Kamis, 18 Oktober 2012

Jakarta tanpa Carmageddon


Jakarta tanpa Carmageddon
IGG Maha Adi ;  Direktur The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ)
KORAN TEMPO, 17 Oktober 2012



Keadaan geografis Jakarta sama dengan Kota Los Angeles, dan keduanya tidak dapat mengendalikan serbuan mobil yang tiap hari melumpuhkan seluruh kota dan menciptakan carmageddon?neraka kemacetan.
Dua di antara tugas berat untuk gubernur dan wakil gubernur terpilih DKI Jakarta adalah mengurangi kemacetan dan mengatur tata ruang. Pada 2010, IBM melakukan penelitian terhadap para pengemudi di 20 kota metropolitan di dunia untuk mengetahui tingkat stres yang ditimbulkan oleh kondisi lalu lintas. Hasilnya tertuang dalam A Commuter Pain Index, dan Kota Beijing, Kota Meksiko, Johannesburg, Moskow, serta Los Angeles termasuk dalam daftar 20 kota metropolitan yang paling membuat frustrasi. Daftar ini kurang-lebih sama dengan metropolitan paling macet di dunia, dan Jakarta selalu ada dalam daftar. Uniknya, Kota New York, kota metropolis paling ternama di dunia, tidak pernah lagi mengisi daftar itu beberapa tahun terakhir.
Sekilas orang akan menilai Kota New York atau New York City (NYC) dipenuhi lautan manusia, boros energi, miskin ruang terbuka hijau, setiap hari lalu lintasnya selalu macet dan udaranya terpolusi, sampah bertumpuk. Singkatnya, sebuah kota yang tidak ramah lingkungan. Tak ubahnya seperti Jakarta, mungkin lebih parah. Benarkah demikian?
Sebaliknya, Kota New York adalah kota paling ramah lingkungan di Amerika Serikat. David Owen, penulis Green Metropolis, menyodorkan beberapa fakta menarik tentang kota yang dibangun para imigran itu: rata-rata pemakaian bensin penduduk NYC paling rendah di AS, 82 persen penduduk Manhattan?bagian paling sibuk di NYC--menggunakan transportasi publik, bersepeda, atau jalan kaki untuk ke kantor. Kota ini berpenduduk terpadat ke-12 di Amerika Serikat, tetapi pemakaian energinya paling rendah di antara ke-51 negara bagian di AS. Penyebabnya bukan hanya mereka paling jarang bepergian dengan mobil pribadi, juga karena rumahnya paling kecil dan alat-alat rumah tangganya menyedot listrik sangat sedikit. Rata-rata penduduk NYC mengemisikan 7,1 metriks ton gas rumah kaca, lebih rendah dari penduduk kota mana pun di Amerika Serikat, dan 30 persen lebih rendah dibanding rata-rata nasional yang 24,5 metriks ton. Manhattan bahkan lebih rendah daripada rata-rata NYC. Bagaimana semua ini terjadi?
Menurut Owen, setidaknya ada empat alasan kenapa NYC berhasil menjadi kota yang ramah lingkungan. Pertama, kota ini dibangun oleh para pedagang yang tidak terlalu peduli pada ruang terbuka antarbangunan atau taman kota, sehingga mereka membangun semua fasilitas berdekatan dengan alasan pragmatis, yaitu penghematan biaya. Kompleks bisnis, permukiman, pusat kegiatan sosial dan seni, pusat kebudayaan, semuanya dalam area yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Penduduk NYC hanya butuh berjalan kaki ke kantor atau makan siang, dan malam harinya juga jalan kaki untuk menonton teater di Broadway.
Kota Jakarta dibangun Belanda dengan gaya Eropa, yang mendirikan kantor pemerintahan dan fasilitas lainnya yang saling berjauhan. Untuk menjangkau berbagai fasilitas ini, jelas dibutuhkan kendaraan. Bedanya dengan di Eropa, di Jakarta tumbuh kawasan dengan densitas penduduk yang tinggi, yang menyebar tidak beraturan di seantero kota. Itu pula sebabnya, Jakarta pernah memiliki trem sebagai angkutan dalam kota yang relatif cepat. Gubernur Joko Widodo sudah dalam jalur yang tepat ketika merencanakan penggantian busway dengan metro light rail, seperti trem atau rail bus yang sudah beroperasi di Kota Solo.
Alasan kedua, NYC secara geografis dibatasi laut, sehingga mereka harus membangun ke atas. Konsekuensinya, sebagian besar penduduk tinggal di apartemen atau flat, yang membutuhkan ruang yang relatif sempit tetapi bisa menampung jumlah penghuni yang besar. Jakarta yang terhubung dengan Pulau Jawa menyebabkan permukiman menyebar ke kota-kota sekitarnya, seperti Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Keadaan geografis Jakarta sama dengan Kota Los Angeles, dan keduanya tidak dapat mengendalikan serbuan mobil yang tiap hari melumpuhkan seluruh kota dan menciptakan carmageddon?neraka kemacetan. Sangat sulit meminta orang sub-urban pindah ke dekat pusat kota Los Angeles, karena harga tanah sudah sangat mahal, sama seperti penduduk Jakarta.
Tetapi kemacetan membawa "berkah" tersembunyi, karena sebagian pekerja memilih tinggal di Jakarta dengan menyewa kamar atau membeli rumah murah yang disediakan pemerintah dengan kredit berbunga ringan. Jakarta sudah ada di jalur yang benar untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, yaitu menciptakan pra-kondisi dengan membangun rumah susun murah di berbagai lokasi dalam kota.
Rumah susun akan menciptakan kantong-kantong permukiman berdensitas tinggi. Pemerintah Kota Jakarta harus mengarahkan penduduk untuk tinggal di rumah susun, dengan cicilan dan bunga kredit semurah mungkin, dan menaikkan pajak rumah-rumah biasa, rumah kos, serta rumah sewa sehingga permintaan rumah susun tetap tinggi. Bedanya dengan NYC yang sudah padat, Jakarta masih bisa meningkatkan jumlah hunian vertikal karena masih punya aset tanah, dan masih bisa mengubah kawasan permukiman kumuh menjadi rumah susun. Sekali lagi, Joko Widodo mengkampanyekan hal yang sama.
Bicara transportasi publik di kota metropolis, menurut Owen, kunci keberhasilannya bukan pada jumlah penduduk, melainkan densitas kota. Bila transportasi publik diinginkan bisa menguntungkan, kota harus memiliki densitas yang tinggi atau sangat tinggi. Jakarta punya densitas 14.476 penduduk per kilometer persegi dan menduduki kota dengan densitas tertinggi ke-17 di dunia, jauh lebih tinggi dari NYC. Langkah berikutnya, bagaimana menjangkau kantong-kantong ini dengan transportasi umum yang massal, efisien, dan murah.
Membangun kompleks perumahan vertikal berdensitas tinggi di sepanjang jalur angkutan massal adalah jawabannya. Sejak Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan pembangunan lebih banyak rusunami dan rusunawa, harapan untuk membangun Jakarta yang teratur akan menjadi kenyataan. Langkah berikutnya adalah mendesain rumah susun ini agar dekat dengan stasiun atau terminal transportasi publik. Di beberapa lokasi, syarat ini sudah terpenuhi, tetapi para penghuninya tetap memakai kendaraan pribadi, karena sarana transportasi yang tersedia tidak tepat waktu, selalu penuh sesak, kotor, dan tidak aman.
Alasan terakhir adalah, NYC tidak mengikuti sistem zonasi yang dipakai dalam penataan ruang konvensional, melainkan mix zoning. Pemerintah kota mengizinkan lantai pertama apartemen atau rusun dipakai untuk kepentingan seperti kantor, toko makanan, bar, bahkan motel sekalipun. Cara ini mengurangi lapar lahan, dan membuat kantong-kantong pertumbuhan ekonomi kota menyebar hingga ke perumahan. Pada saat yang sama, pemerintah kota NYC mengenakan pajak kendaraan dan tarif parkir yang tinggi, serta pembatasan ruang parkir, sehingga orang Jakarta akan pikir berkali-kali untuk membawa mobil pribadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar