Selasa, 16 Oktober 2012

KPK dan Nalar Publik


KPK dan Nalar Publik
Amich Alhumami ;  Antropolog, Menulis Disertasi PhD bertajuk “Political Power,
Corruption and Anti-Corruption in Modern Indonesia” di University of Sussex,
United Kingdom
   
SINDO, 16 Oktober 2012
 

Dalam menghadapi serangan beruntun dan gempuran hebat—terbuka maupun terselubung— yang bertujuan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dukungan justru mengalir secara bergelombang dari berbagai elemen masyarakat: akademisi,intelektual,pemuka agama,penggerak antikorupsi, LSM,artis,seniman,dan aktivis sosial-politik.

Mereka tak ingin membiarkan KPK—pilar utama dan tumpuan dalam pemberantasan korupsi—sendirian melawan persekongkolan jahat untuk melumpuhkannya. Dukungan publik yang demikian luas ini menjadi pertanda bahwa akal sehat masyarakat masih bekerja dengan baik.Di tengah usaha keras dalam memberantas korupsi yang sudah menjadi kankerganas,KPKterus-menerus diganggu, bahkan dilemahkan melalui langkah-langkah terencana dan sistematis. Beruntung, masyarakat sangat sensitif dan mudah tergugah untuk mendukung dan membela KPK bila lembaga antikorupsi ini dirongrong oleh pihak-pihak yang kepentingannya terganggu.

Dukungan dan pembelaan ini didasarkan pada apa yang disebut the logic of the public (nalar publik). Nalar publik adalah kesadaran kritis kelompok orang dalam melihat suatu gejala sosial yang berkembang di tengahtengah masyarakat. Bersandar pada gabungan common intuition-common sense, publik dapat melihat, menimbang, dan menilai apakah suatu peristiwa atau kejadian yang berlangsung di masyarakat dapat dicerna oleh penalaran yang logis dan sesuai dengan akal sehat.Nalar publik secara natural akan melakukan koreksi bilamana suatu peristiwa atau kejadian dianggap tak masuk akal dan tak sesuai dengan penalaran yang logis.

Nalar publik ini lazim digerakkan oleh sekumpulan critical mass yang terdiri atas kelas menengah terdidik dengan kemampuan artikulasi tinggi sehingga mereka dapat menyuarakan sikap kritis di ruang publik.Dengan bantuan media massa dan media sosial, suara kritis yang merepresentasikan nalar publik makin bergema luas dengan resonansi politik sangat kuat. Namun,penting dicatat,nalar publik tidak berhenti hanya sebatas—meminjam dalil Rene Descartes—cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) dalam bentuk sikap kritis di ruang publik.

Nalar publik bergerak melampaui kesadaran kognitif ketika cogito ergo sum ditransformasikan menjadi respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, maka aku ada). Di sini, respondeo ergo sum diwujudkan menjadi aksi nyata dan tindakan bersama yang dibangun atas dasar— meminjam istilah Emile Durkheim—collective consciousness untuk mencapai kepentingan bersama dan kemaslahatan umum.

Tindakan kolektif itu sesungguhnya merupakan respons terhadap suatu peristiwa yang menurut pertimbangan akal sehat dapat berakibat buruk bagi masyarakat atau dapat mencederai kepentingan kolektif di masyarakat. Jadi tindakankolektifituberbasispada dan dipandu oleh apa yang disebut public reasoning yang berorientasi pada public interest (lihat Mancur Olson,The Logic of Collective Action,1995). Dalam perspektif inilah kitadapat memahami mengapa masyarakat selalu berpihak kepada dan membela KPK setiap kali ada upaya melemahkan dan mengerdilkannya.

Pemihakan ini dengan jelas terlihat dalam kasus “cicak vs buaya” dua tahun lalu, sengketa kewenangan KPK-Polri dalam penanganan skandal korupsi simulator uji mengemudi, dan inisiatif DPR merevisi UU KPK. Suara-suara dukungan kepada KPK yang bergema luas melalui aksi sosial,demonstrasi massa, celotehan di media sosial,dan kritik terbuka di media massa merupakan penjelmaan dari respondeo ergo sum. Kesemuanya itu merupakan bentuk reaksi publik yang merasa terpanggil untuk menunaikan tanggung jawab moral dengan cara mengoreksi sesuatu yang dianggap menyimpang.

Dalam konteks ini, nalar publik berfungsi sebagai alat kontrol ketika publik membangun argumen tandingan terhadap pikiran- pikiran yang tidak masuk akal dan absurd atau bilamana publik merasa dan menilai ada hal yang janggal dan ganjil dalam suatu peristiwa. Hal-hal yang ganjil itu tampak jelas pada sikap anggota DPR yang bersikukuh melakukan revisi UU KPK yang sejatinya hendak memereteli kewenangan KPK.

Di mata publik, kehendak untuk merevisi UU KPK hanya manifestasi kepongahan DPR dalam melakukan power exercise atas nama hak dan otoritas politik yang dijamin konstitusi. Dalam banyak kasus, DPR memang sering kali melakukan power exercise meskipun berlawanan dengan aspirasi rakyat. Hanya gelombang protes berskala besar dan berspektrum luas—yang merefleksikan kemarahan publik—sajalah yang dapat menghentikan langkah DPR yang sangat tidak aspiratif itu.

Saksikan,nalar publik telah berhasil menyelamatkan KPK dari dua kali upaya the dirty hands untuk melakukan demoralisasi spirit pemberantasan korupsi dan—jika berhasil— akan membonsai bahkan bila perlu menghancurkannya. Yang pertama kasus kriminalisasi Bibit-Chandra dan yang kedua konflik kelembagaan dalam penanganan skandal korupsi simulator uji mengemudi serta upaya kriminalisasi penyidik KPK.

Sungguh menyedihkan, kedua peristiwa ini melibatkan kepolisian, sebuah institusi penegak hukum yang telanjur bercitra buruk dan dipersepsikan publik sebagai salah satu lembaga paling korup. Kita patut bersyukur, nalar publik mampu menjadi instrumen yang sangat efektif dalam mengendalikan power game tingkat tinggi, yang dimainkan oleh gabungan politisi korup, aparatusnegarakorup,danelite predator.Publik dengan cerdas membaca, agenda tunggal the saga of power game ini adalah: melumpuhkan gerakan pemberantasan korupsi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar