Selasa, 16 Oktober 2012

Mitos Produk Rekayasa Genetik


Mitos Produk Rekayasa Genetik
Tejo Wahyu Jatmiko ;  Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera;
Berfokus pada Isu Pangan dan Pedesaan
KORAN TEMPO, 15 Oktober 2012



"Produk Rekayasa Genetik Sebagai Realitas Dunia", demikian judul kolom Agus Pakpahan, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKHPRG), di Koran Tempo edisi 2 Oktober 2012. Dilihat dari tata waktu, tulisan tersebut merupakan reaksi dari berita yang muncul di media dua minggu terakhir ini. Dengan seluruh data dan referensi, Agus mencoba menjelaskan soal keputusan KKHPRG yang meloloskan keamanan pakan jagung transgenik Bt Mon dan RR. Intinya bahwa semua itu sebuah keniscayaan, realitas yang tidak bisa dihindari. 
Penggambaran kedigdayaan produk rekayasa genetik (PRG) demikian terperinci, mulai perkembangan luas, dampak ekonomi, hingga alasan ilmiah mengapa PRG harus diterima. Termasuk di dalamnya menggunakan Uni Eropa sebagai penguat alasan, karena selama ini mereka dianggap sebagai penentang. Bangunan logika tersebut menggiring kesimpulan bahwa, apabila Indonesia tidak menggunakannya, kita akan menjadi bangsa yang tidak punya ketahanan pangan yang kuat, kualitas lingkungan yang hebat, berkecukupan energi, dan mempunyai petani yang sejahtera. Benarkah demikian? Untuk melihat secara kritis, ada baiknya pesan Sukarno, Presiden RI pertama, dihayati. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah)." 
Lebih dari 10 tahun silam negeri ini pernah diberi kado istimewa oleh Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Pada 7 Februari 2001, Menteri Pertanian mengeluarkan SK Nomor 107/ Kpts/ KB.403/2/2001 tentang pelepasan secara terbatas kapas PRG Bt DP 5690 B sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard). Perlu juga dicatat bahwa, saat itu, Agus Pakpahan merupakan Direktur Jenderal Perkebunan yang bertanggung jawab dalam urusan peningkatan produksi perkebunan, termasuk kapas di dalamnya. Surat keputusan ini mendapat perlawanan dari organisasi non-pemerintah (ornop), karena dianggap tergesa-gesa lantaran tidak melalui pengujian serta melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup. 
Perdebatan yang muncul dalam diskusi publik ataupun media akhirnya berpindah ke jalur pengadilan. Lebih dari tiga tahun keputusan Menteri Pertanian tersebut diuji, mulai di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sampai kasasi di Mahkamah Agung. Persidangan ini menarik, karena masuknya intervensi perusahaan dan petani, sehingga posisi satu lawan tiga, antara ornop di satu pihak dan pemerintah, Monagro Kimia sebagai investor dan petani yang pro-PRG di pihak lain. Hasilnya, sudah dapat diduga, gugatan ornop dikalahkan. 
Fakta dan putusan persidangan bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. Dampak lingkungan, termasuk di dalamnya sosial, ekonomi, dan budaya dari komersialisasi kapas PRG yang didalilkan oleh ornop, terbukti. Meski ditutupi dengan dukungan kebijakan yang kompak, pengorganisasian petani dan ornop pendukung, serta dari para pakar PRG, data lapangan berkata lain. Ketika dikampanyekan, lahan kapas PRG ini akan menghasilkan 3-4 ton per hektare, bahkan dijanjikan lima kali panen dan bisa membawa petani ke Mekah. Nyatanya, data dari Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa 74 persen lahan menghasilkan kurang dari 1 ton per ha. Bukannya benih kapas PRG-nya ditarik, justru petani yang disalahkan karena tidak menaati aturan perusahaan. Tragis, sudah mengalami kegagalan, masih disalahkan pula.
Alih-alih mencabut, Menteri Pertanian terus memperpanjang izin penanaman hingga 2003, meski benih kapas PRG tersebut bukan benih unggul seperti yang dicantumkan dalam surat keputusannya. Baru setelah Monagro Kimia mengibarkan bendera putih, Menteri patuh. Tinggallah petani kapas di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan sendirian memikirkan mimpinya yang hilang untuk menjadi haji mabrur seperti yang dijanjikan. Kapas yang dijanjikan tahan hama pun ternyata salah sasaran, sehingga serangan hama tetap membuat sang kapas unggul tidak bisa bertahan. Sedangkan bukti lain hasil penelitian mahasiswa tingkat magister IPB yang menemukan adanya kontaminasi gen pada kapas lokal di sekitar lahan kapas PRG pun dibungkam secara sistematis.
Belakangan, terbukti ketergesaan itu mengandung bau amis suap dan korupsi. Departemen Kehakiman Amerika Serikat menemukan fakta bahwa Monsanto menyuap lebih dari US$ 700 ribu kepada pejabat di Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup, dan pihak lain. Suap itu membuktikan ada pelanggaran dari ketentuan yang berlaku. Sayang, temuan dan fakta ini tidak ditindaklanjuti di Indonesia. 
Setelah lebih 10 tahun, catatan-catatan tersebut seperti dilupakan. Dengan sederet alasan pembenar, kembali pemerintah membuat keputusan yang tergesa-gesa. Menjaga ketahanan pangan adalah amanat, dan mewujudkannya adalah kewajiban. Sahih selama tujuannya adalah mensejahterakan rakyat dan melindungi bumi Indonesia. Namun, apabila keputusan yang dibuat untuk sekadar menghamba kepada investor, apalagi sampai menabrak aturan, sungguh disesalkan.
Produk PRG merupakan produk hasil teknologi tinggi yang dimiliki korporasi multinasional dan dilindungi aturan Hak atas Kekayaan Intelektual. Karena hal itu memiliki potensi dampak negatif, hampir seluruh dunia sepakat mengaturnya melalui Protokol Kartagena. Indonesia telah meratifikasinya pada 2006. Prinsip yang penting dari protokol adalah dianutnya Prinsip Kehati-hatian, Partisipasi Publik, serta Kajian Sosial-Ekonomi dan Budaya. Prinsip Kehati-hatian mengamanatkan bahwa ketiadaan bukti ilmiah tidak boleh membuat negara tidak melakukan tindakan untuk melindungi lingkungan. Ini berarti negara berdaulat untuk menyatakan menolak PRG, meski data ilmiah belum mencukupi, demi melindungi diri dari dampak lingkungan yang tidak terpulihkan.
Adapun partisipasi publik merupakan syarat mutlak untuk memutuskan, karena publiklah yang akan menanggung seluruh risiko dari komersialisasi PRG, baik sebagai produsen maupun konsumen. Tercakup di dalamnya adalah kajian mendalam tentang sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. 
Setelah belajar dari ketergesa-gesaan dan ketiadaan payung hukum yang mengatur produk rekayasa genetik, Indonesia melangkah maju dengan berupaya membuat aturan. Namun tarik-ulur kepentingan terus terjadi. Dengan alasan lebih murah, dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Meski dikritik lemah dalam substansi, miskin akuntabilitas, dan lemah daya penegakannya, pemerintah tetap melaju. Beruntung, setelah kasus suapnya terungkap, banyak pihak yang jeri dan tiarap, sehingga tidak ada produk transgenik yang dilepas. Rupanya, semua itu hanya menunggu waktu, di mana saat bangsa ini sudah lupa pada dampak yang harus ditanggung dalam komersialisasi PRG.
Ada instrumen lain, yakni UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Prinsip kehati-hatian tercantum dan menjadi salah satu prinsip dalam melindungi lingkungan. Penerjemahan prinsip ini secara detail dicantumkan dalam pasal-pasal pencegahan dan perlindungan, di mana analisis mengenai dampak lingkungan menjadi instrumen izin lingkungan, baik dalam uji maupun usaha yang terkait dengan produk PRG. Sanksi, pidana dan perdata, akan dijatuhkan kepada siapa pun pencemar atau perusak lingkungan, baik kepada pengusaha maupun pejabat pemerintah terkait. 
Sayang, masyarakat, sebagai produsen dan konsumen utama negeri, terus dilupakan, terutama saat negara mengambil kebijakan baru, seperti proses komersialisasi PRG. Bangsa ini sering lupa, dalam konstitusi disebutkan bahwa didirikannya negara RI bertujuan mensejahterakan rakyat dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan hanya mengkaji dokumen keamanan pakan, pangan, dan lingkungan dari perusahaan pengusul, pemerintah tidak melindungi lingkungan dan mensejahterakan masyarakat. Ini berarti pemerintah telah menabrak aturan dan konstitusi. Kebijakan tersebut harus segera dikoreksi, sebelum ada korban jatuh, seperti 10 tahun yang lalu. 
Bangsa ini pun sudah terlalu lama melupakan petani. Sungguh kezaliman apabila petani tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan, termasuk soal komersialisasi PRG yang akan dilakukan. Pernahkah petani ditanya apakah mereka membutuhkan PRG? Pernahkah dijelaskan bahwa PRG ini akan menimbulkan ketergantungan dan potensi penindasan, karena sifatnya yang monopolistik? Pernahkah dijelaskan risiko yang harus mereka tanggung, termasuk risiko lingkungan dan sosial-ekonomi? Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah yang diberi mandat untuk melaksanakan amanat konstitusi.
Saatnya bangsa ini membangun kedaulatan pangan dengan masyarakat sebagai pusatnya. Bukan malah terus membangun mitos-mitos seperti mitos PRG ini. Ingat, mempercepat dan mempermudah komersialisasi PRG sama saja dengan meningkatkan ketergantungan dan mendukung monopoli. Kesejahteraan petani pasti akan semakin menjauh. Jangan sampai kita kalah cerdas dibanding keledai, yang tidak mau terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Semoga.

1 komentar: