Kamis, 11 Oktober 2012

Mengapa KPK Hadir?


Mengapa KPK Hadir?
Budi Kurniawan ;  Mahasiswa Master Public Policy Spesialisasi
Bidang Korupsi Politik di Australian National University (ANU), Canberra
REPUBLIKA, 10 Oktober 2012


Guarding the guard atau menjaga penjaga adalah alasan utama Independence Commission of Anti-corruption (ICAC) atau KPK-nya Australia bisa hadir di Australia. Sebuah negara yang menurut Transparency International sebagai negara yang dikatgorikan 10 besar negara paling bersih.

Tidak hanya di Australia, kehadiran ICAC di Hong Kong pun karena hal itu. Jika menilik dari sejarah berdirinya ICAC, sungguh sangat wajar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia menangani kasus korupsi yang ada di kepolisian. KPK adalah lembaga yang seharusnya memang hadir untuk itu.

Konteks kelahiran KPK di Indonesia justru seharusnya membuat lembaga ini kuat, bukan sebaliknya diperlemah. KPK di Indonesia lahir dari ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan dalam menangani kasus korupsi sangat besar. KPK pun hadir di Indonesia pada saat supremasi hukum sangat lemah dan di sisi yang lain era demokrasi berjalan.

Indonesia memang telah berhasil mereformasi lembaga politiknya untuk memfasilitasi demokrasi. Indonesia telah berhasil menempatkan sistem ekonominya on track, bahkan menjadi kebanggaan pemerintah SBY di sidang PBB yang lalu. Sayangnya, Indonesia belum berhasil mereformasi lembaga peradilan, termasuk kepolisian. Padahal, lembaga ini adalah garda terdepan dalam pemberantasan korupsi dan tentunya yang lebih luas, supremasi hukum.

Demokrasi bisa jadi gagal total jika tidak diikuti dengan supremasi hukum. Dan, dalam konteks demokrasi yang berdasarkan supremasi hukum inilah KPK lahir. Bukankah salah satu indikator demokrasi yang menjadi landasan pengukuran kualitas demokrasi adalah supremasi hukum? Sebab, demokrasi tanpa supremasi hukum adalah anarki.

Lembaga Sampiran

Lalu, siapa yang mengawasi KPK? Pertanyaan inilah yang menjadi bahasan utama di Senayan sehingga DPR pun berkeinginan merevisi UU KPK. Ada kesalahan berpikir dari anggota DPR dalam melihat posisi KPK. Para wakil rakyat kita masih memahami KPK sebagai lembaga negara.

Kesalahan orang DPR adalah tidak memahami bahwa KPK adalah lembaga sampiran negara. Paradigma mereka masih menggunakan paradigma lama, trias politica, yang artinya setiap lembaga negara diawasi lembaga negara yang lain, bukan oleh masyarakat sipil.

Padahal, makna negara itu sendiri sudah berubah, dia tidak lagi aktor tunggal pemegang kekuasaan. Negara harus dikontrol oleh masyarakat sipil karena pada kenyataannya tidak efektif jika dikontrol oleh kekuasaan legislatif.

Sehingga, kemudian legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu dikategorikan sebagi satu paket sebagai sebuah “negara” karena merekalah yang memiliki kekuasaan secara sah. Dan, untuk mengontrolnya perlu lembaga sampiran negara yang dibentuk negara untuk mengontrol dirinya sendiri. Dan, biasanya lembaga sampiran negara hadir atas inisiatif dan desakan masyarakat sipil.

Selain KPK, lembaga itu contohnya adalah Komisi Yudisial, Komnas HAM, Ombudsman. Dengan kata lain, lembaga sampiran negara adalah lembaga negara dalam artian hukum, tetapi merupakan bagian masyarakat sipil dalam cara kerja dan dalam kacamata ilmu politik. Oleh sebab itulah, paradigma mengawasi KPK adalah paradigma yang salah dan bertentangan dengan demokrasi.

Padahal, demokrasi itu dalam definisi substansialnya adalah supremasi masyarakat sipil. Jika DPR mengawasi KPK, itu artinya supremasi negara atas masyarakat sipil. Ini artinya, kita kembali ke zaman orde baru.

KPK juga bukanlah lembaga ad hoc yang akan bubar dengan sendirinya jika lembaga peradilan berfungsi kembali. Selama polisi dan lembaga peradilan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili maka akan selalu mempunyai potensi untuk penyimpangan kekuasaan. Inilah alasan utama mengapa KPK akan selalu ada. Selama ada kekuasaan peradilan, selama itu pula KPK akan hadir.

Lantas, siapa yang dapat mengakhiri konflik Polri dan KPK serta kasak-kusuk DPR untuk melemahkan KPK? Jawabannya tentulah presiden. Presiden pun dapat kemudian meyakinkan dan memerintahkan Polri bahwa KPK memang hadir untuk mengawasi lembaga seperti polisi.

Polisi tentulah bukan lembaga tersendiri di luar pemerintah. Dia adalah bagian dari pemerintah. Dia di bawah komando presiden. Presiden yang dipilih sebagian besar rakyat Indonesia ini mempunyai wewenang untuk mereformasi tubuh kepolisian republik ini.

Sungguh tidak wajar jika seorang presiden berdiam diri dan tidak mempunyai keputusan pada tuntutan masyarakat sipil untuk menyelamatkan KPK, yang berarti menyelamatkan Indonesia.

Walaupun presiden telah pidato dan berani menyelesaikan konflik KPK-Polri, tetapi perlu ada pemahaman dari istana dan DPR bahwa KPK itu adalah lembaga yang memang hadir untuk mengontrol lembaga penegak hukum. KPK adalah lembaga sampiran negara sehingga segala usaha untuk mengontrolnya sama dengan usaha nondemokratis untuk mengontrol masyarakat sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar