Jakarta tanpa
Carmageddon
IGG Maha Adi ; Direktur The Society of Indonesian
Environmental Journalists (SIEJ)
|
KORAN
TEMPO, 17 Oktober 2012
Keadaan geografis Jakarta
sama dengan Kota Los Angeles, dan keduanya tidak dapat mengendalikan serbuan
mobil yang tiap hari melumpuhkan seluruh kota dan menciptakan
carmageddon?neraka kemacetan.
Dua di antara tugas berat
untuk gubernur dan wakil gubernur terpilih DKI Jakarta adalah mengurangi
kemacetan dan mengatur tata ruang. Pada 2010, IBM melakukan penelitian
terhadap para pengemudi di 20 kota metropolitan di dunia untuk mengetahui
tingkat stres yang ditimbulkan oleh kondisi lalu lintas. Hasilnya tertuang
dalam A Commuter Pain Index, dan Kota Beijing, Kota Meksiko, Johannesburg,
Moskow, serta Los Angeles termasuk dalam daftar 20 kota metropolitan yang
paling membuat frustrasi. Daftar ini kurang-lebih sama dengan metropolitan
paling macet di dunia, dan Jakarta selalu ada dalam daftar. Uniknya, Kota New
York, kota metropolis paling ternama di dunia, tidak pernah lagi mengisi
daftar itu beberapa tahun terakhir.
Sekilas orang akan menilai
Kota New York atau New York City (NYC) dipenuhi lautan manusia, boros energi,
miskin ruang terbuka hijau, setiap hari lalu lintasnya selalu macet dan
udaranya terpolusi, sampah bertumpuk. Singkatnya, sebuah kota yang tidak
ramah lingkungan. Tak ubahnya seperti Jakarta, mungkin lebih parah. Benarkah
demikian?
Sebaliknya, Kota New York
adalah kota paling ramah lingkungan di Amerika Serikat. David Owen, penulis
Green Metropolis, menyodorkan beberapa fakta menarik tentang kota yang
dibangun para imigran itu: rata-rata pemakaian bensin penduduk NYC paling
rendah di AS, 82 persen penduduk Manhattan?bagian paling sibuk di
NYC--menggunakan transportasi publik, bersepeda, atau jalan kaki untuk ke
kantor. Kota ini berpenduduk terpadat ke-12 di Amerika Serikat, tetapi
pemakaian energinya paling rendah di antara ke-51 negara bagian di AS.
Penyebabnya bukan hanya mereka paling jarang bepergian dengan mobil pribadi,
juga karena rumahnya paling kecil dan alat-alat rumah tangganya menyedot
listrik sangat sedikit. Rata-rata penduduk NYC mengemisikan 7,1 metriks ton
gas rumah kaca, lebih rendah dari penduduk kota mana pun di Amerika Serikat,
dan 30 persen lebih rendah dibanding rata-rata nasional yang 24,5 metriks
ton. Manhattan bahkan lebih rendah daripada rata-rata NYC. Bagaimana semua
ini terjadi?
Menurut Owen, setidaknya
ada empat alasan kenapa NYC berhasil menjadi kota yang ramah lingkungan.
Pertama, kota ini dibangun oleh para pedagang yang tidak terlalu peduli pada
ruang terbuka antarbangunan atau taman kota, sehingga mereka membangun semua
fasilitas berdekatan dengan alasan pragmatis, yaitu penghematan biaya.
Kompleks bisnis, permukiman, pusat kegiatan sosial dan seni, pusat
kebudayaan, semuanya dalam area yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki.
Penduduk NYC hanya butuh berjalan kaki ke kantor atau makan siang, dan malam
harinya juga jalan kaki untuk menonton teater di Broadway.
Kota Jakarta dibangun
Belanda dengan gaya Eropa, yang mendirikan kantor pemerintahan dan fasilitas
lainnya yang saling berjauhan. Untuk menjangkau berbagai fasilitas ini, jelas
dibutuhkan kendaraan. Bedanya dengan di Eropa, di Jakarta tumbuh kawasan
dengan densitas penduduk yang tinggi, yang menyebar tidak beraturan di
seantero kota. Itu pula sebabnya, Jakarta pernah memiliki trem sebagai
angkutan dalam kota yang relatif cepat. Gubernur Joko Widodo sudah dalam
jalur yang tepat ketika merencanakan penggantian busway dengan metro light
rail, seperti trem atau rail bus yang sudah beroperasi di Kota Solo.
Alasan kedua, NYC secara
geografis dibatasi laut, sehingga mereka harus membangun ke atas.
Konsekuensinya, sebagian besar penduduk tinggal di apartemen atau flat, yang
membutuhkan ruang yang relatif sempit tetapi bisa menampung jumlah penghuni
yang besar. Jakarta yang terhubung dengan Pulau Jawa menyebabkan permukiman
menyebar ke kota-kota sekitarnya, seperti Bogor, Bekasi, dan Tangerang.
Keadaan geografis Jakarta sama dengan Kota Los Angeles, dan keduanya tidak
dapat mengendalikan serbuan mobil yang tiap hari melumpuhkan seluruh kota dan
menciptakan carmageddon?neraka kemacetan. Sangat sulit meminta orang sub-urban
pindah ke dekat pusat kota Los Angeles, karena harga tanah sudah sangat
mahal, sama seperti penduduk Jakarta.
Tetapi kemacetan membawa
"berkah" tersembunyi, karena sebagian pekerja memilih tinggal di
Jakarta dengan menyewa kamar atau membeli rumah murah yang disediakan
pemerintah dengan kredit berbunga ringan. Jakarta sudah ada di jalur yang
benar untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, yaitu menciptakan pra-kondisi
dengan membangun rumah susun murah di berbagai lokasi dalam kota.
Rumah susun akan
menciptakan kantong-kantong permukiman berdensitas tinggi. Pemerintah Kota
Jakarta harus mengarahkan penduduk untuk tinggal di rumah susun, dengan
cicilan dan bunga kredit semurah mungkin, dan menaikkan pajak rumah-rumah
biasa, rumah kos, serta rumah sewa sehingga permintaan rumah susun tetap
tinggi. Bedanya dengan NYC yang sudah padat, Jakarta masih bisa meningkatkan
jumlah hunian vertikal karena masih punya aset tanah, dan masih bisa mengubah
kawasan permukiman kumuh menjadi rumah susun. Sekali lagi, Joko Widodo
mengkampanyekan hal yang sama.
Bicara transportasi publik
di kota metropolis, menurut Owen, kunci keberhasilannya bukan pada jumlah
penduduk, melainkan densitas kota. Bila transportasi publik diinginkan bisa
menguntungkan, kota harus memiliki densitas yang tinggi atau sangat tinggi.
Jakarta punya densitas 14.476 penduduk per kilometer persegi dan menduduki
kota dengan densitas tertinggi ke-17 di dunia, jauh lebih tinggi dari NYC.
Langkah berikutnya, bagaimana menjangkau kantong-kantong ini dengan
transportasi umum yang massal, efisien, dan murah.
Membangun kompleks
perumahan vertikal berdensitas tinggi di sepanjang jalur angkutan massal
adalah jawabannya. Sejak Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan pembangunan
lebih banyak rusunami dan rusunawa, harapan untuk membangun Jakarta yang
teratur akan menjadi kenyataan. Langkah berikutnya adalah mendesain rumah
susun ini agar dekat dengan stasiun atau terminal transportasi publik. Di
beberapa lokasi, syarat ini sudah terpenuhi, tetapi para penghuninya tetap
memakai kendaraan pribadi, karena sarana transportasi yang tersedia tidak
tepat waktu, selalu penuh sesak, kotor, dan tidak aman.
Alasan terakhir adalah, NYC tidak mengikuti
sistem zonasi yang dipakai dalam penataan ruang konvensional, melainkan mix
zoning. Pemerintah kota mengizinkan lantai pertama apartemen atau rusun
dipakai untuk kepentingan seperti kantor, toko makanan, bar, bahkan motel
sekalipun. Cara ini mengurangi lapar lahan, dan membuat kantong-kantong
pertumbuhan ekonomi kota menyebar hingga ke perumahan. Pada saat yang sama,
pemerintah kota NYC mengenakan pajak kendaraan dan tarif parkir yang tinggi,
serta pembatasan ruang parkir, sehingga orang Jakarta akan pikir berkali-kali
untuk membawa mobil pribadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar