Senin, 16 Juli 2012

Kapan Parpol Tebus Dosa?


Kapan Parpol Tebus Dosa?
S Djaja Laksana ; Panitia Pemilu 1982 sampai 1999,  Mantan Sekretaris DPRD 
JAWA POS, 16 Juli 2012


UNTUK kali kesekian, anggota DPR ketahuan menggarong uang rakyat. Terakhir, perampokan itu dilakukan terhadap proyek Alquran dengan tersangka anggota dari Partai Golkar bersama anaknya. Proyek kitab suci yang sakral masih dikorupsi, apa karena anggaran yang "tidak suci" sudah habis dibagi-bagi? Ketua DPR Marzuki Alie pun tak bisa tersinggung ketika hasil survei menyatakan bahwa DPR dan parpol adalah lembaga terkorup.

Dosa terbesar DPR/D dan parpol adalah sikap mereka yang tertutup minus akuntabilitas. Termasuk tertutup dalam membahas anggaran. Kalau toh terbuka dalam forum-forum yang diliput media, ada pembahasan di ruang fraksi, hotel, kantor Dirjen, Sekda, dan via telepon. Padahal, di situlah sejumlah deal dan kesepakatan-kesepakatan yang tak tertulis di risalah sidang dan "saling menguntungkan" terjadi. Menguntungkan mereka, tapi kerap merugikan rakyat.

Mereka tertutup dalam studi banding, betapapun kegiatan ombyokan itu kurang bermanfaat dan menghamburkan uang rakyat, yang diakui sebagian mereka sendiri yang punya nurani. Mereka cenderung tertutup membahas RUU/perda yang menyangkut kepentingan rakyat ketika pasal-pasalnya dapat ditransaksikan. Terbukti, kemudian produk legislasinya rentan digugat/dibatalkan di MK dan pemerintah atasnya.

Mereka membuat UU pemilu sistem proporsional daftar tertutup. Dengan itu, keterpilihan seorang caleg berdasar nomor urut yang ditentukan elite partai. Pengurus mengangkangi siapa yang menempati nomor jadi, biasanya elite/orang dekat atau pembayar mahar terbesar. Kader miskin, betapapun loyal dan dekat dengan rakyat, bisa jadi caleg pelengkap penderita. Rakyat pun "dipaksa" memilih kucing dalam karung.

Setelah ada permohonan judicial review, MK memutuskan bahwa pemenang pemilu adalah peraih suara terbanyak. Sayang, sistem yang lebih demokratis dan menghargai kedaulatan rakyat itu, menurut Ketua Pansus RUU Pemilu DPR Arif Wibowo, menghasilkan "kucing garong". Menurut anggota FPDIP di DPR Ganjar Pranowo, yang muncul kader kaget, berkinerja rendah, tidak lebih baik ketimbang dewan sebelumnya, dan banyak masalah, terutama korupsi.

Partai-partai, sepertinya, mau cuci tangan. Padahal, "kucing karung" maupun "kucing garong" adalah produk sendiri lewat daftar calon tetap (DCT) yang mereka ajukan. Sedangkan sesuai dengan UU Pemilu yang mereka buat sendiri, tidak ada caleg independen/perseorangan dari luar partai.

Demikian pula UU Pilkada, dikangkangi. Para kandidat gubernur, bupati, dan wali kota hanya boleh diajukan oleh parpol dan atau gabungan parpol yang memiliki sejumlah kursi DPRD atau meraih sejumlah suara tertentu. Akhirnya, hanya orang partai ataupun nonpartai yang bisa membayar "mahar", membiayai kampanye dan "membeli" suara rakyat yang berani maju, betapapun rendah integritas dan kompetensi kandidat tersebut.

Berdasar permohonan judicial review, MK memutuskan diperbolehkannya kandidat independen, orang nonpartai, bisa tampil. Itu pun dengan perjuangan "luar biasa". Sebab, persyaratan dibuat tidak mudah. Hanya beberapa calon perorangan yang berhasil, sedangkan sebagian terbesar adalah orang yang diusung partai atau gabungan partai-partai. Terbukti kemudian, banyak yang gagal menyejahterakan rakyat, sebaliknya justru tersandung kasus korupsi. Para pimpinan daerah juga tak akur dengan wakil yang dulu mereka tunjuk sendiri.

Pelaksanaan Pemilu 2009 adalah yang termahal sepanjang sejarah Indonesia. Tiap-tiap caleg "terpaksa" mempraktikkan politik biaya tinggi, terjebak pragmatisme dan transaksional niretika, sehingga tak jelas lagi batas antara political cost dan money politics. Apalagi, menurut mantan anggota KPU yang berulang-ulang menjadi saksi sidang sengketa pilkada di MK, sebagian rakyat "memeras".

Anggota Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo di Jakarta pada 23 Juni lalu mengatakan, untuk menjaga sosoknya tetap mengakar di konstituen di dapil Jateng VII (Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen), dirinya memberikan gajinya Rp 10 juta ke tiga DPD di tiga kabupaten itu dan Rp 100.000 per bulan per kecamatan di tiga kabupaten tersebut serta mengganti penghasilan yang hilang orang yang menghadiri acara yang diselenggarakannya.

Kader PKS, yang selama ini agak bersih dari politik uang, pun mengakuinya. Anggota FPKS DPR Aboe Bakar berkata, "Bagaimana bisa terpilih kalau tidak membantu. Rakyat kan butuh perut kenyang, tidur nyenyak (Kompas, 25/6)." 

Penolakan anggota fraksi "jujur dan peduli" di DPR/D dalam studi banding pun kini nyaris tak terdengar. Dalam sebuah diskusi, anggota FPKS DPR Nasir Djamil mengakui, politisi sulit lepas dari perilaku yang berisiko korupsi. Mereka tidak ingin dianggap tidak memiliki esprit de corps, tidak tahu diri dan tak solider.

Melihat semua itu, Partai Nasdem muncul dengan gagasan membiayai perekrutan caleg berintegritas, kompeten, dan memiliki elektabilitas tapi tak punya dana. Mungkin saja langkah Nasdem bisa menimbulkan dosa politik baru. Sebab, kalau partai-partai melakukan "semut" (semua urusan tunai) bayar di depan, Nasdem bisa bayar di belakang. Sama-sama menyetujui praktik money politics yang pada akhirnya akan menyandera.

Bahwa sekarang ada masyarakat yang "memeras" caleg atau kandidat, itu bukanlah semata kesalahan mereka. Bukankah setelah pemilu pertama era reformasi (1999) dan seterusnya, banyak anggota DPR/D partai mana pun yang berperilaku seperti kere munggah bale, Petruk dadi ratu, dan OKB (orang kaya baru) yang menjauhi rakyat? Rakyat yang tak mau lagi dikadali akhirnya terdidik ikut "semut", menjual suara secara kontan.

UU Pemilu 8/2012 tetap menempatkan parpol sebagai peserta pemilu yang bertanggung jawab atas kader dan calon-calonnya. Tradisi dan kultur parpol yang "endemis" pragmatis transaksional akan menjadi tantangan berat untuk mewujudkan kontestasi yang jujur dan adil. Pemilu bersih dan fair hanya mungkin terjadi apabila partai-partai mau dan mampu menebus dosa-dosa sebagaimana yang telah panjang lebar diuraikan sebelumnya. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar