PERGURUAN
TINGGI DI INDONESIA :
RUU
Pendidikan Tinggi, Polemik Itu Belum Berakhir
Laporan Khusus Tim Kompas (Try Harijono dan Ester Lince
Napitupulu)
KOMPAS,
22 Juli 2012
Bagaimana perguruan tinggi negeri kenamaan
bisa bertarung di tingkat dunia jika keleluasaan geraknya terbatas. Pembelian
kertas sampai pembiayaan penelitian harus seizin pemerintah pusat. Perguruan
tinggi menjadi tak dinamis. Tak heran jika wacana soal otonomi perguruan tinggi
pun bergema sejak era Orde Baru.
Akhirnya, impian perguruan tinggi negeri
kenamaan Indonesia pun terwujud pada era reformasi. Mereka mendapat status
badan hukum milik negara (BHMN) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
1999.
Perguruan tinggi pertama yang mendapat status
ini adalah Universitas Indonesia. Disusul kemudian enam perguruan tinggi lain,
yakni Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut
Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dengan status BHMN, ketujuh perguruan tinggi
”papan atas” tersebut lebih leluasa bergerak. Mereka memiliki ”otonomi” untuk
mengatur rumah tangga sendiri, termasuk soal kerja sama penelitian, penerimaan
mahasiswa baru, hingga masalah keuangan.
Status BHMN kemudian digantikan badan hukum
pendidikan (BHP) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan. Meskipun BHP harus bersifat nirlaba, dalam praktiknya badan
hukum pendidikan banyak dikeluhkan masyarakat. Karena otonomi tidak disertai
dengan kucuran dana yang memadai dari pemerintah, perguruan tinggi tersebut
dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk kegiatan kampus.
Tidak terlatih berbisnis, langkah yang paling
praktis bagi pengelola perguruan tinggi tentu saja dengan menarik dana dari
calon mahasiswa baru. Berbagai jalur masuk perguruan tinggi pun dibuka. Selain
seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), ada perguruan tinggi
yang membuka lima, enam, bahkan 11 jalur masuk bagi calon mahasiswa baru.
Biaya masuk calon mahasiswa baru untuk setiap
jalur berbeda-beda. Ada yang hanya Rp 2 juta, sementara di ujung yang lain ada
yang sampai menarik bayaran di atas Rp 400 juta untuk program studi tertentu.
Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pihak mengajukan
gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, MK membatalkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan pada 31 Maret
2010. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010
yang mengembalikan status perguruan tinggi tersebut menjadi perguruan tinggi
yang diselenggarakan pemerintah.
Pro-Kontra
Setelah dibatalkannya UU Badan Hukum
Pendidikan, penyelenggaraan pendidikan tinggi seolah mengalami kekosongan
payung hukum. Karena itulah, DPR dengan hak inisiatifnya mengajukan Rancangan
Undang-Undang Perguruan Tinggi yang drafnya diajukan Januari 2011. Dalam
perkembangannya, RUU Perguruan Tinggi ini berubah menjadi RUU Pendidikan Tinggi
(RUU PT) dengan cakupan yang lebih luas.
Meski DPR dan pemerintah berdalih konsultasi
publik dan rapat dengar pendapat umum sudah dilakukan dengan sejumlah pihak,
tetap saja banyak pihak merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut.
”Kalaupun diajak konsultasi, beberapa masukan
yang disampaikan tidak diakomodasi sama sekali. Pemerintah dan DPR tetap jalan
sendiri dengan konsepnya. Pertemuan hanya sekadar formalitas,” kata Thomas
Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia, dalam diskusi panel bertema ”Mengkaji RUU Pendidikan Tinggi dalam
Menuju Pendidikan Tinggi Indonesia yang Berdaya Saing” yang digelar Kompas pada
Kamis (12/7) pekan lalu.
Dalam diskusi tersebut, kalangan perguruan
tinggi pun merasa heran karena sangat sulit mendapatkan draf RUU PT. ”Jika
punya niat baik, mestinya dibuka kepada publik. Kami khawatir ada yang
disembunyikan dari RUU tersebut,” kata sosiolog Universitas Indonesia Imam
Prasodjo.
Kekhawatiran itu terbukti. Ketika RUU PT
disetujui dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 Juli lalu, ada
beberapa pasal yang dianggap kontroversial dan banyak pula pasal yang dinilai
tidak perlu ada. Soal otonomi perguruan tinggi, misalnya, campur tangan
pemerintah dinilai terlalu besar.
”Pemerintah seolah-olah menjamin otonomi
perguruan tinggi, tetapi campur tangan pemerintah sangat kuat,” ujar Guru Besar
(Emeritus) Universitas Indonesia Emil Salim pada diskusi tersebut.
Adapun pasal yang tidak perlu ada, misalnya
Pasal 66 dalam RUU PT yang menyatakan, statuta PTN Badan Hukum ditetapkan oleh
pemerintah. ”Pemerintah tak perlu ikut campur dalam penentuan statuta perguruan
tinggi,” kata Johanes Gunawan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Parahyangan, Bandung, pada diskusi yang sama.
Disparitas Tinggi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh berkeyakinan, otonomi perguruan tinggi perlu diatur karena disparitas
antar-perguruan tinggi sangat beragam. Dari sekitar 92 perguruan tinggi negeri
(PTN), misalnya, hanya tujuh perguruan tinggi yang mampu mandiri secara
keuangan. Sebanyak 20 PTN lain siap mandiri, tetapi 65 PTN lain belum mampu
untuk mandiri.
”Kondisi 3.200 perguruan tinggi swasta (PTS)
bahkan lebih beragam. Jika tidak diatur, semua akan menafsirkan otonomi
sendiri-sendiri,” kata Nuh.
Guru besar lain mempertanya- kan kuatnya
kewenangan pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tecermin
dari banyaknya peraturan pemerintah dan peraturan menteri untuk pelaksanaan RUU
PT. Pemerintah, misalnya, punya kewenangan luas melakukan mutasi dosen
antar-perguruan tinggi, pengaturan keuangan perguruan tinggi, pengaturan rumpun
ilmu dan program studi, serta kewenangan lain yang dianggap terlalu luas.
Kalangan PTS justru mempertanyakan tidak
adanya kewajiban pemerintah memberikan kucuran dana kepada PTS. Padahal, PTS
merasa sudah berbuat banyak untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. ”Kami
masih mempelajari RUU tersebut. Jika banyak yang merugikan, pasti akan kami uji
materi ke MK,” kata Thomas Suyatno.
Jadi, disetujuinya RUU Pendidikan Tinggi oleh
DPR tidak serta-merta disambut gembira banyak pihak. Polemik masih akan
terjadi. Entah sampai kapan.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar