Isu
Utamanya Kinerja, Bukan Proyek Gedung KPK
Bambang
Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
SINDO, 03 Juli 2012
Memanipulasi
persepsi publik dengan memblow-up isu
gedung baru KPK seolah-olah ditolak DPR lalu menyerukan penggalangan dana
masyarakat kurang bijaksana dan tidak elok.
Apalagi
dilakukan di tengahtengah rasa ketidakpuasan publik terhadap kinerja KPK,
terutama dalam menangani kasus-kasus besar yang menjadi perhatian seluruh
rakyat Indonesia. Rakyat tahu bahwa di atas meja kerja para pimpinan KPK masih
banyak tumpukan dokumen atau berkas kasus korupsi. Setiap hari rakyat menuntut
KPKsegeramenuntaskankasuskasus korupsi besar itu, tanpa tebang pilih.
Tiba-tiba,masalah kebutuhan gedung baru dikedepankan menjadi persoalan utama KPK. Pemahaman publik dimanipulasi dan dijungkirbalikkan sedemikian rupa untuk kemudian dimunculkan persepsi DPR menganiaya KPK.Tidak cukup sampai di situ, digagas pula gerakan “Koin untuk Gedung KPK”. Kalau seperti itu cara yang ditempuh,pertanyaannya adalah apakah kita sekarang ini ingin mencerdaskan atau ikutikutan membodohi dan membohongi masyarakat?
Dari aspek moral, mengeksploitasi masalah gedung baru KPK— apalagi dengan memanipulasi persepsi publik—sungguhsungguh memprihatinkan. Karena itu, sekarang siapa pun boleh berkesimpulan bahwa ada pihak yang diberi tugas mengganyang korupsi tidak fokus pada tugasnya menyelesaikan perkara-perkara korupsi yang sudah terungkap dan menjadi perhatian seluruh elemen rakyat.
Konsentrasi mereka ternyata terbagi karena ada yang lebih menyibukkan diri dengan pengadaan proyek gedung.Padahal, tuntutan publik mengenai peningkatan kerja sama sekali belum terjawab. Masyarakat berpendapat bahwa sampai saat ini KPK masih berkutat pada penanganan kasus korupsi skala kecil yang sesungguhnya bisa ditangani institusi penegak hukum lain.
Kasus-kasus skala kecil itu digunakan untuk menutup- nutupi ketidakberanian terhadap kasus besar yang menyeret kekuasaan. Seperti Century, Hambalang, dan lain-lain sekaligus sebagai upaya menghibur publik. Sebaliknya,komitmen memprioritaskan penanganan kasus korupsi skala besar masih sebatas janji. Pada kasus Wisma Atlet dan kasus Hambalang, KPK hanya berani menyentuh figur-figur yang posisi politiknya tidak kuat. Kesigapan KPK memang mengungkap kasus-kasus korupsi skala kecil tetap harus diapresiasi.
Namun, janji menangani kasus korupsi skala besar yang sudah menjadi perhatian masyarakat harus dipenuhi. Sampai saat ini rakyat tetap menuntut KPK menuntaskan skandal Bank Century, kasus mafia pajak, hingga kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta kasus suap Deputi Gubernur Bank Indonesia (DGSBI). Kasus-kasus korupsi tersebut jelas-jelas merugikan negara dalam jumlah masif.
Karena itu, polemik gedung baru KPK jangan sampai mengalihkan perhatian publik terhadap sejumlah kewajiban terkini KPK, terutama percepatan progres penanganan sejumlah kasus besar. Sebenarnya,dapat dipahami kalau KPK bersikukuh dan menuntut memiliki gedung baru, namun harus juga dipahami untuk mewujudkan itu harus ada mekanisme yang harus dilalui di DPR.Tidak hanya KPK yang melakukan desakan kepada pemerintah dan DPR agar memiliki gedung baru.
Empat di antaranya BNN,BNPT,LPSK, dan Komnas HAM. Idealnya, KPK bertanya dulu kepada pemerintah dan DPR; adakah gedung lain milik negara yang masih bisa dimanfaatkan? DPR tentu akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjajaki kemungkinan masih ada bangunan gedung milik pemerintah yang bisa digunakan KPK.
Memaksakan Kehendak
Hingga saat ini bukan hanya gedung baru KPK yang tertunda realisasinya. Pembangunan gedung baru DPR dan sejumlah proyek lain pun harus ditunda. Rencana pembangunan gedung Badan Narkotika Nasional (BNN) bahkan sudah bertahuntahun mengalami penundaan. Karena keterbatasan keuangan negara,pemanfaatan anggaran pembangunan harus mengikuti skala prioritas.
Sekarang ini KPK baru mampu menindak, tetapi belum mampu mencegah tindak pidana korupsi.Karena itu,muncul pertanyaan; kalau proyek gedung baru KPK disetujui sekarang, mampukah KPK mencegah atau memperkecil tindak pidana korupsi di negara ini? Selama ini dukungan DPR kepada KPK terus menguat dan signifikan. Kendati kinerja KPK belum bisa memuaskan semua pihak,kenyataan itu tidak menyurutkan keberpihakan DPR kepada KPK.
Contohnya, demi memperlancar tugas-tugas KPK,pemerintah dan DPR selalu bersepakat menaikkan anggaran KPK lebih Rp100 miliar per tahun. Kalau pada 2009 anggaran KPK masih sekitar Rp300-an miliar,anggaran untuk tahun kerja 2013 sudah mencapai Rp800 miliar. Pada prinsipnya, tidak satu pun fraksi di DPR yang menolak proposal gedung baru KPK.
Akan tetapi, seperti proses perencanaan proyek pembangunan lainnya,usulan atau proposal gedung baru KPK juga memerlukan pembahasan dan kajian.Komisi III DPR saat ini masih membahas rincian pagu indikatif bagi semua lembaga yang menjadi mitra kerja. Prinsip skala prioritas tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak ada yang salah dari wacana gedung baru KPK. Namun,menjadi tidak etis jika unsur pimpinan KPK mendramatisasi wacana itu dengan menggalang pengumpulan koin.
Persoalan gedung baru KPK didramatisasi sebagai hal yang sangat tinggi urgensinya. Seakan-akan pelaksanaan tugas dan fungsi KPK tidak efektif jika tidak dibangunkan gedung baru. Ada masalah dalam cara DPR menyikapi proposal gedung baru KPK memang tidak perlu ditutup-tutupi. Rakyat harus tahu itu.Akan tetapi, harus ada kearifan untuk melokalisasi masalah itu sebagai persoalan antara KPK di satu sisi dan DPR dan pemerintah di sisi lain.
Berdasarkan saling pengertian dari masing-masing pihak. Menjadi sangat tidak bijaksana jika pihak yang satu coba memaksakan kehendak dengan mencari simpati publik serta menggalang pengumpulan koin. Jelas bahwa cara-cara seperti itu merusak tatanan. Sebagian besar masyarakat sadar bahwa isu gedung baru KPK terlalu dipaksakan meskipun diyakini hanya mengemuka sesaat.
Pada akhirnya semua akan kembali pada isu utama tentang KPK. Isu utamanya adalah peningkatan kinerja KPK dalam menuntaskan kasus-kasus besar yang lama mangkrak, bukan proyek gedung baru. ●
Tiba-tiba,masalah kebutuhan gedung baru dikedepankan menjadi persoalan utama KPK. Pemahaman publik dimanipulasi dan dijungkirbalikkan sedemikian rupa untuk kemudian dimunculkan persepsi DPR menganiaya KPK.Tidak cukup sampai di situ, digagas pula gerakan “Koin untuk Gedung KPK”. Kalau seperti itu cara yang ditempuh,pertanyaannya adalah apakah kita sekarang ini ingin mencerdaskan atau ikutikutan membodohi dan membohongi masyarakat?
Dari aspek moral, mengeksploitasi masalah gedung baru KPK— apalagi dengan memanipulasi persepsi publik—sungguhsungguh memprihatinkan. Karena itu, sekarang siapa pun boleh berkesimpulan bahwa ada pihak yang diberi tugas mengganyang korupsi tidak fokus pada tugasnya menyelesaikan perkara-perkara korupsi yang sudah terungkap dan menjadi perhatian seluruh elemen rakyat.
Konsentrasi mereka ternyata terbagi karena ada yang lebih menyibukkan diri dengan pengadaan proyek gedung.Padahal, tuntutan publik mengenai peningkatan kerja sama sekali belum terjawab. Masyarakat berpendapat bahwa sampai saat ini KPK masih berkutat pada penanganan kasus korupsi skala kecil yang sesungguhnya bisa ditangani institusi penegak hukum lain.
Kasus-kasus skala kecil itu digunakan untuk menutup- nutupi ketidakberanian terhadap kasus besar yang menyeret kekuasaan. Seperti Century, Hambalang, dan lain-lain sekaligus sebagai upaya menghibur publik. Sebaliknya,komitmen memprioritaskan penanganan kasus korupsi skala besar masih sebatas janji. Pada kasus Wisma Atlet dan kasus Hambalang, KPK hanya berani menyentuh figur-figur yang posisi politiknya tidak kuat. Kesigapan KPK memang mengungkap kasus-kasus korupsi skala kecil tetap harus diapresiasi.
Namun, janji menangani kasus korupsi skala besar yang sudah menjadi perhatian masyarakat harus dipenuhi. Sampai saat ini rakyat tetap menuntut KPK menuntaskan skandal Bank Century, kasus mafia pajak, hingga kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta kasus suap Deputi Gubernur Bank Indonesia (DGSBI). Kasus-kasus korupsi tersebut jelas-jelas merugikan negara dalam jumlah masif.
Karena itu, polemik gedung baru KPK jangan sampai mengalihkan perhatian publik terhadap sejumlah kewajiban terkini KPK, terutama percepatan progres penanganan sejumlah kasus besar. Sebenarnya,dapat dipahami kalau KPK bersikukuh dan menuntut memiliki gedung baru, namun harus juga dipahami untuk mewujudkan itu harus ada mekanisme yang harus dilalui di DPR.Tidak hanya KPK yang melakukan desakan kepada pemerintah dan DPR agar memiliki gedung baru.
Empat di antaranya BNN,BNPT,LPSK, dan Komnas HAM. Idealnya, KPK bertanya dulu kepada pemerintah dan DPR; adakah gedung lain milik negara yang masih bisa dimanfaatkan? DPR tentu akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjajaki kemungkinan masih ada bangunan gedung milik pemerintah yang bisa digunakan KPK.
Memaksakan Kehendak
Hingga saat ini bukan hanya gedung baru KPK yang tertunda realisasinya. Pembangunan gedung baru DPR dan sejumlah proyek lain pun harus ditunda. Rencana pembangunan gedung Badan Narkotika Nasional (BNN) bahkan sudah bertahuntahun mengalami penundaan. Karena keterbatasan keuangan negara,pemanfaatan anggaran pembangunan harus mengikuti skala prioritas.
Sekarang ini KPK baru mampu menindak, tetapi belum mampu mencegah tindak pidana korupsi.Karena itu,muncul pertanyaan; kalau proyek gedung baru KPK disetujui sekarang, mampukah KPK mencegah atau memperkecil tindak pidana korupsi di negara ini? Selama ini dukungan DPR kepada KPK terus menguat dan signifikan. Kendati kinerja KPK belum bisa memuaskan semua pihak,kenyataan itu tidak menyurutkan keberpihakan DPR kepada KPK.
Contohnya, demi memperlancar tugas-tugas KPK,pemerintah dan DPR selalu bersepakat menaikkan anggaran KPK lebih Rp100 miliar per tahun. Kalau pada 2009 anggaran KPK masih sekitar Rp300-an miliar,anggaran untuk tahun kerja 2013 sudah mencapai Rp800 miliar. Pada prinsipnya, tidak satu pun fraksi di DPR yang menolak proposal gedung baru KPK.
Akan tetapi, seperti proses perencanaan proyek pembangunan lainnya,usulan atau proposal gedung baru KPK juga memerlukan pembahasan dan kajian.Komisi III DPR saat ini masih membahas rincian pagu indikatif bagi semua lembaga yang menjadi mitra kerja. Prinsip skala prioritas tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak ada yang salah dari wacana gedung baru KPK. Namun,menjadi tidak etis jika unsur pimpinan KPK mendramatisasi wacana itu dengan menggalang pengumpulan koin.
Persoalan gedung baru KPK didramatisasi sebagai hal yang sangat tinggi urgensinya. Seakan-akan pelaksanaan tugas dan fungsi KPK tidak efektif jika tidak dibangunkan gedung baru. Ada masalah dalam cara DPR menyikapi proposal gedung baru KPK memang tidak perlu ditutup-tutupi. Rakyat harus tahu itu.Akan tetapi, harus ada kearifan untuk melokalisasi masalah itu sebagai persoalan antara KPK di satu sisi dan DPR dan pemerintah di sisi lain.
Berdasarkan saling pengertian dari masing-masing pihak. Menjadi sangat tidak bijaksana jika pihak yang satu coba memaksakan kehendak dengan mencari simpati publik serta menggalang pengumpulan koin. Jelas bahwa cara-cara seperti itu merusak tatanan. Sebagian besar masyarakat sadar bahwa isu gedung baru KPK terlalu dipaksakan meskipun diyakini hanya mengemuka sesaat.
Pada akhirnya semua akan kembali pada isu utama tentang KPK. Isu utamanya adalah peningkatan kinerja KPK dalam menuntaskan kasus-kasus besar yang lama mangkrak, bukan proyek gedung baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar