Jumat, 12 Oktober 2012

Indonesia Bukan Jawa, Apalagi Jakarta


Indonesia Bukan Jawa, Apalagi Jakarta
St Sularto ;  Wartawan Senior KOMPAS
KOMPAS, 12 Oktober 2012



Sekolah kandang ayam, parodi Profesor Winarno Surakhmad adalah fakta. Tidak jauh-jauh dari Jakarta, pusat kemewahan beriring dengan kemiskinan— pendeknya serba kontradiktif, apalagi yang lokasinya ribuan kilometer dari Jakarta. Banyak gedung dan sekolah merana.

Soal sarana kelas yang tidak memadai, bisa dimaklumi. Namun, kalau setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia berusia lebih dari 67 tahun foto Ir Soekarno masih bertengger gagah di tembok, tentu bukan dimaksudkan menyindir. Bung Karno memang Presiden RI, sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono penggantinya. Di kelas lain, Presiden SBY berdampingan dengan Jusuf Kalla dan di sekolah itu tak ada foto SBY berdampingan dengan Boediono.

Itu baru soal presiden. Jangan tanya praksis pendidikannya. Kalau pada 2011 seharusnya dipakai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, di sana tidak dikenal KTSP. Buku-buku pelajaran yang dipakai seharusnya terbitan terakhir tahun 2006, tetapi yang ada buku terbitan tahun 1998.

Kisah di atas hanya sepenggal dari kisah menyedihkan kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Karena itu, ketika dibahas tentang kurikulum baru pengganti Kurikulum 2006 yang kini dipakai, di banyak sekolah (bukan sekolah ”abal-abal” sekalipun) dan di banyak daerah yang dipakai adalah kurikulum pertama yang lahir pada masa Reformasi—Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004. Sampai ada sindiran sarkastis, no way dengan kurikulum. Silakan kurikulum baru, tetapi pendidikan di lapangan dengan kelenturan dan penafsiran masing- masing jalan dengan kreativitas sendiri-sendiri.

Politisasi Kurikulum

Bentangan wilayah Indonesia amatlah luas dan bervariasi. Segregasi dan perbedaan terjadi, mengakibatkan variasi mutu. Memberlakukan satu kurikulum nasional tidaklah mungkin. Belum lagi soal guru, salah satu sarana pendidikan yang diabaikan karena telanjur terpatri keyakinan sumber kemerosotan adalah faktor kurikulum. Di belahan wilayah, internet, Twitter, Facebook sudah jadi keseharian, sebaliknya di tempat lain masih hidup di zaman batu.

Kurikulum yang tersusun rapi dan detail yang memuat KTSP dijalankan ketat di sejumlah daerah, sebaliknya dicampakkan di daerah lain. Dicampakkan karena tidak sesuai dan tak mungkin dilaksanakan.

Mengapa demikian? Praksis pendidikan dan dunia pendidikan menganggap kurikulum itu masalah teknis. Sementara pemerintah, lewat departemen teknis yang dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum, menempatkan kurikulum sebagai sumber kekuasaan. Dalam masyarakat homogen, kurikulum tidak terlalu merisaukan, tetapi bagi masyarakat majemuk, kurikulum adalah pertarungan antar-kekuasaan.

Kelompok masyarakat yang dominan, secara politis berarti upaya dominasi politik di bidang pendidikan, menempatkan kurikulum sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Birokrasi kurikulum pun silih berganti, dan karena itu sindiran ganti menteri ganti kurikulum terjadi sebagai hal yang wajar, padahal di lapangan penerapan dan penyesuaiannya berantakan.

Tidak hanya dominasi kepentingan politik, perencanaan kurikulum kurang memperhatikan heterogenitas Indonesia (dibahas dan direncanakan di belakang meja dan berkiblat pada kepentingan politik), satu hal yang selama ini dalam rentangan bongkar pasang kurikulum: terabaikannya peranan guru. Guru tidak dipersiapkan dan diandaikan begitu saja, padahal merekalah pelaksana di lapangan, dengan kondisi beragam kemampuan dan fasilitasnya.

Pernyataan Wakil Presiden Boediono, guru besar yang perhatian dan habitatnya di lingkungan pendidikan, mengentakkan kita (Kompas, 27/8/2012). Dalam artikel itu, bukan dalam pidato resmi, dia mengakui, sampai saat ini Indonesia tidak punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan.

Jangan Ulangi Kesalahan

Ditarik dalam pengalaman praksis pendidikan selama ini, karena tidak pernah ada substansi pendidikan sebagai turunan dari tiadanya filosofi pendidikan, segala kebijakan yang muncul pun merupakan turunan dari ketidakjelasan. Akibatnya, selalu terjadi perdebatan panjang, taruhlah ujian nasional, tidak adanya pendidikan karakter di sekolah, hilangnya pendidikan kewarganegaraan (citizenship) dengan diabaikannya Pancasila, sertifikasi guru, kesejahteraan guru, dan kemerosotan mutu (pengetahuan dan keterampilan) lulusan sekolah.

Sementara pada saat yang sama, Indonesia dihadapkan pada berkah bonus demografi— penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan jumlah penduduk muda (di bawah 15 tahun) dan lanjut usia (65 tahun ke atas). Bonus demografi yang mulai terjadi tahun 2010 akan berakhir tahun 2050 dengan puncaknya tahun 2020-2030, di mana dari setiap 100 jiwa, 64 orang di antaranya berusia produktif. Masalahnya, saat tantangan di depan mata itu tidak diantisipasi baik, di antaranya lewat penyiapan sumber daya manusia bermutu, berakhlak dan terampil, bukan mustahil bonus demografi jadi malapetaka atau setidaknya kesempatan emas lewat begitu saja.

Perubahan kurikulum, yang terjemahannya dalam silabus mata pelajaran yang menyangkut jumlah, isi, dan penekanan, jangan sampai terjebak sebagai arena pertarungan kepentingan politik, menafikan kondisi kemajemukan Indonesia, dan tantangan Indonesia sebagai bagian dari dunia global. Begitu juga jangan sampai terlewatkan faktor kesiapan guru—”dosa asal” yang selama ini diidap dalam setiap perencanaan dan praksis pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks itu, Forum Mangunwijaya VII, pertemuan kerja sama harian Kompas dan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, menyelenggarakan diskusi terbatas di Yogyakarta, 14 September 2012. Para narasumber adalah dosen, guru, pengawas pendidikan, pimpinan yayasan sekolah swasta. Maksudnya menyampaikan sumbangsih pemikiran dalam proses rencana perubahan kurikulum, yang konon akan selesai awal tahun 2013 dan disosialisasikan pertengahan tahun 2013. 

Narasumbernya dosen, guru, pengawas pendidikan, pimpinan yayasan pendidikan: 
Agus Suwignyo, Ag Prih Adiartono, Bahrudin, Ferry T Indratno, Haryatmoko, Paul Suparno, Ki Supriyoko, Sri Prihartini Yulia, dan dimoderatori St Kartono.
Perubahan memang keniscayaan. Tidak saja karena kurikulum adalah pedoman praksis pendidikan, tetapi juga sebagai bagian dari proses praksis pendidikan yang senantiasa memerlukan pembaruan, antisipasi, dan penyesuaian.

Namun, kurikulum yang kurang mempertimbangkan kondisi lapangan dan kesiapan sekolah dan guru, perubahan hanya menghasilkan kurikulum bagus di atas kertas, tetapi minus visi! Indonesia bukan Jawa, Jawa bukan Jakarta! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar