Sabtu, 22 September 2012

Agresi


Agresi
L Wilardjo ;  Fisikawan
KOMPAS, 21 September 2012


Beberapa waktu yang lalu ada rohaniman—cum—filsuf yang mengisi rubrik opini ini dengan mengolok-olok dirinya sendiri. Olok-olokannya jenaka.

Dengan kejenakaannya itu, Romo yang muktabar itu tak lupa memuji Tuhan yang bersifat adil dan Mahapengasih. Pada hemat saya, ada lagi yang dibidiknya.

Saya pagi itu benar-benar menikmati lelucon Sang Filsuf sehingga saya menghubungi beberapa orang sohib saya berbagi kenikmatan itu. Salah seorang di antara sohib-sohib itu bilang bahwa ia juga menikmati lelucon tersebut.

Selang dua hari kemudian saya kecipratan gunjingan para akademiman tentang ”kiamat kecil” yang konon akan terjadi pada dan di sekitar hari Natal nanti. Kata- nya ramalan kiamat itu berasal dari NASA. Tak diterangkan apakah NASA itu Badan Ruang Angkasa dan Aeronautika Nasional (Amerika). Gelap gulita tiga hari itu katanya disebabkan posisi segarisnya Matahari dan Bumi. Berita tentang ramalan kiamat kecil itu disertai imbauan agar kita ja- ngan panik, tenang di rumah dan berdoa yang khusyuk, atau tidur.

Karena Romo yang jenaka tadi juga akademiman dan ramalan itu diunggah ke lembaran bincang para akademiman yang semuanya pintar-pintar, Romo-Filsuf membaca berita yang heboh itu. Ia pun bereaksi. Dengan seri- us tanpa bergurau ia mengatakan bahwa ramalan kiamat kecil itu cuma bohong-bohongan.

NASA tak pernah menyiarkan ramalan bohong itu. Romo-Filsuf menyesalkan sempat munculnya hoax itu di lembaran bincang anggota akademi ilmu pengetahuan yang terhormat. Seorang akademiman lain, yang juga astronomiman senior dan suka menjuluki dirinya sebagai Si Tukang Dorong Teropong,nimbrung bahwa ia sudah memperingatkan sebelumnya agar kita jangan termakan ramalan bohong-bohongan itu. Hal yang diramalkan itu belum pernah terjadi selama 4,5 miliar tahun keberadaan Planet Bumi.

Ramalan bahwa Matahari dan Bumi akan segaris memang tak salah. Itu bukan ramalan, melainkan pernyataan tentang apa yang sudah diyakini dan diterima sebagai kebenaran ilmiah. Sejak dulu Matahari dan Bumi selalu segaris. Euklides dalam geometrinya telah menyabdakan kesegarisan itu sejak zaman baheula. Melalui dua titik dapat ditarik satu (dan hanya satu) garis lurus. Pusat Matahari dan pusat Bumi ialah dua titik. Jadi pastilah dapat ditarik satu garis lurus melalui kedua titik itu.

Barang tentu ini garis mate- matis abstrak yang hanya dibayangkan dengan pikiran kita. Ramalan kiamat kecil itu mengatakan bahwa di dalam suasana gelap gulita itu nanti alam akan mengalami perubahan menjadi berdimensi empat, lalu berubah lagi jadi berdimensi nol. Orang awam seperti saya kian bingung.

Sewaktu masih Narayana (Trigantalpati?) dulu, saya kuliah al- jabar linier dari Prof RMJT Soehakso. Kami diajari tentang ruang berdimensi n, dan n ini bisa berapa pun. Saya gagal dalam tentamen tertulis lalu her dengan ujian lisan. Lulus, tetapi cuma pas-pasan. ”Voldoende,” kata Prof Hakso. Ruang-waktu caturmatra Minkowski masih bisa saya pahami, tetapi dimensi yang lebih tinggi lagi dalam teori superstring atau Teori-M sulit dimengerti.

Namun, kalau kita anti-induktivis dan mendukung falsifikasi Popperian, kiamat kecil itu dapat kita terima sebagai ramalan yang terujikan. Tersanggah atau tidaknya ramalan itu, ya, kita tunggu saja sampai Natal nanti.

Tanggapan Si Tukang Dorong Teropong terutama ditujukan kepada Romo-Filsuf. Ia mendukung bantahan Romo-Filsuf atas ramalan NASA itu. Ia juga mendukung pesan tersembunyi yang ada dalam lelucon Romo-Filsuf tempo hari. Disiratkannya bahwa lelucon Romo-Filsuf itu, meskipun baginya cespleng, belum tentu dipahami orang yang dibidiknya sebab dia terlalu bangga akan kehebatan dirinya.

Kesatria

Sekarang giliran saya yang nimbrung. Saya katakan kepada Si Tukang Dorong Teropong bahwa orang yang tidak bisa merasa itu namanya Narkissos. Dalam bahasa gaul anak muda, disebut narsis. Saya katakan juga bahwa di kalangan pakar psikologi, lelucon berfungsi menyerang. Lelucon itu suatu bentuk agresi, dan jenakawannya adalah agresor.

Si Tukang Dorong Teropong mengamini kata-kata saya, lalu bertanya, ”Apakah kiamat kecil itu lelucon dan jenakawan yang menyebarkannya agressor juga?” Jawab saya, ”No comment.” Namun, Romo-Filsuf yang menebar lelucon ”Ngantuk” di rubrik opini pada hemat saya adalah seorang agresor. Karena saya menikmati kejenakaannya yang cerdas itu, saya pun ikut menjadi agresor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar