Mengapa KPK
Hadir?
Budi Kurniawan ; Mahasiswa Master Public Policy Spesialisasi
Bidang Korupsi Politik di Australian National University
(ANU), Canberra
|
REPUBLIKA,
10 Oktober 2012
Guarding the guard atau menjaga penjaga adalah alasan
utama Independence Commission of
Anti-corruption (ICAC) atau KPK-nya Australia bisa hadir di Australia.
Sebuah negara yang menurut Transparency International sebagai negara yang
dikatgorikan 10 besar negara paling bersih.
Tidak
hanya di Australia, kehadiran ICAC di Hong Kong pun karena hal itu. Jika
menilik dari sejarah berdirinya ICAC, sungguh sangat wajar Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di Indonesia menangani kasus korupsi yang ada di kepolisian. KPK
adalah lembaga yang seharusnya memang hadir untuk itu.
Konteks
kelahiran KPK di Indonesia justru seharusnya membuat lembaga ini kuat, bukan
sebaliknya diperlemah. KPK di Indonesia lahir dari ketidakpercayaan publik
terhadap lembaga peradilan dalam menangani kasus korupsi sangat besar. KPK pun
hadir di Indonesia pada saat supremasi hukum sangat lemah dan di sisi yang lain
era demokrasi berjalan.
Indonesia
memang telah berhasil mereformasi lembaga politiknya untuk memfasilitasi
demokrasi. Indonesia telah berhasil menempatkan sistem ekonominya on track, bahkan menjadi kebanggaan
pemerintah SBY di sidang PBB yang lalu. Sayangnya, Indonesia belum berhasil
mereformasi lembaga peradilan, termasuk kepolisian. Padahal, lembaga ini adalah
garda terdepan dalam pemberantasan korupsi dan tentunya yang lebih luas,
supremasi hukum.
Demokrasi
bisa jadi gagal total jika tidak diikuti dengan supremasi hukum. Dan,
dalam konteks demokrasi yang berdasarkan supremasi hukum inilah KPK lahir.
Bukankah salah satu indikator demokrasi yang menjadi landasan pengukuran
kualitas demokrasi adalah supremasi hukum? Sebab, demokrasi tanpa supremasi
hukum adalah anarki.
Lembaga Sampiran
Lalu,
siapa yang mengawasi KPK? Pertanyaan inilah yang menjadi bahasan utama di
Senayan sehingga DPR pun berkeinginan merevisi UU KPK. Ada kesalahan berpikir
dari anggota DPR dalam melihat posisi KPK. Para wakil rakyat kita masih
memahami KPK sebagai lembaga negara.
Kesalahan
orang DPR adalah tidak memahami bahwa KPK adalah lembaga sampiran negara.
Paradigma mereka masih menggunakan paradigma lama, trias politica, yang artinya setiap lembaga negara diawasi lembaga
negara yang lain, bukan oleh masyarakat sipil.
Padahal,
makna negara itu sendiri sudah berubah, dia tidak lagi aktor tunggal pemegang
kekuasaan. Negara harus dikontrol oleh masyarakat sipil karena pada
kenyataannya tidak efektif jika dikontrol oleh kekuasaan legislatif.
Sehingga,
kemudian legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu dikategorikan sebagi satu
paket sebagai sebuah “negara” karena merekalah yang memiliki kekuasaan secara
sah. Dan, untuk mengontrolnya perlu lembaga sampiran negara yang dibentuk
negara untuk mengontrol dirinya sendiri. Dan, biasanya lembaga sampiran negara
hadir atas inisiatif dan desakan masyarakat sipil.
Selain KPK, lembaga itu contohnya adalah Komisi Yudisial, Komnas
HAM, Ombudsman. Dengan kata lain, lembaga sampiran negara adalah lembaga negara
dalam artian hukum, tetapi merupakan bagian masyarakat sipil dalam cara kerja
dan dalam kacamata ilmu politik.
Oleh sebab itulah, paradigma mengawasi KPK adalah
paradigma yang salah dan bertentangan dengan demokrasi.
Padahal,
demokrasi itu dalam definisi substansialnya adalah supremasi masyarakat sipil.
Jika DPR mengawasi KPK, itu artinya supremasi negara atas masyarakat sipil. Ini
artinya, kita kembali ke zaman orde baru.
KPK juga bukanlah lembaga ad
hoc yang akan bubar dengan sendirinya jika lembaga peradilan berfungsi
kembali. Selama polisi dan lembaga peradilan mempunyai kekuasaan untuk
memeriksa dan mengadili maka akan selalu mempunyai potensi untuk penyimpangan
kekuasaan. Inilah alasan utama mengapa KPK akan selalu ada. Selama ada
kekuasaan peradilan, selama itu pula KPK akan hadir.
Lantas,
siapa yang dapat mengakhiri konflik Polri dan KPK serta kasak-kusuk DPR untuk
melemahkan KPK? Jawabannya tentulah presiden. Presiden pun dapat kemudian
meyakinkan dan memerintahkan Polri bahwa KPK memang hadir untuk mengawasi
lembaga seperti polisi.
Polisi
tentulah bukan lembaga tersendiri di luar pemerintah. Dia adalah bagian dari
pemerintah. Dia di bawah komando presiden. Presiden yang dipilih sebagian besar
rakyat Indonesia ini mempunyai wewenang untuk mereformasi tubuh kepolisian
republik ini.
Sungguh
tidak wajar jika seorang presiden berdiam diri dan tidak mempunyai keputusan
pada tuntutan masyarakat sipil untuk menyelamatkan KPK, yang berarti
menyelamatkan Indonesia.
Walaupun presiden telah pidato dan berani
menyelesaikan konflik KPK-Polri, tetapi perlu ada
pemahaman dari istana dan DPR bahwa KPK itu adalah lembaga yang memang hadir
untuk mengontrol lembaga penegak hukum. KPK
adalah lembaga sampiran negara sehingga segala usaha untuk mengontrolnya sama
dengan usaha nondemokratis untuk mengontrol masyarakat sipil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar