Agenda Presiden
Berikut: JSS dan “Outsourcing”
Tjipta Lesmana ; Pengamat
Sosial Politik
|
SINAR
HARAPAN, 16 Oktober 2012
Tidak
semua masalah harus diselesaikan oleh presiden. “Buat apa ada menteri,
gubernur, dan lain-lain? Mereka yang harus menyelesaikan masalah. Kalau semua
tidak mampu, baru presiden turun tangan. Kalau semua-semua harus presiden
yang tangani, lalu kerja mereka apa?!”
Kata-kata
ini diucapkan Marzuki Alie, ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang juga petinggi
Partai Demokrat, di acara bincang-bincang salah satu stasiun televisi
beberapa hari yang lalu. Hal ini sebagai tanggapan Marzuki terhadap konflik
KPK-Polri terkait kasus simulator SIM yang akhirnya memaksa Presiden
Yudhoyono turun tangan dengan pernyataan jelas pada 8 Oktober 2012 malam.
Pernyataan
ketua DPR tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Memang tidak salah
kalau digugat apa kerja para pembantu presiden kalau sedikit-sedikit harus
presiden yang turun tangan. Hal itu juga menunjukkan tidak efektifnya
pemerintahan sekarang.
Tapi,
kenyataannya, di jajaran presiden memang kerap tidak punya keberanian untuk
melakukan langkah cepat dan tegas.
Soal
kasus simulator SIM, misalnya, yang menyeret perseteruan sengit antara Polri
dan KPK, presiden sebetulnya sudah meminta Menteri Koordinator bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, untuk
menanganinya. Faktanya, Menko Polhukam tidak mampu.
Sehari
setelah kejadian “penyerbuan” sejumlah perwira menengah Polri ke kantor KPK
(Jumat, 5 Oktober malam) untuk menangkap Komisaris Polisi Novel Baswedan,
Djoko malah menuding ada pihak-pihak yang sengaja mengadu domba Polri dengan
KPK.
Aneh
sekali sikap pembantu dekat presiden ini! Dalam wawancara dengan sebuah
harian di Ibu Kota, Djoko yang mantan Panglima TNI, antara lain menandaskan,
“Yang penting semua lembaga penegak hukum harus diperkuat: kejaksaan,
kepolisian, dan juga pengadilannya. Karena muaranya itu semua di pengadilan
yang harus baik hakim-hakimnya. Tidak boleh lembaga-lembaga itu diadu domba.
Tidak boleh lembaga-lembaga itu bertengkar. Harus bersinergi. Itu sudah
sering saya katakan.”
Perseteruan
Polri-KPK sudah memasuki tahap “gawat”, tapi reaksi Menko Polhukam masih
sangat normatif, tidak substantif. Pola pikir Menkonya tidak beda dengan pola
pikir para petinggi di era Orde Baru.
Kenapa
dua lembaga penegak hukum ini bertengkar, Menko Polhukam tidak mau
menganalisisnya secara cermat. Barang kali karena keberpihakannya kepada
Polri, Djoko tidak mau menyalahkan Polri dalam persengketaannya dengan KPK.
Setelah
“penyerbuan” Polri ke gedung KPK, publik marah; aksi membela KPK pun bergulir
dahsyat dan cepat sekali. Pada akhirnya, bahkan Wakil Menteri Hukum dan HAM
juga ikut-ikutan bergabung dengan para tokoh masyarakat dan massa untuk
mendukung KPK.
Intervensi
presiden berhasil menyelesaikan permasalahan. Itu berarti kegagalan Djoko
mengemban tugas presiden. Kalau saja tindakan presiden dilakukan sejak dua
atau 1,5 bulan yang lalu, situasinya tidak “segawat” seperti hari-hari 5, 6,
dan 7 Oktober. Ya, campur tangan SBY sebetulnya terlambat. Tapi, better late
than never.
Menanti
Intervensi
Sebetulnya,
ada sejumlah persoalan nasional yang menantikan intervensi presiden karena
kegagalan para pembantunya untuk mengambil tindakan yang tuntas. Sebut saja
sengketa Gereja Yasmin di Bogor.
Putusan
Mahkamah Agung sudah keluar, masih juga tidak bisa dieksekusi. Umat Gereja
Yasmin terpaksa beribadah di pinggir jalan, bahkan di kuburan, bahkan mereka
diintimidasi oleh kelompok-kelompok tertentu.
Menghadapi
situasi yang begitu genting, presiden tetap berpangku tangan. Di mana
sesungguhnya wajah sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Tidak kurang tokoh-tokoh
NU dan Muhammadiyah yang sudah mendesak agar presiden turun tangan. Toh, SBY
tetap tidak mau mengeluarkan sikap.
Hanya
melalui juru bicaranya, presiden menyatakan tidak bisa intervensi kasus
Yasmin dengan alasan persoalan itu menjadi kewenangan kepala daerah. Barang
kali presiden lupa bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Dalam sistem
negara kesatuan, presiden bisa campur tangan manakala ada persoalan yang bisa
merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam
masalah sistem kerja alih daya (outsourcing), Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi kelihatannya juga tidak berdaya mencari solusi. Demo demi demo
buruh dilancarkan buruh untuk memprotes sistem kerja yang dinilai tidak adil
ini.
Aksi
buruh terakhir di 20 kota seluruh Indonesia benar-benar melumpuhkan banyak
pabrik dan industri, khususnya di kawasan Tangerang dan Bekasi. Kerugian
akibat aksi mogok buruh dua pekan yang lalu diperkirakan mencapai US$ 179
juta!
Satu
masalah lain yang kiranya perlu intervensi segera presiden adalah soal
pembangunan Jembatan Selatan Sunda (JSS). Proyek JSS berikut KSISS (Kawasan
Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda) merupakan proyek raksasa dengan
anggaran sekitar Rp 250 triliun.
Peraturan
Presiden No 86 Tahun 2011 menunjuk konsorsium PT Graha Banten Lampung
Sejahtera (GBLS)–gabungan antara Grup Artha Graha, Pemerintah Daerah Banten,
dan Pemerintah Daerah Lampung—sebagai pemrakarsa dengan tugas, antara lain
melakukan studi kelayakan, persiapan pembangunan, dan penjajakan kerja sama
dengan calon investor.
Urgensi
pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan dua pulau utama
Indonesia, yaitu Jawa dan Sumatera, amat tinggi. Paling tidak, proyek ini
memiliki dua manfaat strategis. Pertama, manfaat politis, yaitu ”menyatukan”
Jawa dan Sunda sehingga akan merekat lebih kuat fondasi NKRI. Terdapat nilai
persatuan dan kesatuan bangsa yang strategis. Manfaat kedua, hubungan ekonomi
antara dua pulau ini pun niscaya dapat meningkat luar biasa. Minimal, masalah
“kemacetan” di Merak bisa teratasi secara tuntas. Kerawanan di perairan Selat
Sunda (seperti tabrakan kapal-kapal) bisa berkurang.
Setiap
tahun kita menyaksikan antrean truk amat panjang di Merak yang hendak
menyeberang ke Bakauheni, Lampung. Setiap tahun fenomena ini terjadi dan
makin lama makin parah. Antrean truk pada Mei lalu mencapai 15 km lebih.
Menurut
perhitungan salah seorang Wakil Ketua Umum KADIN, akibat tumpukan truk yang sangat
panjang, setiap hari pengusaha menderita kerugian sekitar Rp 5 miliar. Itu
berarti Rp 150 miliar per bulan.
Apa
pun alasan tumpukan truk, pemerintah daerah maupun pusat terkesan “tidak
berdaya”. Yang diperlihatkan pemerintah hanyalah sikap pasrah. Inilah salah
satu indikator “negara gagal”: ketidakberdayaan pemerintah menangani masalah
krusial yang amat merugikan rakyat!
Jika
Jembatan Selat Sunda rampung, tumpukan dan antrean truk tidak bakal terjadi
lagi. Sebagian besar akan menempuh jalan darat bebas hambatan, walau ada
kemacetan juga jika volume truk memang sangat tinggi.
Sayang,
proyek raksasa yang memiliki nilai strategis dan ekonomi sangat tinggi kurang
disetujui oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Ia malah mengusulkan agar
Peraturan Presiden (Perpres) No 86/2011 tentang Pengembangan Kawasan
Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda direvisi sebelum kita berbicara
tentang pembangunan KSISS dan JSS.
Alasan
Agus, proyek swasta sering menjadi masalah dalam implementasinya. Dengan kata
lain, Menteri Keuangan menghendaki supaya pelaksanaan kedua proyek ini
diambil alih oleh pemerintah.
Jika
megaproyek ini diambil alih langsung oleh pemerintah pusat, darimana
anggarannya? Dibutuhkan Rp 250 triliun! Padahal utang pemerintah saat ini
sudah mendekati Rp 1.900 triliun. Kalau memang ada pihak swasta yang bisa
mencari pendanaannya, mengapa tidak? Dengan demikian, APBN yang ibarat
“tanker amat berat” ini tidak terganggu sama sekali.
Karena
resistensi Menteri Keuangan, implementasi proyek JSS praktis mandek. Sejak
Perpres dikeluarkan pada Desember 2011, belum ada kemajuan signifikan.
Pemerintah sempat membentuk Tim Tujuh untuk memutuskan kelangsungan proyek
ini. Dari tujuh anggota tim, kabarnya hanya Menteri Keuangan yang masih keras
sikapnya: menentang pelaksanaan proyek oleh pemrakarsa.
Ia
ingin agar proyek ini diserahkan kepada BUMN. Pengalaman membuktikan
bagaimana proyek-proyek yang diserahkan kepada BUMN dikorupsi gila-gilaan.
Lihat misalnya pembangunan Wisma Atlet Palembang, venue olahraga PON di Riau,
dan megaproyek Hambalang.
Maka,
melalui forum ini kita mendesak presiden supaya cepat bertindak memerintahkan
para pembantunya terkait untuk segera melaksanakan proyek JSS yang vital ini
yang sudah bertahun-tahun direncanakan dan dirancang secara teliti. Makin
lama ditunda, makin besar loss yang
kita derita! Jembatan Selat Sunda bisa menjadi ikon Indonesia yang memikat
masyarakat internasional! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar