Menata Kembali
Kemandirian Pangan
Posman Sibuea ; Guru
Besar Tetap pada Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU
Medan
|
SINAR
HARAPAN, 17 Oktober 2012
Penguasaan
teknologi pangan yang lambat dan nyaris stagnan belakangan ini telah
mengakibatkan perlambatan pembangunan kemandirian pangan.
Meski
mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, makin banyak
penduduk di daerah perdesaan terlibat dalam kegiatan nonpertanian sebagai
sumber penghasilan utama.
Proses
pemiskinan petani berlangsung dengan cepat. Inilah salah satu permasalahan
mendasar di tengah proses menyimpitnya penguasaan lahan pemilikan petani,
baik karena proses fragmentasi lahan melalui pewarisan tanah dan pengalihan
fungsi lahan pertanian guna berbagai keperluan hidup manusia.
Ini
yang menyebabkan jumlah petani gurem meningkat. Dalam banyak hal, Indonesia
mengalami kemunduran justru di bidang yang seharusnya ia unggul karena bias
pengelolan (mismanajemen) pertanian. Ketidaksiapan Indonesia menyongsong era
baru kebangkitan petanian adalah buah kesalahan di masa lalu.
Padahal
untuk produk-produk pangan olahan berbasis sumber daya lokal (pertanian
tropis), Indonesia bukan hanya berpotensi berswasembada, tetapi juga dapat meraih
kedaulatan pangan.
Kedaulatan
pangan terkait dengan politik formal yang berbeda dengan pembangunan
ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menekankan model produksi pertanian
agro-ekologis yang berlawanan dengan pertanian industri yang dikelola secara
kapitalistik yang pro WTO.
Definisi
ketahanan pangan yang paling banyak dianut adalah hasil kesepakatan Pertemuan
Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) 1996, yang menekankan akses semua
orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu
diproduksi dan dengan cara bagaimana proses produksi dilakukan. Ketahanan
pangan lalu bias ke kemampuan untuk menyediakan pangan pada level global,
nasional, maupun regional yang menjadikan perdagangan internasional menjadi
suatu keniscayaan.
Seiring
dengan itu, pangan (baca: beras) pun sarat dengan kepentingan politik.
Fenomena ini sudah berlangsung sejak abad ke-16. Para raja yang berkuasa
menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik.
Politik
beras yang dilakukan Kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras
memang komoditas yang sangat strategis (Maryoto, 2009). Apabila penguasa
zaman sekarang menggunakan indikator ekonomi, penguasa zaman dulu menggunakan
beras sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian
kemakmuran.
Soeharto
sebagai Presiden Indonesia yang kedua sejak 1967, kebijakan pertaniannya
sangat mirip dengan pilihan yang diambil oleh raja-raja semasa Kerajaan
Mataram yang bertumpu pada padi. Presiden yang dilengserkan oleh kekuatan
mahasiswa ini, terus mengerahkan segala cara guna memacu produksi beras
hingga pada 1983 ia mendapat penghargaan dari FAO karena keberhasilan
Indonesia berswasembada beras.
Diskursus
global ketahanan pangan kini didominasi oleh hak atas pangan (food
entitlements). Amartya Sen (1981) dalam bukunya bertajuk Poverty and Famines:
An Essay on Entitlement and Deprivation, berhasil menggugat kesalahan
paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidakketahanan
pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan ketersediaan semata.
Padahal
ketidaktahanan pangan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan
(entitlements failures). Kasus busung lapar di Indonesia pada 2005 adalah
salah satu bukti. Meski secara nasional produksi pangan berlimpah, sebagian
anak bangsa harus meregang nyawa karena mengalami gizi buruk, bak “tikus mati
di lumbung padi”.
Menjajah
Perut
Masyarakat
Barat berhasil mengampanyekan terigu di Indonesia. Warga kini dikepung
makanan olahan berbasis terigu, mulai dari donat, roti, piza, hingga mi
instan. Produk-produk ini kini menjajah perut orang Indonesia, baik yang
tinggal di perdesaan maupun perkotaan.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang relatif baik belakangan ini mendorong permintaan
gandum dan produk turunannya kian meningkat. Konsumsi terigu per kapita
Indonesia menunjukkan tren meningkat. Indonesia pun harus mengimpor terigu
sekitar 8 juta ton/tahun dengan menghabiskan devisa tidak kurang dari Rp 9
triliun.
Pertanyaannya,
haruskah produk roti dari terigu? Jawabnya sudah tentu tidak. Roti dan
biskuit tidak selalu dari tepung terigu. Aneka produk olahan dari tepung ubi
jalar telah mulai diproduksi di Indonesia, meski masih dalam skala kecil.
Dengan
aneka warna dan fungsionalitasnya, tepung ubi jalar sungguh mempunyai potensi
besar untuk dikembangkan. Dibantu dengan berbagai bakery ingredient yang
tepat dengan flavor yang mengena dan tepat gizi, diharapkan akan muncul
produk bakery khas Indonesia. Hal ini menjadi tantangan bagi food developers.
Di
tengah ancaman krisis pangan, semua pihak harus mencari pangan alternatif.
Selain sumber karbohidrat, sumber protein juga harus diburu. Serangga adalah
salah satu sumber makanan yang kaya protein. Kesan menjijikkan harus
dihilangkan agar manfaat protein serangga bisa dinikmati. Sangat mungkin pula
serangga menjadi pangan nutrasetikal yang bermanfaat mencegah penyakit karena
berfungsi sebagai obat.
Program
mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan pada pangan lokal patut dimulai sejak
anak di usia sekolah. Pemerintah patut mengenalkan pangan lokal lewat kantin
sekolah. Berbagai produk olahan umbi-umbian dan sagu harus tersedia di sana.
Langkah ini menjadi bentuk kampanye untuk mengangkat citra pangan berbasis
sumber daya lokal dan sekaligus mengimbangi gemburan produk makanan impor.
Seiring
dengan itu, amat perlu dikaji apakah kita mampu memosisikan produk pangan
lokal itu sejajar dengan produk pangan impor, baik mutu maupun harganya?
Produk pangan lokal yang dikemas secara menarik menjadi salah satu faktor
penting untuk memasuki pasar global yang semakin kompetitif. Inovasi-inovasi
mengembangkan pangan lokal itu akan muncul lebih progresif jika dilakukan
oleh generasi muda yang
memiliki latar belakang pendidikan teknologi pangan.
Arus
globalisasi yang mempermudah produk pangan impor masuk ke berbagai pasar
tradisional, secara perlahan, namun pasti harus dapat dicegah lewat
kebangkitan dan revitalisasi pangan lokal. Inilah titik awal Indonesia
berdaulat atas pangan untuk memberi pangan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar