Selasa, 03 Juli 2012

Menjadi Indonesia yang Authentik

Menjadi Indonesia yang Authentik
Achmad M Akung ; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
SINDO, 03 Juli 2012


Negeri penggalan surga ini tentu tidak dicita menjadi negeri gagal yang dihuni oleh ratusan juta rakyat yang galau.Negeri kaya raya ini pasti tidak didesain menjadi negara yang rakyatnya miskin dan kesrakat.

Para pendiri negara (founding fathers) ini berkehendak menjadikan negeri di zamrud khatulistiwa menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tukul kang sarwa tinandur (tumbuh segala apa yang ditanam) dan murah kang sarwa tinuku (murah segala apa yang dibeli). Namun, apabila kita berkenan menyambangi realitas yang ada di sekitar kita, tentu saja kita akan miris dibuatnya.

Meski konon, angka kemiskinan telah turun sebagai buah pembangunan, rakyat yang kesulitan memenuhi sekadar kebutuhan dasarnya,sungguh masih teramat banyak di negeri ini. Sementara mereka masih bisa sedikit bernafas karena harga BBM (bahan bakar minyak) urung dinaikkan pada 1 April yang lalu. Meski urung naik, hasil rapat paripurna DPR terkait kenaikan harga BBM dituding bukanlah solusi bijak yang memihak rakyat, melainkan sekadar tarik ulur pencitraan politik.

Keputusan wakil rakyat yang terhormat dan pemerintah ini sebuah ironi yang mengabarkan betapa tidak berdaulatnya kita di sektor energi. Para penyelenggara negara ternyata lebih memilih mengijonkan nasib ratusan juta rakyatnya kepada harga minyak internasional yang gampang dipermainkan. Tidakkah pemerintah dan DPR tidak sedang lalai dengan konstitusi kita yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Alih-alih melakukan nasionalisasi perusahaan asing, sekadar untuk tidak memperpanjang kontrak saja,pemerintah mungkin tak kuasa. Kita lebih memilih menjongoskan bangsa, menjadi kuli di negeri sendiri,akibat ketidakmampuan kita membebaskan diri dari belenggu kapitalisme global.

Kesadaran Diri Bangsa

Salah satu resep untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia dan berkualitas,menurut para penganjur psikologi positif, adalah menjadi diri yang autentik (authenticity). Autentisitas merupakan terminologi yang dekat dengan dunia filsafat eksistensialis, filsafat seni, dan psikologi yang berakar dari diksi Latin authenticus atau Yunani authentikós. Autentisitas adalah derajat di mana seseorang sungguhsungguh berada dalam kepribadian, jiwa, dan karakter jati dirinya meskipun menghadapi banyak tekanan dan tantangan dari luar.

Dalam bahasa eksistensialis, autentisitas adalah kesadaran diri dalam menghadapi tekanan dan pengaruh dari luar yang sangat berbeda dengan diri sesungguhnya. Autentisitas memandu diri untuk bereaksi dan bertindak sebagai respons terhadap tekanan tersebut. Tidak ada jalan pintas untuk beroleh autentisitas diri, tutur Paul TP Wong (2009).Pemerolehan autentisitas diri seringkali bermula dari momen yang membangunkan, memperdalam keyakinan diri atas intisari nilai-nilai,dan merasakan perasaan identitas diri sesungguhnya.

Penemuan ini sungguh berangkat dari visi kedalaman tentang kehidupan dengan makna yang lebih dalam. Sayangnya, jalan setapak pemerolehan autentisitas sungguh terjal dan tidak sederhana. Siapa yang berani memainkan irama berbeda dan menantang status quo, lazimnya akan diperhinakan, dipinggirkan,dan terkadang dikorbankan. Dalam ranah keindonesiaan, autentisitas juga menjadi diksi yang sangat penting ketika kita mencoba membangunkan kesadaran diri kita sebagai sebuah bangsa.

Para pendiri negara ini sesungguhnya telah memandu autentisitas diri bangsa dengan pilar Pancasila, UUD1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.Keempat pilar itu sungguh merupakan “master piece” kebangsaan yang bersumber dari kearifan lokal negeri ini. Apabila kita berkenan mengenali diri bangsa kita seperti petuah Delphi kuno yang terpahat di Temple of Apollo, “Know Thyself,” sungguh tidak ada alasan untuk kita kehilangan autentisitas diri bangsa.

Negeri ini sungguh memiliki kekayaan alam, budaya, dan sumber daya manusia yang luar biasa. Sayangnya, para pemangku kebijakan negeri ini lebih suka mengerdilkan diri dengan berkata bahwa teknologi kita usang dan ketinggalan zaman. SDM (sumber daya manusia) kita tidak cukup cakap untuk mampu mengelola sumber daya sehingga menjadi alasan pembenar untuk menyerahkan harta kita pada kapitalisme asing. Kebijakan migas adalah satu contoh kecil di antaranya.

Banyak blok penghasil minyak yang diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing dengan dalih kita tidak mampu mengelola. Atau musibah Sukhoi Super Jet 100 tempo hari mungkin tidak perlu terjadi apabila kita memiliki cukup kepercayaan diri mengelola industri dirgantara. Sekadar bernostalgia, belasan tahun yang lalu,kita telah pernah mengembangkan prototipe N 250 dan N2130 yang telah menyandang teknologi tak kalah hebat dari superjet nahas itu.

Sungguh, kita tidak perlu mengais-ngais dan mengiba hibah pesawat tua dari negara lain. Resepnya, cukup panggil pulang para ilmuwan terbaik kita, para penguasa teknologi tinggi di semua bidang keilmuan. Rawat dan jaga generasi muda potensial dengan memberi beasiswa dan pendidikan khusus agar mereka bertumbuh menjadi ilmuwan yang nasionalis sehingga tidak “diopeni”( dirawat) dan dibajak negara lain.

Selama ini banyak di antara mereka yang terdiaspora dan memilih mengabdi di negeri orang. Banyak di antara mereka yang sejatinya ingin kembali untuk mengabdi, namun tidak mendapatkan tempat, apresiasi, kenyamanan, dan kesejahteraan yang memadai di negeri sendiri. Mengapa? Jawabnya karena di negeri ini kesejahteraan bukan bagi para ilmuwan dan teknokrat yang berdedikasi tinggi.

Kehormatan tampaknya hanyalah hak para politisi serta pejabat yang sukses membiakkan korupsi dan piawai menggalakkan kolusi di segenap lini kekuasaan. Barangkali kita perlu belajar dari negara besar di sekitar kita yang kini menjadi macan Asia seperti Jepang, China,dan Korea.Negeri yang dahulu hancur lebur akibat peperangan, kini terus bertumbuh, dihormati, disegani bahkan ditakuti sebagai kekuatan baru dunia.

Menjadi diri mereka sendiri secara autentik sebagaimana adanya, bukan memaksa diri menjadi seperti apa yang negeri lain diktekan atas negeri mereka. Tentu kita tidak berharap negeri ini menjadi ibarat kapal yang diserahkemudikan oleh nakhoda dan ABK (anak buah kapal)-nya kepada pihak lain. Kapal itu lantas ditabrakkan ke karang dan ditenggelamkan di kedalaman palung jerat global (global trap). Begitu besar harap segenap rakyat agar negeri ini bersegera bangkit dari keterpurukan.

Semua jawab kini terpulang pada kita, rakyat dan para penyelenggara negara.Tulisan ini sekadar menjadi “frappe toujours” yang tidak pernah lelah mengetuk dan mengetuk kembali nurani para penyelenggara negara. Semoga nurani itu masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar