Komunikasi
Warung Sate ala Jokowi
Cahyadi Indrananto ; Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Komunikasi Politik
Universitas
Indonesia
KORAN
TEMPO, 17 Juli 2012
Unggulnya pasangan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dalam putaran pertama Pemilihan Gubernur
DKI Jakarta 2012-2017 mengejutkan banyak pihak dan menjadi bahan dari kajian
akademis menarik bagi ranah komunikasi politik.
Meskipun beberapa survei telah
memprediksi bahwa pasangan Jokowi-Ahok berpeluang besar untuk bersaing dengan
pasangan petahana (incumbent) Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara),
sepanjang pengamatan penulis tidak ada satu pun yang memprediksi Jokowi-Ahok
akan berada di posisi puncak dan jauh melampaui Foke-Nara. Saat tulisan ini
diturunkan, empat hitung cepat, yakni dari Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga
Survei Indonesia, LP3ES, dan Indobarometer, mencatat Jokowi-Ahok memperoleh
dukungan sekitar 42-43 persen, jauh terpaut 10 persen dari perolehan suara
pasangan Foke-Nara, yaitu 33-34 persen.
Dari sudut pandang komunikasi politik,
unggulnya pasangan ini menarik untuk dikaji karena dua hal. Pertama, pasangan
Jokowi-Ahok berhasil unggul tanpa bergantung pada jalur-jalur publisitas yang
umum dipakai pada proses kampanye politik di negeri ini. Pasangan Jokowi-Ahok
termasuk sebagai pasangan yang paling sedikit memanfaatkan baliho, poster, dan
brosur. Padahal pasangan-pasangan lain, khususnya yang didukung oleh
partai-partai besar, begitu "fasih" dalam memeriahkan tempat-tempat
publik Jakarta dengan foto senyuman mereka dan janji kampanye masing-masing.
Yang kedua, pasangan Jokowi-Ahok
juga berhasil mengalahkan keunggulan yang dimiliki oleh incumbent, yaitu kemampuan
mengendalikan jalur birokrasi. Menjelang pilkada tahun ini, warga Jakarta
"dibanjiri" pelbagai iklan layanan masyarakat dari incumbent, yang setidaknya
berupaya menunjukkan kesuksesannya dalam memimpin Ibu Kota pada periode pertama
(2007-2012). Beberapa di antaranya juga berisi janji program ke depan, antara
lain seperti tekad untuk memulai pembangunan mass
rapid transit (MRT) di akhir
tahun ini. Namun kekuatan birokrasi ini pun tidak cukup, karena mayoritas
pemilih memberikan suaranya kepada pasangan Jokowi-Ahok, dan membuat mereka
unggul di urutan teratas. Inilah yang menimbulkan pertanyaan besar: lalu
strategi apa yang dipakai oleh Jokowi-Ahok?
Komunikasi Interaksional
Penulis baru saja menuntaskan
tesis magister yang menganalisis peran pemimpin daerah sebagai agen dan
mengambil Jokowi sebagai subyek penelitian. Untuk keperluan tesis tersebut,
awal tahun ini penulis berkesempatan mengikuti Jokowi selama berada di Solo dan
mengamati proses interaksi serta komunikasinya dengan warga Solo.
Selama periode penelitian,
penulis melihat bahwa sehari-hari Jokowi menghabiskan waktu hanya untuk
berkeliling, bertemu dengan masyarakat, menanyai dan mendengarkan mereka, serta
memantau akun sosial medianya. Tidak ada yang luar biasa dari kegiatan ini,
karena siapa pun pemimpin daerah dapat melakukannya. Namun justru hal ini
menjadi luar biasa karena Jokowi menjalankannya di saat tidak banyak pemimpin
masa kini yang melakukan hal-hal tersebut.
Melalui proses berkeliling dan
mendengarkan ini, Jokowi mendapat dua keuntungan sekaligus. Melalui proses ini,
ia mampu mengetahui secara seketika apa yang sedang menjadi permasalahan di
masyarakat, dan saat itu juga dapat mengupayakan solusinya.
Pada suatu
kesempatan, Jokowi mendapat pesan di akun Twitter-nya, dari seorang warga yang
mengadu bahwa pelayanan di sebuah kantor pelayanan kota mengalami penurunan
kualitas. Saat itu juga Jokowi mendatangi kantor yang dimaksud, untuk memantau
situasi yang aktual, menanyai langsung warga yang berada di lokasi, serta
memberi instruksi kepada kepala bagian yang bertanggung jawab untuk tetap menjaga
kinerja dan kualitas pelayanan. Ini adalah sebuah contoh dari tindakan lapangan
Jokowi, yang ia istilahkan sebagai "manajemen kontrol".
Namun, di sisi lain, penulis
melihat bahwa turunnya Jokowi ke lapangan juga telah membuka saluran komunikasi
langsung dengan masyarakatnya. Warga Solo dapat dengan mudah menemui Jokowi di
mana saja: sedang makan di warung sate, duduk di pergelaran wayang semalam
suntuk, atau bersepeda sendirian di acara car-free
day. Cukup dengan menghampiri dan menyapanya, Jokowi akan berhenti sejenak
dari sate atau sepedanya, dan mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh warga.
Tak jarang, dengan bekal penguasaan masalahnya, Jokowi mampu menawarkan solusi
saat itu juga.
Kalau pun Jokowi tidak ada di
tempat-tempat tersebut, warga dapat datang ke balai kota atau rumah dinasnya.
Tidak ada protokoler apa pun yang diperlukan untuk bertemu dengan Jokowi, dan
tidak ada pembedaan antar-tamu sama sekali. Sekali waktu, penulis mendapati
seorang ibu yang mengenakan celana pendek dan sandal jepit sedang menunggu di
ruang tunggu tamu Jokowi di balai kota. Menjawab pertanyaan penulis, ia rupanya
hendak meminta pertolongan sang wali kota untuk membantu biaya sekolah anaknya
yang telah menunggak selama enam bulan. Sang ibu ini duduk di kursi tunggu yang
sama dengan kursi para tamu lainnya, dan kemudian diterima Jokowi di ruangannya
sebagaimana Jokowi menerima tamu-tamu lain.
Dengan warga bertatap muka dan
berbicara apa pun kepada Jokowi, Jokowi berhasil membangun hubungan langsung
dengan masyarakat. Melalui proses interaksi tanpa perantara semacam inilah,
terbangun sebuah hubungan yang memberi kesempatan kepada Jokowi untuk
mempelajari kondisi masyarakatnya, dan di saat yang sama, membuka peluang bagi
masyarakat untuk memahami sosok Jokowi sebagai figur personal. Inilah yang
disebut Susan Shapiro sebagai "reputasi dan keterkaitan dalam jaringan
sosial yang kompleks serta melampaui batas-batas formalitas". Dan
komunikasi langsung semacam ini mengalahkan senyuman di seluruh baliho dan
poster. Solo tidak perlu spanduk-spanduk janji semacam itu, dan memang tidak
ada. Solo hanya perlu seorang Jokowi yang selalu turun ke lapangan dan
mengulurkan bantuannya atas problem-problem yang ada.
Maka tidak mengherankan apabila,
dalam kampanyenya di Jakarta, Jokowi terlihat seperti menafikan sistem
komunikasi politik tradisional yang jamak diandalkan di negeri ini. Sebagaimana
keberhasilannya di Solo, di Jakarta ia juga berhasil membuktikan bahwa hubungan
interpersonal adalah kunci penting bagi perolehan dukungan yang tak sekadar
transaksional, tapi juga interaksional. Semoga gaya kepemimpinan semacam ini
dapat menjadi pembelajaran penting bagi para pemimpin dan calon pemimpin lain
di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar