Kamis, 18 Oktober 2012

Agenda Presiden Berikut: JSS dan “Outsourcing”


Agenda Presiden Berikut: JSS dan “Outsourcing”
Tjipta Lesmana ;  Pengamat Sosial Politik
SINAR HARAPAN, 16 Oktober 2012



Tidak semua masalah harus diselesaikan oleh presiden. “Buat apa ada menteri, gubernur, dan lain-lain? Mereka yang harus menyelesaikan masalah. Kalau semua tidak mampu, baru presiden turun tangan. Kalau semua-semua harus presiden yang tangani, lalu kerja mereka apa?!”

Kata-kata ini diucapkan Marzuki Alie, ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang juga petinggi Partai Demokrat, di acara bincang-bincang salah satu stasiun televisi beberapa hari yang lalu. Hal ini sebagai tanggapan Marzuki terhadap konflik KPK-Polri terkait kasus simulator SIM yang akhirnya memaksa Presiden Yudhoyono turun tangan dengan pernyataan jelas pada 8 Oktober 2012 malam.

Pernyataan ketua DPR tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Memang tidak salah kalau digugat apa kerja para pembantu presiden kalau sedikit-sedikit harus presiden yang turun tangan. Hal itu juga menunjukkan tidak efektifnya pemerintahan sekarang.

Tapi, kenyataannya, di jajaran presiden memang kerap tidak punya keberanian untuk melakukan langkah cepat dan tegas.

Soal kasus simulator SIM, misalnya, yang menyeret perseteruan sengit antara Polri dan KPK, presiden sebetulnya sudah meminta Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, untuk menanganinya. Faktanya, Menko Polhukam tidak mampu.

Sehari setelah kejadian “penyerbuan” sejumlah perwira menengah Polri ke kantor KPK (Jumat, 5 Oktober malam) untuk menangkap Komisaris Polisi Novel Baswedan, Djoko malah menuding ada pihak-pihak yang sengaja mengadu domba Polri dengan KPK.

Aneh sekali sikap pembantu dekat presiden ini! Dalam wawancara dengan sebuah harian di Ibu Kota, Djoko yang mantan Panglima TNI, antara lain menandaskan, “Yang penting semua lembaga penegak hukum harus diperkuat: kejaksaan, kepolisian, dan juga pengadilannya. Karena muaranya itu semua di pengadilan yang harus baik hakim-hakimnya. Tidak boleh lembaga-lembaga itu diadu domba. Tidak boleh lembaga-lembaga itu bertengkar. Harus bersinergi. Itu sudah sering saya katakan.”

Perseteruan Polri-KPK sudah memasuki tahap “gawat”, tapi reaksi Menko Polhukam masih sangat normatif, tidak substantif. Pola pikir Menkonya tidak beda dengan pola pikir para petinggi di era Orde Baru.

Kenapa dua lembaga penegak hukum ini bertengkar, Menko Polhukam tidak mau menganalisisnya secara cermat. Barang kali karena keberpihakannya kepada Polri, Djoko tidak mau menyalahkan Polri dalam persengketaannya dengan KPK.

Setelah “penyerbuan” Polri ke gedung KPK, publik marah; aksi membela KPK pun bergulir dahsyat dan cepat sekali. Pada akhirnya, bahkan Wakil Menteri Hukum dan HAM juga ikut-ikutan bergabung dengan para tokoh masyarakat dan massa untuk mendukung KPK.

Intervensi presiden berhasil menyelesaikan permasalahan. Itu berarti kegagalan Djoko mengemban tugas presiden. Kalau saja tindakan presiden dilakukan sejak dua atau 1,5 bulan yang lalu, situasinya tidak “segawat” seperti hari-hari 5, 6, dan 7 Oktober. Ya, campur tangan SBY sebetulnya terlambat. Tapi, better late than never.

Menanti Intervensi

Sebetulnya, ada sejumlah persoalan nasional yang menantikan intervensi presiden karena kegagalan para pembantunya untuk mengambil tindakan yang tuntas. Sebut saja sengketa Gereja Yasmin di Bogor.

Putusan Mahkamah Agung sudah keluar, masih juga tidak bisa dieksekusi. Umat Gereja Yasmin terpaksa beribadah di pinggir jalan, bahkan di kuburan, bahkan mereka diintimidasi oleh kelompok-kelompok tertentu.

Menghadapi situasi yang begitu genting, presiden tetap berpangku tangan. Di mana sesungguhnya wajah sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Tidak kurang tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah yang sudah mendesak agar presiden turun tangan. Toh, SBY tetap tidak mau mengeluarkan sikap.

Hanya melalui juru bicaranya, presiden menyatakan tidak bisa intervensi kasus Yasmin dengan alasan persoalan itu menjadi kewenangan kepala daerah. Barang kali presiden lupa bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Dalam sistem negara kesatuan, presiden bisa campur tangan manakala ada persoalan yang bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam masalah sistem kerja alih daya (outsourcing), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kelihatannya juga tidak berdaya mencari solusi. Demo demi demo buruh dilancarkan buruh untuk memprotes sistem kerja yang dinilai tidak adil ini.

Aksi buruh terakhir di 20 kota seluruh Indonesia benar-benar melumpuhkan banyak pabrik dan industri, khususnya di kawasan Tangerang dan Bekasi. Kerugian akibat aksi mogok buruh dua pekan yang lalu diperkirakan mencapai US$ 179 juta!

Satu masalah lain yang kiranya perlu intervensi segera presiden adalah soal pembangunan Jembatan Selatan Sunda (JSS). Proyek JSS berikut KSISS (Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda) merupakan proyek raksasa dengan anggaran sekitar Rp 250 triliun.

Peraturan Presiden No 86 Tahun 2011 menunjuk konsorsium PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS)–gabungan antara Grup Artha Graha, Pemerintah Daerah Banten, dan Pemerintah Daerah Lampung—sebagai pemrakarsa dengan tugas, antara lain melakukan studi kelayakan, persiapan pembangunan, dan penjajakan kerja sama dengan calon investor.

Urgensi pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan dua pulau utama Indonesia, yaitu Jawa dan Sumatera, amat tinggi. Paling tidak, proyek ini memiliki dua manfaat strategis. Pertama, manfaat politis, yaitu ”menyatukan” Jawa dan Sunda sehingga akan merekat lebih kuat fondasi NKRI. Terdapat nilai persatuan dan kesatuan bangsa yang strategis. Manfaat kedua, hubungan ekonomi antara dua pulau ini pun niscaya dapat meningkat luar biasa. Minimal, masalah “kemacetan” di Merak bisa teratasi secara tuntas. Kerawanan di perairan Selat Sunda (seperti tabrakan kapal-kapal) bisa berkurang.

Setiap tahun kita menyaksikan antrean truk amat panjang di Merak yang hendak menyeberang ke Bakauheni, Lampung. Setiap tahun fenomena ini terjadi dan makin lama makin parah. Antrean truk pada Mei lalu mencapai 15 km lebih.

Menurut perhitungan salah seorang Wakil Ketua Umum KADIN, akibat tumpukan truk yang sangat panjang, setiap hari pengusaha menderita kerugian sekitar Rp 5 miliar. Itu berarti Rp 150 miliar per bulan.

Apa pun alasan tumpukan truk, pemerintah daerah maupun pusat terkesan “tidak berdaya”. Yang diperlihatkan pemerintah hanyalah sikap pasrah. Inilah salah satu indikator “negara gagal”: ketidakberdayaan pemerintah menangani masalah krusial yang amat merugikan rakyat!

Jika Jembatan Selat Sunda rampung, tumpukan dan antrean truk tidak bakal terjadi lagi. Sebagian besar akan menempuh jalan darat bebas hambatan, walau ada kemacetan juga jika volume truk memang sangat tinggi.

Sayang, proyek raksasa yang memiliki nilai strategis dan ekonomi sangat tinggi kurang disetujui oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Ia malah mengusulkan agar Peraturan Presiden (Perpres) No 86/2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda direvisi sebelum kita berbicara tentang pembangunan KSISS dan JSS.

Alasan Agus, proyek swasta sering menjadi masalah dalam implementasinya. Dengan kata lain, Menteri Keuangan menghendaki supaya pelaksanaan kedua proyek ini diambil alih oleh pemerintah.

Jika megaproyek ini diambil alih langsung oleh pemerintah pusat, darimana anggarannya? Dibutuhkan Rp 250 triliun! Padahal utang pemerintah saat ini sudah mendekati Rp 1.900 triliun. Kalau memang ada pihak swasta yang bisa mencari pendanaannya, mengapa tidak? Dengan demikian, APBN yang ibarat “tanker amat berat” ini tidak terganggu sama sekali.

Karena resistensi Menteri Keuangan, implementasi proyek JSS praktis mandek. Sejak Perpres dikeluarkan pada Desember 2011, belum ada kemajuan signifikan. Pemerintah sempat membentuk Tim Tujuh untuk memutuskan kelangsungan proyek ini. Dari tujuh anggota tim, kabarnya hanya Menteri Keuangan yang masih keras sikapnya: menentang pelaksanaan proyek oleh pemrakarsa.

Ia ingin agar proyek ini diserahkan kepada BUMN. Pengalaman membuktikan bagaimana proyek-proyek yang diserahkan kepada BUMN dikorupsi gila-gilaan. Lihat misalnya pembangunan Wisma Atlet Palembang, venue olahraga PON di Riau, dan megaproyek Hambalang.

Maka, melalui forum ini kita mendesak presiden supaya cepat bertindak memerintahkan para pembantunya terkait untuk segera melaksanakan proyek JSS yang vital ini yang sudah bertahun-tahun direncanakan dan dirancang secara teliti. Makin lama ditunda, makin besar loss yang kita derita! Jembatan Selat Sunda bisa menjadi ikon Indonesia yang memikat masyarakat internasional! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar