Rabu, 11 Juli 2012

Minta, tapi Takut Otonomi PT


Minta, tapi Takut Otonomi PT
Sukemi ; Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
JAWA POS, 10 Juli 2012


ADA satu kata dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang diminta tapi ditakuti. Kata itu adalah otonomi!

Otonomi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apakah selama ini pendidikan tinggi tidak memiliki otonomi di dalam pengelolaannya? Dalam hal otonomi akademik, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah sejatinya sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Ada kekhawatiran terhadap RUU PT yang akan mengooptasi, mengikis daya kritis, serta menggadaikan pendidikan tinggi. Kecemasan itu adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Sejatinya, nilai kebebasan akademik telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di dalamnya, sebagai seorang ilmuwan dan cendekiawan.

Itulah yang mendorong inovasi bangsa. National Science Foundation (2007), NSF Report 07-317; Litan, R.E. et al (2007), ''Commercializing University Innovations: A Better Way'' in Innovation Policy and the Economy, vol 8 MIT Press, menyatakan bahwa perguruan tinggi adalah sumber penting penelitian dan pengembangan. Lebih dari 50 persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan-terobosan pemikiran yang memungkinkan munculnya industri-industri baru dilaksanakan di perguruan tinggi.

Perguruan tinggi juga memiliki misi yang lebih luas dalam menerjemahkan hasil litbang menjadi produk dan perusahaan baru. Sebanyak 15 persen penelitian terapan dilaksanakan melalui inovasi yang dimulai di kampus yang kemudian diserap menjadi bisnis melalui paten, start-up, serta pengaturan konsultansi antara dosen dan industri.

Sementara itu, Bernanke, B. 2007, ''Speech At the U.S. Chamber Education and Workforce Summit'' menyatakan bahwa pembelajaran setingkat sarjana adalah kegiatan utama perguruan tinggi yang memungkinkan perguruan tinggi berhasil melaksanakan penelitian maju (advanced research) dan pendidikan pascasarjana.

Dengan peran strategis itu, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas. Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik praktis.

Pertanyaannya, kenapa dalam RUU PT ada pasal yang menyatakan kurikulum, program studi, dan penelitian akan diatur melalui peraturan menteri? Sesungguhnya, itu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat, bukan kooptasi. Bukankah saat ini banyak perguruan tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi? Bila itu dibiarkan, masyarakat akan dirugikan.

Dilema Otonomi

Kembali pada kata otonomi yang diminta tapi ditakuti. Pertama, otonomi diminta karena para pengelola berharap bisa leluasa menentukan ''hitam-putihnya'' perguruan tinggi dengan otonomi itu. Saatnya perguruan tinggi tidak boleh terkooptasi oleh pemerintah, sehingga rumpun ilmu pengetahuan, kurikulum, program studi, penelitian, dan pengabdian masyarakat ditentukan perguruan tinggi. Asumsinya, perguruan tinggi-lah yang lebih tahu soal itu.

Kalimat-kalimat tersebut tertuang dalam pasal 34 dan pasal 48 RUU PT yang sekarang sudah makin sederhana, dari sebelumnya 102 pasal kini hanya menjadi 59 pasal.

Dalam soal pengelolaan keuangan, otonomi diminta. Sebab, dengan pemberian otonomi itu, pengelola akan ''bebas'' menentukan dan menggunakan keuangan yang telah dihimpun dari masyarakat.

Tapi, itu berimplikasi pada hal kedua, otonomi ditakuti. Muncul kekhawatiran, jika otonomi diberikan sepenuhnya, terutama untuk perguruan tinggi negeri (PTN), para pengelola akan seenaknya menentukan besarnya biaya pendidikan. Padahal, sebagian besar PTN dibiayai pemerintah dari pajak yang dipungut dari rakyat.

Kekhawatiran tersebut amat beralasan. Sebab, ketika UU PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara) diberlakukan, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang ber-BHMN terkesan seenaknya dalam menentukan besarnya biaya pendidikan. Jadi, wajarlah apa yang dikhawatirkan itu karena pengalaman telah membuktikan. Belakangan, UU tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Upaya Akomodasi

Pertanyaannya, bagaimana mengakomodasi dua kepentingan itu? Di satu sisi, otonomi diminta. Di sisi lain, otonomi ditakuti.

Adalah ''cerita lama'' jika asumsi pemberian otonomi tersebut akan mengakibatkan komersialisasi dan seenaknya menentukan biaya. Mengapa? Sebab, setelah dibatalkannya UU BHMN oleh MK yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66/2010, jelas diatur bahwa PTN harus memberikan porsi minimal 20 persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.

Jauh sebelum PP itu, Kemendikbud juga meluncurkan program Bidik Misi, program bantuan biaya pendidikan masuk perguruan tinggi negeri bagi lulusan SMA/SMK/MA dari keluarga tidak mampu dengan nilai akademik baik. Sejak 2010, program tersebut telah menempatkan sekitar 40 ribu mahasiswa dari keluarga tidak mampu untuk kuliah gratis di PTN hingga lulus. Bahkan, tiap bulan mereka mendapat uang saku atau biaya hidup.

Dengan memahami konsep awal RUU PT bahwa perguruan tinggi itu dikelola dengan prinsip nirlaba, sesungguhnya pengelola perguruan tinggi tidak boleh dan dilarang keras mengambil keuntungan. Karena itu, RUU PT tersebut mengamanatkan pula bahwa penentuan besaran biaya pendidikan, dalam hal ini PTN, akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri.

Itu tidak lain merupakan bagian dari upaya melindungi masyarakat agar bisa mengakses pendidikan tinggi dengan biaya terjangkau.

Yang jelas, substansi otonomi dalam RUU PT sebagai PTN BH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum) sangat berbeda dari konsep otonomi yang pernah ada dalam UU BHMN. Klausul dan pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda.

Dalam soal pendanaan untuk meringankan beban masyarakat, dalam RUU itu akan disiapkan bentuk bantuan operasional (BO) PTN bagi PTN. Bagi PTN yang sudah berbadan hukum (PTN BH), bantuan diberikan melalui mekanisme subsidi, sedangkan bagi PTS lewat mekanisme hibah.

Sekali lagi, terhadap mekanisme bantuan pembiayaan itu, amat berlebihan jika otonomi yang diberikan nanti dikhawatirkan mengakibatkan biaya mahal. Jangan cemas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar