Sabtu, 22 September 2012

Perokok Bertambah, Petani Menjerit


Perokok Bertambah, Petani Menjerit
Kartono Mohamad ;  Penggiat Pengendalian Tembakau
KOMPAS, 21 September 2012


Hasil survei Global Adult Tobacco Survey yang diluncurkan Menteri Kesehatan beberapa hari lalu menunjukkan bahwa jumlah perokok di kalangan orang dewasa di Indonesia naik signifikan.

Dari 53,9 persen (1995) menjadi 70 persen (2012). Dengan prevalensi seperti sekarang, persentase perokok dewasa di Indonesia menjadi nomor satu di dunia. Ini mengungguli China dan India meski jumlah absolut tentu kalah karena jumlah penduduk mereka yang lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia.

Dampak terhadap kesehatan dan biaya mengobatinya juga meningkat. Jika ditambah beban ekonomi tak langsung, kerugian ekonomi makin besar. Menkes Nafsiah Mboi mengungkapkan, kerugian makroekonomi akibat konsumsi rokok diperkirakan Rp 245,4 triliun atau seperempat dari total APBN 2012 dan empat kali lebih besar dibandingkan penerimaan cukai rokok yang sering dijadikan dalih tentang besarnya sumbangan ekonomi perokok (pembayar cukai adalah perokok, bukan industri rokok).

Peningkatan konsumsi rokok juga tecermin dari peningkatan produksi rokok. Berdasarkan data Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, produksi rokok yang 220 miliar batang (2006) sudah menjadi 270 miliar batang (2010). Kalau harga per batang Rp 500, berarti Rp 135 triliun dibakar perokok Indonesia setahun. Kenaikan produksi rokok seharusnya meningkatkan pembelian tembakau dari petani. Namun, petani tembakau menjerit karena industri rokok tak mau membeli hasil panen petani. Pabrik rokok lebih memilih tembakau impor.

Data BPS menunjukkan, dalam kurun Januari-Juli 2012, total impor tembakau asal China 45.507,44 ton 191,4 juta dollar AS. Selain dari China, Indonesia mengimpor tembakau dari Turki 5.009,2 ton (31,74 juta dollar AS), dari India 6.308,02 ton (23,75 juta dollar AS), dari AS 2.907,17 ton (21,43 juta dollar AS), dari Brasil 2.517,02 ton (19,15 juta dollar AS), dan dari negara lain total 20.637,26 ton (94,96 juta dollar AS).

Banyak Dalih
Kalangan industri umumnya punya alasan lain mengapa mereka tak mau membeli tembakau produksi petani lokal. Kompas pernah memberitakan bahwa di Mataram lima perusahaan tak membeli ataupun mengurangi pembelian tembakau tahun ini, tetapi menampung produk daun tembakau yang dibudidayakan petani mitra kerjanya.

Niat itu dikeluhkan petani swadaya atau nonmitra perusahaan yang tak bisa memasarkan produk di tengah menurunnya harga jual Rp 2,5 juta per kuintal tahun lalu menjadi Rp 1,8 juta per kuintal. Sesuai ketentuan, perusahaan berkewajiban membeli 20 persen dari total produksi petani swadaya.

Di Kendal lain lagi alasannya. Pemilik gudang tembakau pabrik rokok Sampoerna di sana, Robby, mengakui setakat ini pihaknya belum mau beli tembakau dari Kendal sebab banyak mengandung zat kimia (Kompas). Sementara itu, penurunan pembelian tembakau lokal di Temanggung beralasan lain: stok di gudang masih banyak.

Apa pun alasannya, petani tembakau menjerit akibat tata niaga tembakau yang tak adil: menempatkan posisi tawar petani sangat rendah terhadap tengkulak dan pemilik pabrik. Sementara, pabrik rokok tetap membeli tembakau impor, ini terbukti dari impor yang meningkat dari tahun ke tahun.

Di sisi lain, pemerintah membiarkan impor terus terjadi. Pembuangan devisa untuk hal yang membahayakan kesehatan sekaligus mengancam petani tembakau.

Ada pembela rokok yang mengatakan, impor terjadi karena rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengharuskan standardisasi kandungan tembakau. Ini mengada-ada karena RPP hingga sekarang belum keluar. Impor sendiri sudah berlangsung lama, barangkali sekitar sepuluh tahun, bahkan sebelum UU Kesehatan disahkan parlemen.

Ada juga yang mengatakan bahwa pabrik rokok tak membeli tembakau karena ketakutan RPP akan terbit. Ini makin tak masuk akal. Isu pengendalian tembakau sudah berlangsung lama, tetapi produksi tetap meningkat pesat dan impor tembakau juga meningkat.

Bahkan, dari negara-negara yang di dalam negerinya sudah mengetatkan konsumsi rokok. Suatu bukti bahwa pengaturan konsumsi rokok tak membuat petani tembakau di China, AS, Turki, dan Brasil mati. Bahkan, bisa ekspor ke Indonesia.

Petani tembakau akhir-akhir ini menjadi sengsara bukan karena RPP yang tak kunjung muncul, melainkan oleh ulah tengkulak dan pabrik rokok. Namun, ketika petani tembakau menjerit, politisi parlemen dan pemerintahan yang semula menolak RPP dengan dalih mengancam petani tembakau justru diam saja. Siapa sebenarnya yang mereka bela?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar