Selasa, 17 Juli 2012

Waspadai Penetrasi Sindikat Narkoba


Waspadai Penetrasi Sindikat Narkoba
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar 
SINDO, 17 Juli 2012

Intensitas penyelundupan narkoba yang begitu tinggi akhir-akhir ini memberi bukti tentang belum efektifnya strategi perang melawan jaringan perdagangan narkotika internasional. 
Beragam bukti menunjukkan kelemahan terbesar justru ada di dalam negeri. Semua instrumen penangkal sudah bisa dijebol sindikat internasional. BNN perlu menginisiasi sebuah strategi baru yang lebih efektif. Penelitian pada 2011 menyebutkan bahwa para bandar besar narkoba berhasil memasukan 48 juta butir pil ekstasi ke “pasar” Indonesia. Pihak berwajib hanya bisa menyita 880.000 butir.Untuk jenis sabu,jumlah yang dimasukkan ke dalam negeri mencapai 49.000 kilogram.Namun,pihak berwajib hanya bisa menyita 354 kilogram.

Jumat pekan lalu, polisi menangkap oknum petugas Rutan Cipinang, MY, tak jauh dari tempat kerjanya. Dia kedapatan membawa 200 gram sabu kualitas bagus. Belakangan, diketahui bahwa sabu dalam genggaman MY milik AY, terpidana yang mendekam di Rutan Cipinang. Sebelumnya di Cengkareng, Jakarta Barat, polisi menangkap WW, warga negara Malaysia. Dari bagasi mobil yang dikendarai WW, polisi menyita dua tas berisi 40 kg sabu senilai Rp85 miliar.

Pada kasus lainnya, polisi bahkan menangkap tiga oknum pegawai Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok yang bertugas sebagai pemeriksa dokumen serta pemeriksa barang. Oknum pegawai BC berinisial Joy mengaku disuap untuk mempercepat masuknya paket berisi 351 kg sabu dari Malaysia. Kepada polisi, Joy mengaku menerima suap Rp3,5–7 juta.

Penetrasi Sindikat

Sindikat narkotika sudah merekrut oknum polisi, oknum pegawai Bea dan Cukai, dan oknum sipir penjara sebagai anggota jaringan mereka. Tidak mengherankan jika dalam sejumlah operasi penggerebekan, polisi sering kali tidak mendapatkan apa-apa karena rencana operasi sudah dibocorkan oleh oknum polisi sendiri. Penjara di Indonesia pun sudah tidak efektif lagi memutus akses dan jaringan para bandar besar narkoba. Alih-alih memutus akses dan jaringan, oknum sipir penjara justru menyediakan diri untuk membantu para bandar besar narkoba.

Skenario itu terbaca dengan jelas pada kasus oknum sipir Rutan Cipinang MY dan sang bandar besar AY. Tak hanya dibukakan akses dan jaringannya, oknum sipir di Rutan Cipinang bahkan membolehkan AY menggunakan belasan nomor telepon dan iPad. Gilanya lagi, AY boleh membawa mobil pribadinya ke Rutan Cipinang. Berarti, oknum sipir Rutan Cipinang telah memberi kebebasan kepada AY untuk setiap saat bepergian ke mana pun dia ingin pergi.

Bertolak dari kasus MY-AY ini, muncul pertanyaan tentang apa hasil signifikan dari rangkaian inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ke sejumlah rutan beberapa waktu lalu? Kalau para bandar besar berstatus terpidana di Rutan Cipinang masih bisa begitu leluasa menjalankan bisnis ilegal itu, Sidak Wamenkumham Denny praktis belum membuahkan hasil apa pun. Cegah tangkal penyelundupan narkoba di pelabuhan dan bandara pun sudah tidak efektif lagi.

Setidaknya, kasus yang melibatkan oknum pegawai Bea dan Cukai berinisial Joy menjadi bukti bahwa pemeriksa dokumen dan pemeriksa barang impor di pelabuhan dan bandara pun sudah dilumpuhkan sindikat penyelundup narkoba. Padahal, efektivitas cegah tangkal penyelundupan narkotika di bandara dan pelabuhan menjadi faktor kunci. Heroin atau kokain tidak diproduksi di Indonesia, karena bahan bakunya memang tidak ada di Indonesia.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar barang haram itu di produksi di Amerika Selatan dan satu dua negara di kawasan Asia. Kalau bisa masuk Indonesia, berarti masuk melalui jalur dan mekanisme impor. Dengan begitu, efektivitas cegah tangkal penyelundupan narkotika di pelabuhan dan bandara menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Pasalnya, dewasa ini kejahatan narkoba sudah berskala transnasional organized crime. Dan, Indonesia adalah “pasar” gemuk yang terus dijajaki sindikat Nigeria dan sindikat Iran, yang kemudian disusul oleh sindikat Malaysia.

Mengingat ancaman risikonya sangat besar bagi masyarakat, khususnya kaum muda Indonesia, treatment terhadap kejahatan yang satu ini tidak bisa lagi ala kadarnya seperti sekarang. Sistem hukum Indonesia harus memberi respons ekstrakeras terhadap siapa pun yang terbukti ikut atau terlibat dalam kejahatan ini. Boleh jadi, ini menjadi terorisme model baru. Kerja sama lintas negara untuk memerangi jaringan kejahatan narkotika internasional harus terus dipertajam. Namun, jauh lebih penting adalah meningkatkan efektivitas cegah tangkal penyelundupan narkoba ke dalam negeri.

Penetrasi sindikat perdagangan narkotika internasional ke Indonesia sudah melahirkan persoalan yang sangat serius. Tidak hanya pada ekses yang diterima komunitas pemakai sabu, kokain atau heroin serta ekstasi, tetapi juga penetrasi sindikat itu ke institusi-institusi negara. BNN mencatat bahwa dari setiap kasus narkoba yang terungkap selalu melibatkan aparat sebagai beking. Hendaknya hal ini dimaknai sebagai indikasi. BNN memang harus bekerja lebih keras lagi, tetapi patut juga dipahami bahwa BNN tidak bisa sendirian.

Oleh karena itu, BNN perlu menggagas sinergitas baru dengan semua institusi terkait. Sinergi yang tidak hanya disepakati di tingkat atas, tetapi tidak dipedulikan di tingkat lapangan. Misalnya karena oknum sipir penjara tak juga jera diperalat bandar besar narkoba, tidak ada salahnya BNN mempunyai dan mengelola sendiri penjara khusus untuk penjahat narkoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar