Selasa, 16 Oktober 2012

Pangan dan Hidup Matinya Bangsa


Pangan dan Hidup Matinya Bangsa
Abdul Halim ;  Koordinator Program Kiara,
Koordinator Pokja Perikanan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) 
SINDO, 16 Oktober 2012
 

“Dengan menampilkan yang terbaik dari kreativitas (olahan pangan) dan masakan Amerika Serikat, kita dapat menunjukkan kepada tamu mengenai siapa diri kita.” (Hillary Rodham Clinton)

Pangan bukan sekadar pengisi perut, melainkan juga perangkat lunak diplomasi kepentingan negara-bangsa. Lewat kreativitas olahan pangan dan masakan, kesukaran diplomasi di meja-meja perundingan dapat diselesaikan. Hillary Clinton mengisahkan pengalamannya lewat pernyataan, “Better and more effective diplomacy can happen around a dining table than at a conference table.

”Pengalaman ini pula yang penulis alami saat menghadiri konferensi regional dan internasional. “Soto betawi enak sekali,” ujar seorang teman dari Filipina dan Inggris sembari menyepakati rencana kerja sama penguatan nelayan tradisional. Sejak saat itu,mereka terus menanyakan pangan lokal khas Jakarta itu tiap kali datang berkunjung.

Terseret Impor

Kekayaan sumber pangan Republik Indonesia membentang luas: dari puncak gunung hingga samudra. Dengan anugerah itu,apa yang dikhawatirkan oleh Bung Karno saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian di Bogor pada tanggal 27 April 1952 mestinya sudah teratasi. Setidaknya ditunjukkan melalui menyusutnya ketergantungan pangan domestik kepada pasokan impor. Enam puluh tahun kemudian, negeri sepanjang Teheran hingga London ini justru masih terseret arus impor pangan.

Sebutlah kedelai sebanyak 1,90 juta ton (2010) menjadi 1,95 juta ton (2012); gandum sebanyak 6,6 juta ton (2010) menjadi 7,4 juta ton (2012); beras sebanyak 1,95 juta ton (2012); jagung sebanyak 2 juta ton (2012), daging setara dengan 900.000 sapi per tahun; dan indukan ayam sebanyak 900.000 ekor per tahun (Aliansi untuk Desa Sejahtera,2012). Lebih ironis lagi, ikan pun harus kita impor. Pusat Data dan Informasi KIARA (2012) menemukan angka impor ikan segar/beku naik drastis sebesar 53,61%: dari 42,891 ton (2007) menjadi 226,000 ton (2011).


Tingginya angka impor ikan segar/beku ini dipicu oleh ekspor perikanan dalam bentuk gelondongan bahan baku, seperti udang, tuna, tongkol, dan cakalang, yang notabene dibutuhkan oleh industri pengolahan ikan dalam negeri.Akibatnya, sentra industri perikanan nasional menutup usahanya dan bahkan gulung tikar karena kelangkaan stok bahan baku: dari 10 sentra pada tahun 2008 tersisa 2 sentra tahun 2010.

Hal ini berdampak pula terhadap hak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi lebih dari 6,2 juta tenaga kerja pengolahan dan pemasaran produk perikanan nasional. Padahal, Pasal 25B ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan, “Pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luarnegeridilakukanapabila produksi dan pasokan di dalam negeri telahmencukupikebutuhan konsumsi nasional”.

Pada titik inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan mengabaikan amanah undang-undang. Pengabaian mandatun dangundang ini membawa dampak lanjutan,yakni: Pertama, terus menurunnya tingkat pendapatan keluarga nelayan. Kedua, saat pendapatan keluarga nelayan menurun, perempuan nelayan harus mengalokasikan waktu sebanyak 17 jam sehari untuk menghasilkan pendapatan alternatif keluarga nelayan.

Dalam penelitian KIARA (2011) sebanyak 48% pendapatan keluarga nelayan adalah jerih payah dan peluh perempuan nelayan. Ketiga, keamanan pangan (perikanan) menjadi kurang terawasi, padahal tingkat konsumsi dalam negeri terus meningkat: 26 kg/orang/tahun (2007) menjadi 31,64 kg/orang/tahun (2011). Hal ini berakibat pada kemungkinan tingginya pasokan konsumsi dalam negeri dipenuhi dari kuota impor.

Bukan hanya ikan, untuk urusan penyedap rasa masakan pun,pemerintah lebih mempercayai garam produk asing ketimbang produk lokal,di antaranya Australia sebanyak 928 ribu ton atau senilai USD47,3 juta sepanjang Januari hingga Juni 2012; India sebanyak 356,2 juta ton atau senilai USD16,3 juta; Selandia baru sebanyak 768 ton atau senilai USD285,7 ribu sepanjang semester I-2012; China sebanyak 3.020 ton atau senilai USD231,9 ribu; dan Jerman sebanyak 117 tonatausenilaiUSD145ribudari Januari hingga Juni 2012.

Sungguh ironis! Negeri yang memiliki panjang pantai 95.181 kilometer harus mengimpor garam dari Jerman,negara yang hanya memiliki garis pantai sepanjang 924 kilometer. Padahal, negara melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp107 miliar untuk program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) di tahun 2012 dengan target produksi sebanyak 1,3 juta ton.Pertanyaannya, kenapa harus impor? Maraknya peredaran garam impor di pasaran jelas mematikan harga garam petani lokal. Di Sumenep, misalnya, harga garam rakyat saat ini hanya dibeli Rp250 per kg untuk kw 2.

Padahal harga kw 2 yang ditentukan pemerintah Rp550/kg dan kw 1 Rp750/kg.Anjloknya harga garam memicu protes besar-besaran. Ratusan petani garam di Sumenep,Jawa Timur, protes atas rendahnya harga garam.Protes itu dilakukan dengan aksi menabur sebanyak seratus karung atau 50 ton garam mulai dari pintu gerbang masuk kota Sumenep hingga depan kantor DPRD Sumenep, Rabu (12/9/2012). Protes serupa juga berlangsung di sentra produksi garam rakyat lainnya.

Ubah Paradigma

Tingginya ketergantungan pangan domestik kepada pasokan impor disebabkan oleh: Pertama, pereduksian makna pangan sebatas beras.Padahal, negeri ini memiliki ubi, singkong, sagu,sukun,dan beragam pangan lokal lainnya sebagai sumber karbohidrat. Kedua, sikap dan perilaku elite politik yang mengabaikan pelaksanaan kewajiban negara untuk melindungi penghasil pangan skala kecil (nelayan, petani,pekebun,peternak,dan sebagainya).

Selama ini kebijakan pangan diarahkan untuk meningkatkan produksi,tanpa pernah membicarakan peningkatan kesejahteraan produsen pangan skala kecil. Padahal, merekalah ujung tombak utama dalam penyediaan pangan nasional. Ketiga, alih fungsi lahan pangan untuk permukiman dan sebagainya, disertai perampasan tanah dan (per)air(an) untuk produksi pangan skala besar. Hal ini terlihat dari pelbagai kebijakan untuk meliberalisasi sektor pangan melalui pembukaan ruang investasi skala besar.

Terlebih Bank Dunia (2010) telah melansir seluas 445 juta hingga 1,7 triliun hektar tanah dan perairan cocok untuk dikembangkan menjadi lokasi pertanian (perikanan dan perkebunan) skala besar. Ketiga hal di atas mutlak harus dituntaskan. Diplomasi kedaulatan pangan adalah jalan mulia di tengah menjamurnyakredo“ ketahanan pangan”.

Momentum Hari Pangan Sedunia yang jatuh tiap tanggal 16 Oktober 2012 dapat dijadikan sebagai wahana membulatkan tekad—meminjam ungkapan Bung Karno—membangun Indonesia baru yang badannya sehat-kuat karena berdaulat dan cukup pangan; jiwanya dinamis-tangkas dan perkasa karena terlepas dari ikatan-ikatan lama yang membelenggunya ribuan tahun. Ingat, pangan adalah perkara hidup-mati sebuah bangsa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar