Sabtu, 21 Juli 2012

Jokowi sebagai Influential Endorser


Jokowi sebagai Influential Endorser
Flo K Sapto W ; Praktisi Pemasaran
KORAN TEMPO, 21 Juli 2012

Ketika Luna Maya pada pertengahan 2010 tersandung kasus video porno, beberapa perusahaan yang produknya diiklankannya segera memutus kontrak. Keberadaannya sebagai brand ambassador dirasa tidak lagi bisa memberikan citra positif bagi produk yang diiklankan. Sebaliknya, ketika media massa mengekspos seorang pria tua yang dirasa bersahaja dan setia sampai mati mengemban amanat sebagai penjaga Gunung Merapi di pengujung 2010, maka sosok pria tersebut, yaitu Mbah Marijan, segera dipilih menjadi bintang iklan sebuah minuman berenergi. Sosoknya dianggap mewakili personifikasi kesederhanaan, kerja keras, kepasrahan, totalitas, dan keperkasaan.

Ilustrasi tersebut kiranya tepat untuk menggambarkan fenomena kemenangan (sementara) Jokowi-Ahok dalam pilkada DKI, 11 Juli lalu. Kemenangan pada putaran pertama yang didasarkan pada penghitungan cepat berbagai lembaga survei itu telah menimbulkan kehebohan tersendiri. Berbagai media visual seolah menemukan keasyikan tertentu dalam menggelar berbagai talk show. Demikian juga banyak situs warta digital dan media cetak seperti digairahkan oleh berbagai ulasan dari para pakar politik.

Tak ayal, Jokowi kini telah menjadi sebuah ikon media. Popularitasnya bisa jadi melebihi para selebritas maupun sosialita Jakarta. Jangan heran kalau dalam waktu dekat segera muncul berbagai iklan produk yang mengusung Jokowi sebagai bintang iklan. Jikalau aturan KPU membatasi hal itu kaitannya dengan kampanye terselubung, bisa saja figurnya tidak perlu ditampilkan secara langsung. Produk minuman teh kotak, sari buah, dan susu fermentasi masih bisa diiklankan dengan simbolisasi baju kotak-kotak merah-hitam khas Jokowi. Kalaupun itu juga dilarang KPU--karena secara konotatif masih bisa diidentikkan dengan sebuah kampanye tidak langsung--tentu tersedia cara lainnya.

Di dalam kajian pemasaran, penempatan sosok atau figur tertentu sebagai bintang iklan lazim disebut sebagai endorser. Peranannya sebagai pendorong pemakaian atas produk yang diiklankan. Endorser dengan demikian mampu mempengaruhi opini publik/konsumen dalam menetapkan pembelian. Seseorang yang bisa dipakai sebagai endorser haruslah memenuhi beberapa karakteristik yang akan cukup bisa menjadikannya influential (Assael, 1998).

Posisi influential endorser dimungkinkan diisi oleh figur yang lebih aktif daripada masyarakat umum, misalnya dalam kegiatan politik. Selain itu, lebih sering berbicara di depan umum daripada orang kebanyakan. Biasanya juga lebih aktif di berbagai perkumpulan, paguyuban, atau komunitas tertentu (IDI, INI, IBI, dsb). Figur yang berfungsi sebagai influential endorser pada umumnya adalah kelas menengah ke atas dan terdidik. Influential endorser biasanya dimintai pendapatnya berkaitan dengan produk-produk yang sangat bergantung pada WoM (word of mouth) atau getok tular. 
Misalnya kuliner/restoran, buku, film, dan jasa keuangan/perbankan.

Influential endorser biasanya juga dijadikan rujukan atas berbagai produk yang baru dipasarkan, seperti elektronik, makanan sehat, mobil, dan jasa Internet. Sebagai contoh hal ini antara lain bisa dipahami dengan adanya perubahan tren warna mobil. Sekitar 10 tahun yang lalu, konsumen otomotif sangat antipati dalam memiliki mobil warna putih. Namun belakangan ini untuk mendapatkan mobil warna putih bahkan harus inden dan harganya pun pasti lebih mahal daripada warna lain. Hal ini hanya bisa terjadi ketika produsen mobil menempatkan para dokter, bankir, dan pengusaha papan atas sebagai sasaran pasar pertama untuk produk-produk mobil terbaru berwarna putih. Walhasil, konsumen lain kemudian terdorong untuk juga mengikuti perilaku pembelian para influential endorser tersebut.

Jokowi dalam hal ini tidak hanya memenuhi karakteristik sebagai endorser yang sangat influential. Sebut saja misalnya pengaruhnya dalam wacana mobil nasional Kiat Esemka. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, isu mobil Esemka sampai saat ini masih lebih seksi, bahkan jika dibandingkan dengan serangkaian safari otomotif listrik yang dilakukan oleh Dahlan Iskan. Tanpa mengurangi rasa simpati dan harapan besar terhadap upaya Menteri BUMN itu--dari sisi kajian pemasaran--bisa dikatakan Esemka lebih awal dan tepat dalam mengisi momentumnya.

Seperti diketahui, kisah Esemka berawal dari sebuah pameran lokal di Solo, yang salah satunya memajang mobil rakitan hasil kreasi pelajar SMK setempat. Mungkin karena dirasa tidak terlalu luar biasa--lantaran banyak juga potensi otomotif sejenis dari daerah lain yang kemudian kandas oleh berbagai sebab--pengunjung dan bahkan para pewarta tidak ada yang mengekspos hasil karya fenomenal itu. Jokowi kemudian melakukan tindakan promotif dengan mengganti mobil dinasnya yang sudah berusia 11 tahun--Toyota Camry tahun 2002--dengan mobil rakitan karya siswa-siswa kejuruan itu. Langkah ini disertai penempelan pelat nomor polisi berwarna merah AD-1-A. Walhasil, sepak terjang Jokowi itu kemudian menghiasi pemberitaan di media massa dan mendatangkan sejumlah pesanan, walau prototipenya saja belum lulus uji emisi. Wacana mobnas pun kemudian beredar dan mengundang berbagai komentar.

Terlepas dari berbagai pendapat pro-kontra, bagaimanapun produk mobil rakitan Kiat Esemka sudah telanjur menjadi buah bibir. Bagi pemasar, pemilihan endorser yang tepat merupakan sebuah prasyarat. Biasanya public figure, baik artis, atlet, ataupun para pakar--di bidang yang berelasi dengan produk tertentu--merupakan endorser yang potensial. Namun dalam hal ini terbukti bahwa endorser bisa juga diisi oleh pejabat publik seperti Jokowi. Saat ini, jika produk-produk tertentu ingin laku, maka tempelkanlah pada Jokowi. Dijamin akan segera terjual laris-manis. Keberhasilan Jokowi sebagai endorser tentunya bukan didapat dalam sesaat. Rekam jejaknya sudah tercatat sejak awal-awal menjabat wali kota pada 2005. Kinerja dan sikap-sikapnya sampai saat ini bisa menjadi inspirasi, terutama bagi aparatur pemerintahan. Khususnya dalam memaksimalkan peran sebagai pemasar atau endorser bagi semua potensi negeri ini. Sudah selayaknya aparatur birokrasi, termasuk para diplomat, bermentalitas untuk juga bisa menjadi endorser.

Kembali ke soal Jokowi, jika saja tindakannya sebagai endorser yang influential itu dilakukan oleh petinggi birokrasi yang lain, hasilnya belum tentu sama. Di sinilah letak keunikan Jokowi. Sebagian karena publik belum melihat adanya rekam jejak yang bisa secara jelas dijadikan alasan menjadikan para pejabat-pejabat kita sebagai endorser

Padahal, dengan menjadi endorser produk apa pun (UU, kampanye pembangunan, dsb), akan diapresiasi lebih positif oleh pasar (publik). Namun untuk menjadi endorser, seorang pejabat harus bisa merepresentasikan konsistensi dan komitmennya dalam kebaikan-kebaikan universal yang terus menerus dilakukan tanpa perlu menunggu diliput media. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar