritas Sunni dan
sekte minoritas Syiah Alawiyah yang mendominasi rezim Suriah pimpinan
Presiden Bashar al-Assad. Konflik bahkan mulai meluas setelah pasukan rezim
Suriah menembakkan mortir ke wilayah Turki yang menewaskan lima warga Turki. Turki
pun membalas dengan serangan yang lebih intensif ke pos-pos militer Suriah di
dekat perbatasan yang menewaskan dan mencederai beberapa personel militer
Suriah. Insiden tersebut membuat Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO)--Turki adalah anggota mereka--menyatakan siap membantu Turki. Sikap
NATO tersebut direspons Iran dengan menyatakan akan melibatkan diri membantu
Suriah bila NATO menyerang sekutu mereka itu.
Sikap Iran itu kontroversial. Mengapa Teheran
bersiap mempertaruhkan segala untuk rezim yang, pertama, tidak memiliki
peluang untuk memenangi perang melawan NATO? Kedua, keterlibatan Iran di
Suriah juga akan menjadikan Iran sebagai sasaran serangan NATO yang akan
menghancurkan `Negeri para Mullah'.
Sebagaimana diketahui, NATO beranggotakan 28
negara, termasuk AS, Inggris, dan Prancis. Ketiga, Iran membela rezim yang
telah menewaskan sekitar 30 ribu kaum muslim--kebanyakan rakyat sipil tak
berdosa, termasuk wanita dan anak-anak-hanya untuk membela sekte Syiah
Alawiyah yang oleh Iran sendiri tidak lagi dianggap sebagai kaum muslim
karena mencampuradukkan doktrin Syiah, Hindu, dan Kristen.
Alawiyah merupakan kaum Syiah yang ekstrem,
dikenal sebagai ghulat, yang sistem keagamaannya berlainan dengan kaum Sunni
maupun Syiah Itsna Asyariah atau Syiah Imamiyah yang dipeluk mayoritas rakyat
Iran, Irak, Libanon, dan Bahrain. Ajaran paling fundamental dari sekte
tersebut ialah keesaan absolut Tuhan, tapi mereka tidak berupaya
mendefinisikan eksistensi atau atribut secara filosofis atau teologis. Mereka
percaya bahwa Tuhan muncul di bumi sebanyak tujuh kali d dalam bentuk manusia
dan d Ali merupakan manifestasi terakhir Tuhan serta realitas sempurna yang
mana manifestasi-manifestasi sebelumnya menemukan tujuan dan penyelesaian
akhir mereka.
Namun, Tuhan yang muncul dalam tujuh bentuk
memiliki tiga personalitas, sesuai dengan trinitas yang meliputi Ali, juga
berarti ma'na (arti), Muhammad (nama Tuhan), dan Salman al-Farisi (pintu
Tuhan). Ali Tuhan itu pencipta langit dan bumi. Ia juga menciptakan Muhammad
dan menugasinya menyampaikan risalah Alquran. Jadi, Muhammad tidak dapat
disamakan dengan Ali dalam ketuhanannya. Muhammad menduduki posisi yang lebih
rendah dalam trinitas.
Menyembah bentuk-bentuk cahaya merupakan
bagianbagian esensial dalam sistem keagamaan Alawiyah, yang mungkin datang
dari agama planet kaum Sabaean. Cahaya itu, yang disimbolkan matahari,
merupakan misteri Tuhan. Jadi, Ali dikelilingi cahaya dan bermukim di
matahari (syams). Mereka yang percaya ajaran itu disebut kaum syams. Namun,
kelompok qamar (bulan) percaya bahwa Ali Tuhan tinggal di bulan (qamar) dan
titik hitam yang tampak di bulan merupakan perwujudan Ali yang disembah, yang
membawa pedangnya yang terkenal bernama zulfikar.
Salah satu doktrin unik kaum Alawiyah
menyangkut hierarki spiritual. Mereka percaya terdapat dunia yang tak
terhitung banyaknya yang diketahui Tuhan. Mereka percaya pada reinkarnasi
manusia, binatang, dan tumbuhan. Ketika meninggal, orang Alawiyah yang baik
akan masuk ke tubuh orang lain, sedangkan yang bejat akan masuk ke tubuh yang
najis atau binatang pemangsa. Kaum Alawi yah sangat tertutup, menolak
memaparkan keyakinan mereka kepada orang asing. Mereka meyakini taqiyah untuk
memercayai prinsip-prinsip agama kuno mereka, khususnya keyakinan pada hal
buruk dan baik yang dilambangkan gelap dan terang. Itu bergantung pada
interpretasi alegori atas Alquran dan hadis Nabi Muhammad. Karena alasan itu,
yang masuk ke misterimisteri mazhab ini merupakan upacara paling penting,
yang mungkin bersumber dari sufisme dan Hikmat al-Isyraq (neoplatonisme).
Alawiyah merayakan banyak hari raya kaum
muslim, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Sama halnya dengan Syiah lain,
mereka merayakan hari Asyura untuk memperingati kesyahidan Imam Husain, putra
Ali, yang mereka pandang sebagai sesuatu yang ilahiah dan menyerupai
peristiwa penyaliban Yesus.
Mereka juga merayakan hari raya Persia, terutama Nowruz (Tahun Baru), karena
mereka percaya pada superioritas orang Persia atas orang Arab.
Mereka percaya, setelah orang Arab menolak Ali, ia muncul sebagai ma'na dalam
diri rajaraja Sasaniyah Persia. Mereka juga merayakan beberapa hari raya
Kristen, termasuk pengungkapan Yesus sebagai juru selamat. Alawiyah juga
merayakan misa, termasuk penahbisan roti dan anggur, tentu dalam konteks
Syiah. Dalam misa, misteri besar Tuhan ialah sakramen daging dan darah yang
diberikan Yesus kepada murid-muridnya pada perjamuan terakhir. Namun,
Alawiyah meyakini bahwa misteri cahaya adalah Ali sang cahaya, yang
termanifestasi dalam anggur.
Tadinya kaum Alawiyah hidup terpencil di
gunung-gunung. Pada abad ke-19, karena kondisi hidup yang sulit, mereka yang
kebanyakan petani mulai meninggalkan permukiman-permukiman mereka dan mencari
kerja di bagian lain di Suriah. Kebanyakan dari mereka melakukan kerja kasar
dan dipandang rendah oleh kaum Sunni. Pada waktu Perang Dunia I, Prancis
menduduki Suriah dan pada 1922 mereka mendirikan Dawlat al-Alawiyin untuk
kaum Alawiyah.
Di bawah mandat Prancis, banyak pemuda
Alawiyah menjadi tentara Suriah, sedangkan kelompok Sunni yang membenci
imperialis Prancis menghindari wajib militer. Ketika Partai Sosialis Arab
(Ba'ats) dibentuk pada 1940an, banyak kaum Alawiyah bergabung di dalamnya.
Pada pertengahan 1960-an mereka menduduki posisi-posisi penting baik dalam
ketentaraan maupun pemerintahan. Pada 1970, Hafez al-Assad, ayah presiden
Suriah saat ini dan perwira tinggi militer pertama dari Alawiyah, melakukan
kudeta. Pada Februari 1971, ia menjadi presiden pertama Suriah dari kelompok
Alawiyah.
Dengan realitas tersebut, bisa dipahami bila
rezim Assad dan pendukung Alawiyahnya tetap gigih mempertahankan diri.
Jatuhnya rezim Assad akan membawa konsekuensi terpinggirkannya kaum Alawiyah
yang hanya 10% dari total penduduk Suriah yang 22 juta jiwa, sebagaimana yang
terjadi di Irak ketika kaum Sunni yang minoritas terpinggirkan setelah
jatuhnya rezim Saddam Hussein. Ngototnya Iran menyokong rezim Assad bukan
hanya untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan antara Iran dan Arab, serta
Iran dan Israel, melainkan juga karena faktor Alawiyah.
Hubungan Turki-Suriah kini
makin memanas. Sekiranya kedua negara itu berperang-NATO akan berada di
belakang Turki dan Iran memihak Suriah secara langsung--perang besar Timur
Tengah akan pecah karena akan menyeret negara-negara Arab, serta mungkin juga
Israel akan masuk ke kobaran api perang. Tentu saja Liga Arab akan berpihak
kepada Turki dan NATO. Toh, selama ini pemainpemain utama Arab seperti Mesir
dan Arab Saudi telah berkali-kali meminta Assad mundur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar