Sabtu, 15 September 2012

Politik Suram Nahdliyin


Politik Suram Nahdliyin
Mohammad Bisri ;  Wakil Sekjen PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah
SUARA MERDEKA, 14 September 2012


PENGURUS Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai hari ini hingga 17 September mendatang menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) di Ponpes Kempek Cirebon Jabar. Dua kegiatan dalam sebuah bahtsul masail itu bisa menjadi masukan bagi perbaikan pemerintah. Selain ulama, akan hadir ahli bidang perbankan, hukum, dan sosial. Acara itu mengkaji ber-bagai persoalan, di antaranya tentang pemilihan calon pemimpin bangsa. 

Pemunculan tema itu sebagai antisipasi warga nahdliyin menghadapi pileg dan Pilpres 2014. Saya kira sayap politik NU perlu mawas diri mengingat tengah terjadi  fenomena baru, berupa pembangkangan santri terhadap kiai. Nalar politik NU yang mengandalkan sektarianisme lokal Islam mengalami keruntuhan akibat perkembangan budaya politik modern dan sekuler. 

Politik bagi warga NU bukan lagi sakral, ia mengalami sekularisasi politik sampai pada titik individualisme. Hal ini sejalan dengan hasil jajak pendapat Kompas, bahwa yang melahirkan pemimpin bangsa 25,2% (mayoritas) diharapkan dari institusi pendidikan, bukan dari institusi agama atau ormas. Yang mengharapkan dari institusi agama hanya 8,7%, dari ormas termasuk di dalamnya NU, hanya 1,9% (Kompas, 02/09/12).

Di samping itu, khusus nahdliyin, juga sudah mampu membuka korpus tertutup yang selama ini menciptakan abad kegelapan dalam nalar politik. Bahwa wilayah politik tidak usah dicampur zona agama, otoritas kiai tidak harus masuk dalam soal coblos-coblosan pemilu legislatif atau pilpres dan sejenisnya. 

Konsekuensi dari hal itu adalah orang tak lagi mengekspresikan diri sebagai bagian dari umat tertentu, dan tak lagi menjadi objek hegemoni kepemimpinan tradisional. Pada tahap ini kemudian muncul decentring (pemencaran) otoritas politik Islam. Polarisasi itu dalam realitas politik akan membawa dua dampak. 

Pertama; perpecahan antarkiai. Sejak Islam masuk dan berkembang di Jawa, sampai dekade pertama pascakemerdekaan, para kiai merupakan kelompok pemimpin agama yang kompak, berkarisma, dan punya kultur dan gaya hidup serasi, sehingga memiliki ciri kelompok yang oleh Durkheim disebut solidaritas mekanik. Namun dengan makin dipengaruhinya desa oleh budaya kota, makin tampak perbedaan tingkat masyarakat desa, yang berakibat kelonggaran homogenitas kultural sehingga kiai pun tak bisa lagi terjalin dalam satu ikatan, terlebih ikatan politik. Pada level ini, pola hubungan antarkiai menjelma menjadi solidaritas organik dengan logika perebutan pengaruh demi afiliasi politiknya (lihat Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, 2004).

Kedua; pembangkangan santri. Fenomena ini bukan hanya terjadi pascaproyek besar-besaran liberalisasi pemikiran anak muda NU, yang menyebabkan keruntuhan patriakisme kiai. Pembangkangan santri terhadap kiai sudah dimulai dan bahkan diciptakan oleh kiai sendiri melalui kaidah fikih yang dinamis itu, al-hukmu yaduru ma’al illah wujudan wa adaman.

Tidak Tegas

Sekali lagi perpecahan itu terjadi karena keputusan kembali ke Khitah 1926 ternyata tidak membuat kiai dan pengurus NU benar-benar kembali kepada politik kerakyatan dan kenegaraan. KH Sahal Mahfudh menyebut ada tiga model politik yang selama ini dilaksanakan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Selama ini lubang untuk melakukan politisasi NU masih terbuka karena Khitah 1926 tak tegas mengatur hubungan antara organisasi dan pengurus. 

Padahal ini merupakan titik krusial yang menyebabkan pertarungan politik praktis di antara tokoh NU. Khitah 1926 hanya menyatakan NU sebagai organisasi harus netral, punya jarak sama dengan semua kekuatan organisasi sosial politik atau saat itu dikenal dengan istilah equi distance. Namun sebagai individu, pengurus bisa berpolitik praktis. Memang ada aturan, pengurus NU yang rangkap jabatan dalam parpol dan jabatan publik harus memilih salah satu namun aturan ini tidak bisa diterapkan untuk kasus selain partai politik.

Meski dalam kadar berbeda, dari titik inilah muncul dua peristiwa politik berorientasi kekuasaan pasca-Khitah 1926 dalam tubuh NU. Pertama; kesediaan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI. Kedua; pencalonan KH Hasyim Muzadi oleh PDIP untuk wapres dalam Pilpres 5 Juli 2004. 

Berdasarkan pengalaman itu, NU sebenarnya memiliki pengalaman amat kaya akan keterlibatannya dalam tiga medan politik. Namun dari tiga lapangan itu, yang membuat NU menjadi tercerai-berai dan penuh nuansa konflik adalah jenis politik kekuasaan.

Karena itu, alangkah baiknya bila NU, sebagai organisasi ataupun para pengurusnya pada masa datang meninggalkan politik kekuasaan, kembali ke rakyat dan negara. Biarlah politik kekuasaan dilaksanakan oleh mereka yang bergerak untuk wilayah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar